Thursday, May 31, 2012

Energi dan Alternatif Modernitas

Energi dan Alternatif Modernitas
Oleh
DANIEL MOHAMMAD ROSYID*


PIDATO SBY pada Selasa malam lalu tidak saja tidak efektif, tapi jauh dari cukup. Sudah jelas bahwa saat ini Indonesia dalam krisis energi. Indonesia telah menjadi importer bersih minyak bumi. Ketergantungan masyarakat terhadap BBM sudah pada taraf kecanduan yang parah yang diakibatkan ketergantungan masyarakat terhadap sepeda motor dan mobil pribadi. Gejala ini menunjukkan bahwa kebijakan energi kita didikte oleh kebijakan transportasi. Sementara kebijakan transportasi kita didikte oleh kebijakan industri dan perdagangan otomotif asing.

Subsidi BBM saat ini jelas kebijakan yang keliru. Selain menghambat energi baru masuk ke pasar energi, gaya hidup masyarakat menjadi tidak sehat. Masyarakat ingin, tapi sebenarnya tidak membutuhkan BBM yang murah. Masyarakat butuh transportasi yang murah, kesehatan, dan juga pendidikan, termasuk buku, yang murah. Kesalahan pemerintah adalah melayani keinginan (bukan kebutuhan) masyarakat yang bisa tak terbatas. Ini secara politis benar, tapi secara moral tidak karena berefek konsumerisme. Jika memimpin adalah mendidik, tugas pemerintah adalah menunjukkan jalan yang benar ke masa depan, dan memberikan teladan bagaimana melakukannya.

Wacana krisis energi berpotensi menyembunyikan asumsi bahwa kita bisa tumbuh terus tanpa batas, terutama dari segi konsumsi energi per kapita. Model pembangunan kita saat ini jelas
growth-obsessed. Obsesi pertumbuhan ini mensyaratkan disiplin perencanaan teknokratik terpusat yang sering meremehkan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri dan kreatif di tingkat grass-roots, seperti pada kelompok nelayan, petani, dan perajin di berbagai ekonomi skala kecil di daerah-daerah yang tersebar luas di seluruh Nusantara.

Terobosan mobil Kiat Esemka harus kita lihat dari dua sisi. Sisi yang pertama adalah kebangkitan industri otomotif nasional. Sisi yang kedua adalah kita perlu mewaspadai bahwa mobil dan sepeda motor pribadi adalah bagian dari masalah nasional saat ini yang merupakan derivasi dari obsesi pada sebuah modernitas tinggi-energi dan pertumbuhan yang seolah tanpa batas. Padahal, bumi ini terbatas.

Butuh Beberapa Bumi

Keterbatasan yang jelas adalah keterbatasan ruang. Bagaimana ruang diperebutkan secara
zero-sum game telah ditunjukkan secara brutal di jalan-jalan kita. Setiap 30 menit seorang tewas di jalan raya. Kita sudah hampir terlambat untuk membangun angkutan umum masal, terutama yang berbasis rel, baik antarkota maupun untuk kota-kota kita. Obsesi pada solusi jalan adalah jalan sesat yang telah melumpuhkan -jika tidak disebut mematikan- moda rel, sungai, dan penyeberangan. Yang menjadi ukuran kesuksesan kelas menengah adalah kecepatan mobilitasnya, yang sebagian ditunjukkan oleh kepemilikan mobil pribadi.

Pada titik inilah kita mesti ingat peringatan Ivan Illich 40 tahun lalu ("
Energy and Equity") bahwa masyarakat dengan konsumsi energi tinggi adalah jalan bagi inefisiensi transportasi, polusi, dan, ini yang terpenting untuk direnungkan, ketidakadilan dalam masyarakat. Sampai tingkat konsumsi energi per kapita tertentu, energi masih berdampak positif. Lebih tinggi dari itu, konsumsi energi justru mulai bersifat destruktif karena mulai merusak lingkungan.

Ivan Illich bahkan maju lebih jauh. Masyarakat yang digolongkan berdasar kecepatannya dalam mobilitas adalah -kecepatan mobilitas menunjukkan tingkat konsumsi energi per kapita- masyarakat yang sakit, seperti tubuh yang sakit akibat kelebihan kalori dalam gula darah. Penyakit masyarakat ini wujud dalam kesenjangan sosial ekonomi. Bahkan, konsumsi energi berlebihan akan justru menghasilkan kelumpuhan sosial-budaya.

Lihatlah bagaimana saat ini bermunculan kawasan bebas mobil di akhir pekan dalam program
car free day di kota-kota besar kita. Kita merasakan betapa bisa berjalan kaki dan bersepeda dengan leluasa. Lebih banyak ruang dan waktu untuk bercengkerama dengan sesama warga sekalipun tidak kenal. Semakin banyak mobil dan sepeda motor ternyata justru menyebabkan kekurangan waktu dan ruang.

Istilah krisis energi dengan demikian tidak cukup diartikan semata pada ketidakmampuan kita menghasilkan sumber-sumber energi baru, terutama yang terbarukan, sementara konsumsi energi kita seolah boleh meningkat tanpa batas. Krisis energi juga bisa diartikan ketidakmampuan kita mengendalikan keinginan kita untuk hidup berlebihan dengan mengeksploitasi alam. Pada titik ini pemikiran E.F. Schoemacher dalam "
Small is Beautiful" klop dengan Ivan Illich.

Dalam perspektif kemandirian teknologi energi, harus diingat bahwa obsesi pada peningkatan pasokan energi-terutama yg terbarukan- harus diimbangi dengan pengendalian kebutuhan energi yang sehat. Ini berarti perubahan gaya hidup yang lebih rendah energi, terutama melalui penetapan batas kecepatan mobilitas. Oleh Illich bahkan kecepatan mobilitas itu dibatasi hingga enam kali kecepatan orang berjalan kaki, atau kecepatan maksimum bersepeda. Ini berarti lebih banyak fasilitas transit: trotoar lebar untuk pejalan kaki, pengguna sepeda, dan kendaraan berkuda terutama untuk perjalanan jarak pendek di perkotaan dan pedesaan yang tidak memerlukan kecepatan tinggi.

Artinya, kemandirian teknologi energi nasional tidak saja diarahkan pada peningkatan kemampuan produksi energi terbarukan di masa depan. Kita juga harus membudayakan gaya hidup baru dengan teknologi produksi barang dan jasa yang efisien energi.

Di titik inilah kita perlu membedakan diri dari Tiongkok yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia di abad ke-21. Jalan Tiongkok, mungkin juga India, adalah jalan yang salah yang telah ditempuh oleh Eropa dan AS. CEO Unilever mengatakan, jika umat manusia harus mengikuti gaya hidup Eropa, kita membutuhkan tiga bumi, dan jika meniru AS, kita membutuhkan lima bumi. Jika Fareed Zakaria dari
Newsweek menyebut abad ke-21 ini sebagai 'a post-American world", dunia setelah kejayaan AS berakhir itu segera disusul oleh 'a post China world" yang sama salahnya. Model Eropa dan AS ini terbukti gagal dan oleh karena itu tidak pantas ditiru.

Kita perlu memilih sebuah jalan baru modernitas yang berbeda dengan jalan modernitas yang telah ditempuh Eropa dan AS yang kini diikuti Tiongkok. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan mereka. Kita memilih modernitas yang memberdayakan kapasitas fitrah kita yang dianugerahi Tuhan dengan dua kaki yang tegaknya mencerminkan tahapan evolusi primata paling maju. Kita membutuhkan teknologi baru yang menguatkan kedua kaki itu sebagai orang-orang merdeka yang tidak mau dilemahkan oleh mesin-mesin budak energi. Jalan baru itu bukan sekadar kebanggaan-kebangsaan semu, tapi sekaligus solusi bagi krisis global saat ini.
*) Guru besar Teknik Kelautan 
ITS Surabaya dan Ketua Persatuan 
Insinyur Indonesia (PII) Cabang Surabaya

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Kamis 31 Mei 2012

Menyoal Pengecualian Informasi Publik


Menyoal Pengecualian Informasi Publik
Oleh
SATRIO WAHONO*
 


DI tengah aneka problem yang membelit ibu kota negara, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta justru menambah masalah, alih-alih menguranginya. Pasalnya, Gubernur DKI Jakarta baru-baru ini kedapatan meneken Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 1971/2011 tentang Informasi yang dikecualikan atau dirahasiakan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta (www.jurnas.com, 19/4/2012). Dalam SK tersebut, dokumen pertanggungjawaban keuangan daerah seperti surat pertanggungjawaban keuangan (SPJ), tiket, kuitansi, bukti pembayaran, dokumen lelang, kontrak atau surat perjanjian kerja sama (SPK), dikategorikan sebagai informasi yang tidak boleh diakses publik.

Tak ayal, beleid gubernur itu menyemburatkan permasalahan serius. Sebab, semangat publik untuk ikut mengontrol praktik tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) akan tertumbuk jalan terjal. Bagaimana tidak, ketiadaan dokumen seperti itu akan merampas data keras (hard data) yang jelas dibutuhkan publik untuk secara akurat, valid, dan bertanggung jawab ikut berpartisipasi dalam mengkritik indikasi-indikasi penyimpangan yang terjadi dalam berbagai kebijakan pemprov. Sebagai contoh, bagaimana mungkin publik bisa mencium gelagat penggelembungan biaya (markup) dalam satu proyek jika mereka tidak bisa mengakses informasi seputar SPK?

Oleh sebab itu, SK tersebut belum-belum sudah menyimpan potensi untuk menyuburkan kemungkinan praktik koruptif. Lagi pula, proses penerbitan SK itu juga sejatinya sarat persoalan.

Sebagaimana diketahui, Indonesia sebenarnya sudah memiliki UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Produk hukum itu, sebagaimana ditegaskan Soemarno Partodihardjo dalam Keterbukaan Informasi Publik (2008:4), menguatkan konsensus internasional seperti termaktub dalam panduan legislasi OAS (Organization of American States). Yaitu, hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia (HAM) dan KIP merupakan salah satu ciri penting negara demokratis. Bahkan, tak kurang pasal 28F UUD 1945 ikut menekankan hak seseorang untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi sebagai bagian dari HAM.

Selain itu, UU KIP berperan signifikan dalam konteks pembangunan ekonomi bangsa. Misalnya, UU itu akan memotivasi badan publik kian bertanggung jawab dan berorientasi untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik kepada rakyat. Juga, UU yang sama akan mengakselerasi terwujudnya pemerintahan transparan yang minim praktik koruptif dan giat menjalankan praktik good governance.

Pengecualian

Seturut logika UU KIP di atas, SK Gubernur 1971/2011 tersebut berpotensi melabrak sejumlah landasan dan alasan, baik filosofis maupun sosiologis, di balik lahirnya UU KIP. Terutama, SK tersebut berisiko melahirkan pemerintah yang tak bertata kelola baik dan juga badan-badan publik yang tak menghiraukan pentingnya memberikan pelayanan publik secara maksimal kepada masyarakat.

Memang, tak bisa dimungkiri bahwa UU KIP memberikan lima kemungkinan bagi pengecualian informasi yang patut dibuka kepada publik. Pertama, informasi yang dapat membahayakan negara, seperti informasi tentang pertahanan negara. Kedua, informasi tentang perlindungan usaha dan persaingan usaha tidak sehat. Ketiga, informasi terkait hak-hak pribadi. Keempat, informasi rahasia jabatan. Kelima, informasi yang memang belum dimiliki atau didokumentasikan.

Meski demikian, badan publik tidak bisa semena-mena mendalilkan salah satu di antara lima pengecualian di atas begitu saja. Minimal, badan publik yang bersangkutan harus menjalankan terlebih dahulu salah satu di antara dua metode uji. Pertama, metode consequential harm. Dalam metode itu, pejabat publik harus secara memuaskan mampu menjelaskan konsekuensi kerugian yang muncul gara-gara dibukanya satu informasi kepada publik. Di sini, beban pembuktian ada pada pejabat publik yang mendalilkan pengecualian.

Kedua, metode balancing public interest. Berpijak kepada metode tersebut, pengecualian bisa dilakukan apabila badan atau pejabat publik menimbang bahwa kepentingan publik akan lebih terlindungi apabila informasi itu tidak terbuka untuk publik ketimbang apabila publik bebas mengakses informasi tersebut.

Nah, dalam konteks SK Gubernur 1971/2011, kita tentu perlu melihat apakah Pemprov DKI Jakarta sudah menjalankan salah satu di antara dua metode uji di atas. Juga, apakah informasi yang dikecualikan tersebut benar-benar tergolong pada salah satu di antara lima kemungkinan pengecualian yang diberikan UU KIP.

Apabila kita periksa satu per satu, jawaban negatiflah yang tampaknya tergelar. Sebab, memang belum ada penjelasan memadai dari pemprov, baik dari segi consequential harm maupun balancing public interest, mengapa informasi-informasi sebagaimana termaksud dalam SK tersebut harus dikecualikan.

Tambahan lagi, rasa-rasanya informasi termaksud dalam SK itu tidaklah tergolong pada lima ''pintu'' pengecualian yang disediakan UU KIP. Maksudnya, semua informasi tersebut bukanlah informasi yang membahayakan negara; bukan informasi yang akan menciptakan persaingan usaha tidak sehat; bukan informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi atau rahasia jabatan; dan bukan pula informasi yang tidak didokumentasikan oleh Pemprov DKI Jakarta.

Reaksi Solutif

Akan tetapi, ''nasi sudah jadi bubur'' karena SK itu memang sudah diterbitkan tahun lalu. Ketimbang hanya mengeluh, reaksi yang lebih solutif jelas lebih positif untuk berupaya mewujudkan praktik tata kelola pemerintahan yang baik.

Untuk itu, setidaknya ada dua solusi menangkal SK tersebut. Pertama, publik yang berkepentingan bisa meminta mediasi kepada Komisi Informasi (KI) terkait sengketa informasi publik (IP) akibat adanya penolakan atas permintaan informasi berdasar alasan pengecualian. Jika mediasi tidak berhasil, pihak yang bersengketa dapat meminta penyelesaian ajudikasi nonlitigasi (di luar pengadilan) di KI yang putusannya setara dengan putusan pengadilan. Jalan mediasi itu cukup cepat karena harus selesai dalam seratus hari kerja.

Kedua, jika hasil ajudikasi dari KI tidak diterima, penyelesaian sengketa bisa dibawa ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) karena Pemprov DKI Jakarta sebagai tergugat adalah badan publik (BP) negara.

Berbekal dua solusi tersebut, semoga kita di masa depan dapat menyaksikan terwujudnya satu tata kelola pemerintahan yang lebih transparan dan demokratis!
*) Sosiolog dan 
Magister Filsafat UI
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Rabu 30 Mei 2012

Sang Pemuja Setan Sejati

Sang Pemuja Setan Sejati
Oleh
DANANG PROBOTANOYO*


SETELAH energi bangsa ini terkuras dalam polemik yang berkepanjangan soal konser Lady Gaga, akhirnya manajemen Lady Gaga via promotornya, yaitu Big Daddy Entertainment, menyatakan secara resmi pembatalan konser Monster Babon (Mother Monster) yang sedianya dilangsungkan di Gelora Bung Karno, Jakarta, 3 Juni 2012.

Rasanya belum pernah dalam sejarah Indonesia, suatu rencana perhelatan pertunjukan musik menimbulkan pro-kontra yang demikian tajam dan melibatkan banyak pihak. Perdebatan dan polemik nyaris terjadi setiap hari melalui semua kanal media. Baik televisi, radio, koran, majalah, tabloid, situs berita internet, hingga jejaring sosial, semua mengulas Lady Gaga.

Dari masyarakat biasa, pelajar, ulama, seniman, hingga pejabat kementerian dan kepolisian, semua berdebat soal boleh atau tidaknya Lady Gaga berkonser di Indonesia. Gara-gara polemik tersebut, masyarakat seolah terbelah dua, antara yang setuju konser dengan yang menolaknya. Tentu, semua dengan perspektif dan argumen masing-masing.

Menunjuk Lady Gaga

Meski demikian, bisa ditarik suatu kerucut pendapat bahwa yang prokonser Lady Gaga pada hakikatnya berangkat dari argumen besar mengenai kebebasan berekspresi. Sebaliknya, yang kontrakonser menyembulkan pemahaman bahwa konser Lady Gaga merupakan ancaman terhadap moralitas anak bangsa. Dus, dengan diumumkannya pembatalan konser oleh pihak Lady Gaga, suka tidak suka secara otomatis hal tersebut merupakan satu bentuk "kemenangan" pihak yang kontra atau yang menolak konser Lady Gaga di Indonesia.

Setidaknya, ada dua alasan pokok yang dijadikan landasan penolakan konser Lady Gaga oleh pihak yang kontra. Pertama, dalam setiap konser maupun di berbagai aksi dalam video musiknya, Lady Gaga selalu menampilkan diri sebagai sosok yang gemar memperlihatkan bentuk dan gerak tubuh yang sensual serta erotis. Menurut kalangan penolaknya, itu tak sesuai dengan budaya Indonesia, yang sarat dengan norma-norma kesopanan. Konser Lady Gaga dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi bangsa ini, khususnya kaum mudanya. Kedua, Lady Gaga dianggap bisa membawa pengaruh buruk terhadap kehidupan keagamaan dan keberagamaan di Indonesia. Pasalnya, Lady Gaga oleh banyak kalangan ditengarai sebagai pengikut kaum pemuja setan. Salah satu yang mengatakan demikian adalah Ketua Koordinator Harian MUI KH Ma'ruf Amin (jpnn.com).

Menunjuk Hidung Kita

Setelah "Sang Lady" gagal tampil di Indonesia, tentu polemik seputar dirinya harus diakhiri. Sekarang semua pihak -khususnya yang kontra terhadap konser Lady Gaga- justru lebih berkewajiban secara moral untuk membebaskan bangsa Indonesia dari dua hal yang kadung dilabelkan pada Lady Gaga, yakni: soal moral dan pemujaan terhadap setan. Sebenarnya, ada atau tidak ada Lady Gaga di Indonesia, dua stigma buruknya itu sangatlah mudah ditemui dalam kehidupan masyarakat kita selama ini.

Tidak mesti sama persis Lady Gaga, secara kontekstual permasalahan moralitas yang rendah dan "pemujaan terhadap setan" dalam bentuk lain kerap dijumpai di sekeliling kita. Tanpa Lady Gaga hadir di sini pun, moralitas bangsa ini -khususnya generasi mudanya- kian hari kian mengkhawatirkan. Pergaulan bebas dengan segala eksesnya, pemakaian narkoba, tawuran, hilangnya unggah-ungguh dan kesopanan terhadap orang tua, menjadi aksentuasi kemerosotan moral di berbagai kalangan saat ini. Orang tua pun juga banyak yang tidak pantas jadi teladan di berbagai bidang kehidupan.

Di tengah terjangan dekadensi moral bangsa ini, simbol-simbol "pemujaan terhadap setan" pun merebak dalam wujud barunya. Pemujaan setan masa kini bukan lagi dalam bentuk ritual menyembah batu besar, pohon tua, gunung, atau binatang berfisik aneh, namun telah beralih rupa dalam bentuk gaya hidup hedonis, korupsi, manipulasi, gila jabatan, mabuk kekuasaan.

Semua itu terjadi karena kita lebih menuruti dorongan hawa nafsu untuk lebih mencintai serta tergila-gila pada harta dan status di dunia. Tanpa disadari, berbagai manifestasi dorongan nafsu tadi telah menempatkan diri kita sebagai "pemuja setan" kelas wahid. Sebab, segala nafsu yang jelek pasti datangnya dari setan. Salah satu peringatan mulia Rasulullah SAW: Di kolong langit ini tidak ada Tuhan yang disembah yang lebih besar dalam pandangan Allah selain dari hawa nafsu yang dituruti.

Lady Gaga Tertawa

Dengan begitu, absennya Lady Gaga -distempeli sebagai amoral dan pemuja setan- di tengah-tengah kita tak akan bermakna banyak bila hari ini, esok, serta lusa kita sendiri masih bergelimang dengan berbagai perilaku yang tidak mencerminkan diri sebagai masyarakat bermoral serta masih gemarnya kita memuja "setan-setan" berwujud materi dan "kursi". Dengan momentum batalnya kedatangan Lady Gaga, bangsa Indonesia harus mampu membuktikan dirinya sendiri sebagai bangsa bermoral dan bukan "pemuja setan" dengan cara, antara lain, menurunkan bahkan mengikis habis angka statistik: penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, tawuran, amuk massa, korupsi, mafia hukum dan mafia anggaran, serta aneka kemungkaran.

Bila itu tak sanggup kita lakukan, Lady Gaga dari kejauhan sana bisa mencibir, tertawa, dan mengatakan kita sebagai biangnya amoral dan "pemuja setan" sejati. Maukah?
*)Bekerja pada Pusat Studi 
Reformasi Indonesia dan alumnus UGM
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Rabu 30 Mei 2012

Tuesday, May 29, 2012

Bias Hukum Lumpur Lapindo

Bias Hukum Lumpur Lapindo 
Oleh
SUBAGYO*


DALAM acara diskusi Skandal 6 Tahun Lumpur Lapindo di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham Ubaya) kemarin, ada seorang peserta diskusi yang membuat statemen, sebaiknya kasus lumpur Lapindo itu dianggap sejarah saja. Yang baik dilanjutkan, yang buruk dibuang.

Jika mau dianggap sejarah, kasus yang terjadi tepat enam tahun lalu itu memang pasti akan menjadi aib sejarah. Mempermalukan kita, sekarang dan masa depan. Siapa yang bisa mempercayai putusan-putusan pengadilan, keputusan kepolisian, kinerja kejaksaan, kebijakan-kebijakan pemerintah yang hingga kini tidak dapat tuntas mengurai kekeruhan itu?

Pihak Grup Bakrie sering membuat opini bahwa "Lapindo tidak bersalah" (dengan merujuk putusan pengadilan dan penghentian penyidikan oleh kepolisian). Jika Lapindo mau membayar jual-beli tanah para warga korban, itu semata-mata karena amanat almarhumah ibunda Aburizal Bakrie (Ical). Begitu, katanya.

Lalu, bagaimana kewajiban hukum Lapindo menurut pasal 15 Perpres No 14/2007? Bagaimana putusan MA No 14/P-HUM/2007 yang menolak permohonan uji materiil terhadap Perpres No 14 Tahun 2007 yang menegaskan: kewajiban Lapindo untuk membeli tanah warga korban lumpur dalam peta terdampak 22 Maret 2007 merupakan bentuk ganti rugi? Tetapi, mengapa pula putusan MA No 2710 K/Pdt/2008 (memperkuat putusan PT DKI No 136/Pdt/2008/PT.DKI) memutuskan Lapindo dkk tidak bersalah?

Kebingungan Hukum

Kasus tersebut unik. MA mengesahkan Perpres No 14/2007 dengan menafsir "jual-beli" tanah korban Lapindo sebagai bentuk "ganti-rugi". Tetapi, di sisi lain ternyata putusan MA No 2710 K/Pdt/2008 menyatakan Lapindo Brantas Inc. dan pemerintah tidak bersalah. Apakah atas dasar kebingungan hukum seperti itu Grup Bakrie merasa hanya tunduk pada amanat almarhumah ibunda Ical dan enggan tunduk pada Perpres No 14 Tahun 2007 jo putusan MA No 14 P/HUM/2007?

Yang jelas, kewajiban hukum Lapindo berdasar Perpres No 14/2007 yang diperkuat putusan MA itu tidak pernah dianulir oleh putusan hakim mana pun. Lapindo harus tunduk. Tetapi, selama ini Lapindo tidak tunduk, setidaknya mengulur waktu.

Dalam penegakan hukum administrasi negara, seharusnya presiden memberikan sanksi administratif kepada Lapindo, dapat menggunakan instrumen perizinan. Harus ada upaya paksa pemerintahan. Sekalipun tidak ada kewenangan yang pasti menurut undang-undang, presiden dapat membuat terobosan hukum (diskresi) untuk memerintahkan penyitaan aset-aset Grup Bakrie, atas izin pengadilan, guna melunasi kewajiban Lapindo kepada warga korban.

Putusan lainnya yang menyatakan Lapindo tidak bersalah dapat diinterpretasikan bahwa "kebenaran hukum" dalam kasus Lapindo belum tuntas. Sebab, masih bertentangan dengan putusan hukum lainnya. Selain faktor keterbatasan kemampuan penegak hukum dan paradigma hukum, terkadang korupsi dalam proses hukum membias dari kebenaran sejati.

Karena itu, Komnas HAM juga bekerja untuk menemukan sisi kebenaran yang lainnya dari perspektif HAM. Tim Ad Hoc Kasus Pelanggaran HAM yang Berat dalam kasus lumpur Lapindo telah menyimpulkan adanya kejahatan kemanusian yang termasuk pelanggaran HAM yang berat. Tim ini beranggota 13 orang dan diketuai Kabul Supriyadie dari Komnas HAM. Hasil kerja sejak 2009 disampaikan ke Komnas HAM pada 2011 dan direvisi awal 2012. Sikap resmi Komnas HAM sendiri belum ada.

Saya memberanikan diri menulis ini sebagai tanggung jawab saya sebagai anggota tim ad hoc (selaku penyelidik pembantu) dari unsur masyarakat. Masyarakat Indonesia harus mengetahui perkembangan proses yang terjadi meskipun tidak harus mengetahui seluruh hal yang bersifat teknis dan rahasia penanganan perkaranya.

Bukti BPK Diabaikan

Ketika lumpur baru menyembur, terbit Keppres No 13/2006 untuk pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Tiga tugas utamanya adalah penutupan semburan lumpur, penanganan luapan lumpur, dan penanganan masalah sosial. Biayanya dari anggaran Lapindo Brantas. Tetapi, dalam perkembangannya, kewajiban Lapindo tersebut dianulir dan dibatasi dengan pasal 15 Perpres No 14/2007.

Pada 2006, BPK melakukan pemeriksaan dan menerbitkan laporan resmi. Di sana liku-liku kesalahan teknis dalam pengeboran di Sumur Banjarpanji 1 Porong diuraikan secara jelas. Dokumen lembaga negara ini pernah dijadikan YLBHI dan Walhi sebagai salah satu alat bukti di pengadilan dalam menggugat Lapindo, pemerintah, dan pihak terkait. Tetapi, rupanya, hakim lebih memilih pendapat saksi ahli yang diajukan pihak tergugat (Lapindo dkk), padahal keterangan ahli tidak termasuk alat bukti berdasar pasal 164 HIR dan 1866 KUH Perdata.

Ditinjau dari standar pembuktian memanglah bahwa putusan PN Jakarta Selatan No 248/Pdt.G/2007/Jak.Sel., PT DKI Jakarta No. 383/Pdt/2008 yang diperkuat putusan MA No. 2710 K/Pdt/2008, serta putusan PT DKI Jakarta No. 136/Pdt/2008 adalah bermasalah atau tidak memenuhi standar degree of evidence.

Putusan PN Jakpus No. 384/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Pst menyatakan Lapindo bersalah dalam melakukan pengeboran, tetapi tidak dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena ada upaya penyelesaian oleh pemerintah. Tetapi, putusan ini dianulir putusan PT DKI Jakarta No 136/Pdt/2008 tersebut.

Para hakim dalam kasus tersebut telah membuat "terobosan hukum", melanggar standar pembuktian dalam hukum acara perdata, dan menguntungkan Lapindo Brantas Inc. dan tergugat lainnya. Padahal, hasil pemeriksaan BPK tersebut menjadi alat bukti surat otentik, ditambah dengan keterangan ahli yang kompeten.

Komisi Yudisial (KY) sebenarnya dapat melakukan analisis terhadap seluruh putusan tersebut, guna menilai profesionalisme (kemampuan para hakimnya), berdasar kewenangannya menurut pasal 42 UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Yakni, apakah ada aspek kebenaran hukum yang dimanipulasi.

Menurut saya, memang ada "kebenaran hukum" yang digali dengan cara yang tidak fair, dengan pertanyaan: Mengapa para hakim memilih keterangan ahli yang diajukan Lapindo dkk sebagai alat bukti, sedangkan alat bukti dokumen negara dan keterangan ahli yang diajukan para penggugat (YLBHI dan Walhi) dikalahkan dengan cara menabrak standar pembuktian berdasar pasal 164 HIR dan 1886 KUH Perdata?

Kini tiap tahun negara harus menganggarkan triliunan rupiah untuk penyelesaian kasus tersebut. Banyak problem yang dihadapi korban: masalah kesehatan, pendidikan, psikologi, ekonomi, dan lain-lain yang telantar. Tetapi, para warga korban terus berusaha untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Kasus tersebut menunjukkan dominasi korporasi atas negara. Etos kepemimpinan tegas dibutuhkan di negeri yang berbudaya hukum parokial dan subjektif ini. Jika tidak, mau berapa tahun lagi kasus Lapindo yang telah seusia anak kelas I SD itu akan terselesaikan? 
*)Advokat, Mantan Anggota 
Tim Investigasi dan Tim Ad Hoc
di Komnas HAM dalam 
perkara lumpur Lapindo
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Selasa 29 Mei 2012

Monday, May 28, 2012

Saat SBY Menjadi Hakim

Saat SBY Menjadi Hakim
Oleh
REZA INDRAGIRI AMRIEL*

MENGEJUTKAN sekaligus sangat mengecewakan bahwa Presiden SBY mengabulkan permohonan grasi Schapelle Leigh Corby. Berkat grasi lima tahun yang diberikan oleh SBY, masa penghukuman Corby berkurang menjadi 15 tahun. Ditambah keringanan-keringanan hukuman lain yang dia terima setiap tahun, makin singkat bagi Corby untuk menjadi napi di Denpasar.

Bagaimana SBY sampai bisa mengabulkan grasi, bahkan dengan pengurangan masa pemenjaraan yang begitu besar di tengah "bencana" narkoba yang merajalela?

SBY bukan hakim. Namun, tindakannya menjalankan kewenangan memberikan grasi adalah analog dengan perilaku hakim dalam membuat putusan yudisial. Psikologi merumuskan lima model guna menjelaskan perilaku yudisial.

Pertama, legal model. Sang hakim menjatuhkan putusan semata-mata berdasarkan kaidah-kaidah legal-normatif. Saya tidak menganggap legal model dapat dipakai untuk memahami perilaku SBY. Pasalnya, justru pemerintah sendiri yang memberlakukan pengetatan atau moratorium keringanan hukuman kepada napi narkotik, korupsi, terorisme, dan kejahatan lintas negara terorganisasi; kebijakan yang diapresiasi publik.

Bagaimana public view model? Model ini menunjukkan bahwa hakim berupaya menyelaraskan keputusan yudisialnya dengan arus opini publik. Tapi, faktanya masyarakat yang geram saat merespons berulangnya skandal narkoba dalam penjara, jelas bertolak belakang dengan keputusan grasi SBY untuk Corby. Kecaman atas grasi itu menunjukkan betapa tidak kongruennya sikap SBY dengan aspirasi publik.

Selanjutnya, motivational-behavioral model. Sisi-sisi pribadi si pembuat keputusan adalah fokus model yang satu ini. Usia, jenis kelamin, aspek kepribadian, bahkan kondisi faali hakim disimpulkan, dalam model ini, memiliki tali-temali dengan putusan yang dihasilkan.

Apakah sisi insani SBY ini pula yang bermain di balik "kebijakan" dia terhadap Corby? Bisa saja. Terlebih karena rasa kemanusiaan, misalnya iba, juga merupakan salah satu pertimbangan yang dapat dijadikan SBY sebagai justifikasi atas grasi tersebut. Pertanyaannya, hal apa pada diri Corby yang pantas dikasihani secara ekstra? Apalagi, ketika perasaan kasihan itu harus disodorkan oleh seorang kepala negara? Saya tidak menemukan jawabannya.

Argumentasi saya untuk menolak motivational-behavioral model tidak didasarkan pada diri Corby, melainkan pada SBY. Sebab, SBY selama ini dikenal luar biasa hati-hati saat akan menelurkan kebijakan. Watak SBY selalu menimbang sebanyak mungkin hal yang dinilainya relevan alias mengepankan rasionalitas. Kecil kemungkinan dalam kasus Corby, dimensi afeksi SBY terpicu menjadi aktif bahkan berpengaruh lebih dominan daripada dimensi kognisinya. Saya tidak begitu yakin bahwa keputusan pemberian grasi bagi Corby merupakan gambaran situasi terdistorsinya akal sehat SBY oleh perasaannya sendiri (affective bias), baik disadari maupun tanpa disadari. SBY yang sangat hirau pada citra diri itu tentu tidak ingin dinilai negatif sebagai sosok pemimpin nasional yang lebih menaruh welas asih kepada anak tetangga ketimbang anak-anaknya sendiri.

Model keempat, attitudinal model. Pemunculan model ini dirumuskan dari realita yudisial di Amerika bahwa hakim memiliki ikatan dengan partai-partai politik di sana. Hakim saat membuat putusan juga dipengaruhi oleh sentimen-sentimen ideologi politik tertentu. Tapi, relasi antara hakim dan ideologi tersebut bukan serta-merta sebagai pertanda mentalitas koruptif. Hakim-hakim di sana memang mempunyai sikap politik yang condong ke salah satu satu partai. Hakim yang didukung Partai Republik, misalnya, akan berbeda dengan hakim yang di-endorse Partai Demokrat. Yakni, dalam menyikapi masalah keabsahan pernikahan sejenis, aborsi, hukuman mati, dan isu-isu ideologis lainnya.

Seberapa tepat attitudinal model bisa diacu guna menerangkan keputusan grasi SBY untuk Corby? Berdasar vonis hakim peradilan tingkat pertama dan MA, keputusan grasi memang bertolak belakang. Kedua lembaga yudisial tadi berideologi penghukuman (retributive), sedangkan presiden tampaknya berideologi rehabilitative, bahkan mungkin reintegrative.

Namun, jika grasi dianggap sebagai manifestasi ideologi hukum-keadilan yang dianut SBY, dan sikap-perilaku ideologis tentu tidak insidental, apakah ideologi pemaafan tersebut muncul secara ajek? Ternyata tidak. Apalagi, jika dikaitkan dengan legal model seperti tertuang di atas serta pernyataan-pernyataan SBY lainnya, ideologi hukum-keadilan SBY yang paling mutakhir -setidaknya dalam kasus narkoba- adalah retributive tulen. Atas dasar itu, attitudinal model dapat dikesampingkan.

Garuk Punggung Australia

Aspek legal dikesampingkan. Pandangan publik diabaikan. Perasaan dinihilkan. Ideologi keadilan, antara ada dan tiada. Lantas apa?

Model terakhir adalah strategic model. Secara manusiawi, seorang hakim menjadikan keputusan hakim-hakim lain sebagai benchmark (tolok ukur). Langkah ini sebagai strategi untuk menghindari penilaian ekstrem bahwa si hakim membuat putusan yang melawan tren.

Untuk SBY, esensi strategic model bahwa kepentingan profesional merupakan unsur yang tak terhindarkan dari proses pembuatan putusan hukum, maka masuk akal untuk berspekulasi bahwa ada kepentingan profesional SBY di balik pemberian grasi kepada Corby.

Presiden adalah jabatan politik. Jadi, strategic model memberikan kerangka tafsir bahwa grasi adalah cara SBY untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Bagaimana masukan MA yang, konon, juga disampaikan kepada SBY? Sekali lagi, dalam kasus Corby, sikap MA adalah retributive. MA juga tidak mungkin memberikan masukan dengan substansi politik.

Pada sisi lain, Corby si ratu narkoba adalah warga Australia. Logika apa yang menari-nari di balik kata "Australia", pastinya orang politik yang lebih berkompeten menganalisisnya.
*) Dosen Psikologi Forensik 
Universitas Bina Nusantara Jakarta
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 28 Mei 2012

Terpinggirnya Bahasa Kesatuan dalam Unas

Terpinggirnya Bahasa Kesatuan dalam Unas
Oleh
OKY DIAN SULISTIYO*


NILAI ujian nasional (unas) pada mata pelajaran bahasa Indonesia ternyata masih menjadi momok bagi siswa sekolah menengah hingga saat ini. Tidak banyak yang mampu menempatkan skor mata pelajaran bahasa Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahasa Inggris.

Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, siswi peraih kategori terbaik unas tingkat nasional pun hanya mampu meraih nilai 9,6 pada mapel bahasa Indonesia jika dibandingkan dengan bahasa Inggris yang mencapai nilai 9,8 (Radar Malang, 26 Mei 2012).

Secara nasional, di antara 2.210 siswa yang tidak lulus pada satu mata pelajaran (nilai kurang dari empat), sebanyak 484 siswa tidak lulus karena bahasa Indonesia dan 165 siswa tidak lulus pada mata pelajaran bahasa Inggris (Kompas, 26 Mei 2012).

Menurut data Dinas Pendidikan Surabaya, pada 2007, jumlah siswa SMA di Surabaya yang memiliki nilai bahasa Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahasa Inggris hanya mencapai lima siswa. Angka itu semakin menurun pada 2008 dengan jumlah siswa SMA yang memiliki nilai unas bahasa Indonesia lebih tinggi daripada bahasa Inggris adalah 0 siswa.

Pada 2010, nilai rata-rata bahasa Indonesia beberapa sekolah di Jawa Timur untuk jurusan IPA 7,37. Nilai bahasa Indonesia berada di posisi paling bawah jika dibandingkan dengan pelajaran lain, seperti matematika, fisika, kimia, biologi, dan bahasa Inggris.

Sedangkan, nilai unas IPS untuk bahasa Indonesia 6,84. Lebih ironis lagi, untuk yang jurusan bahasa, nilai rata-rata bahasa Indonesia 6,8. Pada 2011, salah seorang siswa sekolah menengah kejuruan negeri (SMKN) yang meraih nilai tertinggi pada unas mendapatkan nilai bahasa Indonesia 9,6 jika dibandingkan dengan bahasa Inggris yang mencapai nilai sempurna atau 10.

Rendahnya nilai bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris merupakan fakta nasional. Sebuah kenyataan bahwa kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar telah banyak ditinggalkan oleh generasi muda saat ini. Dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari, generasi muda lebih senang dan nyaman jika menggunasakan bahasa Indonesia pergaulan (bahasa gaul) dibandingkan berbicara dan menulis bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Faktor kedua yang dianggap sebagai penyebab jatuhnya nilai bahasa Indonesia pada unas adalah materi soal ujian yang membutuhkan konsentrasi tinggi dan penalaran. Di sekolah pengajarannya sudah bagus karena pada umumnya para guru menekankan pada keterampilan berbahasa seperti menulis dan berbicara. Sebab, memang itulah fungsi bahasa Indonesia yang akan berguna bagi kehidupan. Tetapi, di unas, soal yang paling sulit dihadapi siswa terletak pada materi soal analisis bahasa, seperti ejaan (menentukan huruf besar dan kecil) dan soal cerita.

Permasalahan ketiga yang dihadapi saat ini adalah banyak masyarakat yang menganggap remeh bahasa Indonesia. Mereka, terutama generasi muda, lebih merasa keren jika mempunyai kemampuan dalam berbahasa Inggris. Kursus bahasa Inggris menjamur di mana-mana.

Ada berbagai macam tawaran, mulai harga murah dengan jaminan mampu menaikkan nilai skor TOEFL (Test of English as Foreign Language atau tes kemampuan berbahasa Inggris sebagai bahasa asing) hingga mencapai target di atas 500 sampai kurus yang menyediakan waktu sesuai dengan pelanggan. Bahkan, dengan dalih adanya globalisasi, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mulai menerapkan skor TOEFL 600 bagi setiap pegawai di jajarannya.

Dalam kutipan yang diambil dari sebuah media, kebijakan menaikkan skor TOEFL merupakan sebuah alat untuk merealisasikan prestasi dan kemampuan berbahasa Inggris yang lebih baik dapat menghasilkan karya yang lebih baik. Sungguh miris membaca kutipan tersebut. Seolah-olah bahasa Inggris menempati posisi pertama di negara Indonesia ini.

Kemudian, bagaimana nasib bahasa Indonesia? Tidak bisa dimungkiri, tidak banyak orang yang mempunyai kemampuan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan sesuai dengan ejaan yang disempurnakan (EYD). Gerakan "Cinta Bahasa Indonesia" sepertinya harus terus didengungkan.

Penerapan berbahasa Indonesia yang baik dan benar memang awalnya terasa sulit untuk dilakukan. Bukankah sama dengan bahasa Inggris yang pada awalnya terdengar asing dan sulit untuk dipahami? Akan tetapi, lambat laun, tidak sedikit generasi muda saat ini yang pintar bercas-cis-cus dalam bahasa Inggris.

Jika kursus bahasa Inggris menjamur hingga ke seluruh pelosok wilayah, kenapa tidak dibentuk sebuah kursus bahasa Indonesia? Sehingga, tidak ada lagi fakta nasional yang mengatakan bahwa nilai unas bahasa Indonesia siswa SMA dan SMK di Indonesia jeblok.

Ujian nasional bahasa Indonesia yang dipandang sulit oleh siswa bisa disiasati oleh tenaga pengajar dengan cara memberikan metode yang mudah dipahami bagi siswa sehingga membantu untuk meningkatkan nilai unas.
*)Staf Humas 
Universitas Brawijaya
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 28 Mei 2012
 

Saturday, May 26, 2012

Tendangan si Madun ke Anak Kita

Tendangan si Madun ke Anak Kita
Oleh
ABD. BASID*


TAK kalah oleh demam sepak bola Eropa, Tendangan si Madun kini digandrungi anak-anak kita belakangan ini. Sangat sulit untuk tidak menemukan anak-anak yang tidak senang film bertema bola itu. Di mana-mana, semua suka si Madun, bahkan sampai anak-anak perempuan sekalipun. Di rumah, sekolah, dan lapangan, sering kita temukan pembicaraan serta atraksi anak yang mencontoh film yang dibintangi Yusuf Mahardika tersebut.

Sebetulnya, film Tendangan si Madun bukanlah film anak satu-satunya yang bertema bola. Jauh sebelum itu, ada film anak bertema bola seperti Ronaldowati, Tendangan dari Langit, King, dan Garuda di Dadaku. Namun, di antara beberapa film anak yang disebutkan itu, hanya Tendangan si Madun-lah yang paling banyak menyedot perhatian dan simpati anak-anak.

Ada beberapa poin alasan film yang ditayangkan MNCTV tersebut begitu digandrungi anak-anak belakangan ini. Di antaranya, pertama, basis anak laki-laki kita mayoritas hobi bermain sepak bola. Permainan itu menjadi salah satu jenis olahraga yang banyak diminati ketimbang olahraga lain seperti bulu tangkis dan tenis meja. Ditambah, jenis olahraga sepak bola itu mudah dijangkau dan lingkungan kita rata-rata gibol (gila bola).

Kedua, atraksi para pemainnya yang begitu ''menakjubkan''. Contoh kecilnya bisa dilihat bagaimana si Madun, Rizal, dan Fatur menendang serta menggiring bola dengan begitu lincahnya dan selalu lepas dari kawalan lawan mainnya. Trik serta strategi main mereka dengan gampangnya bisa langsung ditiru anak-anak yang menonton, ditambah karena setiap hari mereka memang hobi bermain bola.

Ketiga, penampilan unik beserta atraksi khas beberapa regu yang bertanding. Kalau ikut melihat, kita bakal menemukan regu-regu yang ada berpenampilan unik dan berciri latar belakang masing-masing. Misalnya, mereka yang berlatar belakang pesilat kungfu akan tampil layaknya pesilat kungfu beserta jurus-jurus ala kungfunya. Begitu juga, mereka yang berlatar belakang rocker, pegulat, dan lainnya akan berpenampilan sesuai dengan latar belakang masing-masing.

Kiranya, tiga poin itulah yang melatarbelakangi suksesnya film Tendangan si Madun. Di antara tiga poin tersebut, poin kedua dan ketiga paling menarik dan memberikan warna lain bagi perfilman anak dengan tema bola di Indonesia ini.

Namun, di balik semua itu, ada beberapa hal yang pada praktiknya bisa berakibat buruk dan berefek terhadap perilaku serta sikap anak. Pertama, jam tayang yang bersamaan dengan jam produktif anak. Tendangan si Madun yang tayang setiap hari pukul 20.00-21.00 sangat mengganggu aktivitas belajar anak. Pukul 19.00-20.00 merupakan waktu produktif dan efektif anak untuk belajar, mengulang, serta mempersiapkan pelajaran esoknya. Selain itu, akibat lain yang dapat ditimbulkan, anak-anak berpotensi bangun kesiangan karena nonton Tendangan si Madun yang tayang hingga pukul 21.00 atau mengantuk waktu jam pelajaran sekolah karena baru tidur setelah larut malam.

Kedua, atraksi ekstrem. Dalam Tendangan si Madun, tidak jarang ditemukan atraksi-atraksi berbahaya jika dilakukan dan ditiru anak-anak di dunia nyata. Misalnya, salto, lompat, dan sejenisnya. Atraksi-atraksi itu hanya bisa dilakukan di dunia fiktif (film). Jika dilakukan di dunia nyata, bisa berakibat fatal bagi anak yang meniru. Misalnya, patah tulang, keseleo, dan sejenisnya. Anak mungkin tidak tahu bahwa atraksi ekstrem Tendangan si Madun itu hanya ada dalam film. Itu hanyalah hasil olahan efek oleh sutradara film. Kita ingat efek negatif serial Smackdown yang memicu peniruan kekerasan di kalangan anak-anak beberapa waktu lalu.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua dan industri hiburan agar anak tidak mendapat dampak negatif. Pertama, pendampingan orang tua atau wali ketika anak nonton film. Orang tua berperan memperingatkan dan menyaring film-film anak yang sekiranya berpengaruh baik dan buruk bagi anak didiknya, baik terhadap moral, sikap, maupun perilaku anak. Selain itu, orang tua mengontrol serta memperingatkan anak untuk segera tidur dan tidak nonton film hingga larut malam.

Kedua, teguran orang tua atau guru ketika anak melakukan atraksi ekstrem, baik di rumah, sekolah, maupun lapangan. Ketika itu juga anak diberi pemahaman akan bahaya yang dilakukannya sekaligus pemberitahuan dengan halus bahwa atraksi ekstrem dalam Tendangan si Madun tersebut adalah fiktif dan hanya ada di dunia film.

Ketiga, perubahan jam tayang film. Perubahan jam tayang tersebut dianggap perlu karena pendampingan orang tua akan kurang maksimal jika tidak dibarengi dukungan pihak luar, dalam hal ini stasiun televisi. Orang tua bisa saja kewalahan dan kecolongan karena berbagai kesibukan masing-masing. Karena itu, perubahan jam tayang atau bahkan pengurangan jam tayang akan sangat mendukung.

Alhasil, dalam menonton film, orang tua jangan sampai lepas kontrol kepada anak-anaknya agar perilaku mereka tidak gampang meniru apa yang mereka tonton. Padahal, apa yang mereka lihat tidaklah bagus. Di lain pihak, industri film harus ikut andil dan bisa menyensor atraksi yang bermanfaat dan tidak bermanfaat bagi penonton, khususnya anak-anak yang notabene gampang menjiplak apa yang mereka lihat. Dengan kata lain, industri perfilman juga harus tahu diri, tidak hanya mengutamakan kepentingan bisnis belaka.

Anak-anak perlu dipahamkan, untuk bermain sepak bola yang sebenarnya, jelas tak semudah dalam Tendangan si Madun. Kalau semudah itu, tentu PSSI gampang jadi juara.
  *) Dosen STT Nurul 
Jadid, Paiton, Probolinggo
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Sabtu 26 Mei 2012

Friday, May 25, 2012

Grasi Pro-Terorisme Narkoba

Grasi Pro-Terorisme Narkoba
Oleh
SITI MARWIYAH*

TINDAK kejahatan serius atau istimewa yang tak kalah dahsyat bila dibandingkan dengan terorisme adalah narkoba. Pendistribusi, pebisnis, atau pengomoditas narkotika dan zat-zat adiktif (napza) merupakan penyalah guna yang layak digolongkan sebagai teroris. Pasalnya, apa yang diperbuat tidak ubahnya mengesahkan dan memperluas pembunuhan dan pembantaian atau penghancuran masal manusia Indonesia, khususnya komunitas generasi muda.

Schapelle Leigh Corby, yang divonis 20 tahun penjara di PN Denpasar, Bali, pada 27 Mei 2005 dan dikuatkan MA lewat putusan kasasi, mendapat pemotongan hukuman lima tahun. Inilah grasi pertama yang dikeluarkan presiden untuk terpidana narkoba. Corby dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, saat menyelundupkan 4,1 kg mariyuana alias ganja pada 8 Oktober 2004. Kini dia tinggal menjalani tujuh tahun hidup di lapas. Belum lagi bila ada diskon remisi.

Pemberian grasi itu disokong apologi politik bahwa pemerintah Australia juga memberikan banyak pengampunan terhadap WNI yang melakukan kejahatan di sana. Ini layak dipertanyakan lebih lanjut. Pasalnya, Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr membantah adanya kesepakatan barter tersebut. Lantas ada apa dengan pemberian grasi ini?

Jika menimbang ancaman "terorismeÓ dari pebisnis napza, jelas pemberian grasi Presiden SBY ini sebagai bentuk penganakemasan atau pengistimewaan warga negara asing yang terlibat penyalahgunaan narkoba. Selain itu, langkah ini sebagai pembuka jalur liberalisasi "terorismeÓ di sektor peredaran atau perdagangan napza. Para penyalah guna napza dari dalam negeri menempati strata "warga kelas duaÓ (underprivilege).

Meski konstitusional, pemberian grasi untuk narapidana narkoba itu tak ubahnya bagian dari "kekalahanÓ SBY dalam menghadapi kekuatan asing. Mereka memang mengintervensi atau minimal bereksperimentasi dalam memengaruhi independensi hukum di Indonesia.

Negara-negara lain sangat paham terhadap kondisi penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia yang karut-marut atau "lembekÓ dalam independensi. Mereka pun mencoba meminta atau mengajukan sedikit bargaining. Dan terbukti, pemerintah kita tak berkutik.

Yang lebih ironis, sebelum mereka meminta atau melakukan upaya yuridis-poltik, pemerintah kita sudah menunjukkan politik "karitasÓ (kedermawanan) dengan cara memberikan kompensasi (keringanan) sanksi hukuman. Seolah-olah apa yang dilakukan pemerintah (negara) ini benar-benar merepresentasi kepentingan kemanusiaan (narapidana).

Sisi kemanusiaan apa yang patut diterima Corby? Anak-anak muda Indonesia sudah demikian banyak yang tercerabut sisi kemanusiaannya akibat para penjahat napza. Itu jelas paradoksal dengan sikap pemerintah selama ini, yang terkenal lambat atau kurang cekatan saat ada sejumlah orang Indonesia di luar negeri yang tersandung masalah hukum.

Problem TKI bermasalah hukum, misalnya. Tak sedikit jumlahnya yang tak mendapatkan advokasi memadai dari pemerintah. Akibatnya, kisah mereka berakhir mengenaskan dengan menjalani hukuman mati atau sanksi hukuman berkadar pemberatan.

Alasan kemanusiaan yang disampaikan presiden di balik pemberian grasi merupakan "yurisprudensiÓ politik bagi setiap kandidat pengedar napza ke Indonesia. Mereka akan menjadikan Indonesia sebagai surga "terorismeÓ di kalangan pengedar atau pebisnis napza.

Di Indonesia saat ini hampir tak ada satu kelurahan pun yang bebas dari ancaman narkoba. Sebanyak 3,2 juta penduduk di Indonesia menyalahgunakan narkoba dan 15.000 orang mati sia-sia setiap tahun atau 40 orang setiap hari. Selain mahasiswa dan pelajar, penyalahgunaan narkoba dilakukan oleh rumah tangga, politisi, dan aparat pemerintahan dan keamanan (yang mestinya penegak hukum). Bahkan, sipir penjara yang mestinya menjaga napi atau tahanan narkoba banyak yang terlibat. Akibat kecanduan narkoba, mereka bisa terkena penyakit AIDS, paru-paru, jantung, hepatitis, dan juga mati overdosis.

Berdasar data dari BNN (Badan Narkotika Nasional), narkoba di Indonesia dipasok dari Malaysia, Afrika, Thailand, Vietnam, dan banyak negara lain yang menjadi produsen narkoba bagi negara ini. Jumlah penduduk yang mencapai 240 juta jiwa menjadikan Indonesia merupakan pasar basah atau 2,2 persen adalah konsumen narkoba. Jumlah ini diperkirakan naik menjadi 2,8 persen atau 6 juta jiwa.

Kasus yang terungkap tersebut hanya sebagian kecil. Tidak banyak keluarga (orang tua) yang bernyali mau melaporkan anak-anaknya yang terjerumus dalam penyalahgunaan napza, baik sebagai pengedar maupun pengguna. Selain alasan ancaman sanksi yuridis, mereka menjauhi kemungkinan adanya publikasi yang menjatuhkan citra keluarga.

Senyatanya, negeri ini sudah benar-benar menjadi surganya para pebisnis napza. Ketika peran penegakan hukum atau sanksi hukumannya melemah, ini jelas mengabsolutkan Indonesia sebagai negeri yang dipermainkan dan dijadikan "keranjang sampahÓ kekuatan asing.

Apa mau dikata, grasi telanjur dipersembahkan kepada Corby. Apakah kita masih bisa berharap negara akan tegas terhadap pengedar napza, dari mana pun asal warga negaranya. Meskipun, di samping ancaman globalisasi pengedaran napza yang semakin mengerikan dan meluas-mencengkeram, kecuali negara memang sudah menoleransi mengakselerasinya "pembantaian” generasi muda. Sungguh mengerikan Indonesia ke depan jika sampai generasinya "terbantai” moral, psikologis, dan ketahanan fisiknya sejak dini.
*) Dekan Fakultas Hukum 
Universitas dr Soetomo Surabaya 
dan mahasiswi program doktor 
ilmu hukum Universitas Brawijaya

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Jum'at 25 Mei 2012

Guru Agama di Era Lady Gaga

Guru Agama di Era Lady Gaga
Oleh
BAGUS MUSTAKIM*


SAYA seratus persen setuju dengan Iwan Fals yang menyatakan dalam lagunya bahwa pencarian masalah moral dan akhlak seharusnya diserahkan kepada masing-masing individu. Adapun yang dibutuhkan masyarakat adalah peraturan yang sehat dan penegakan hukum setegak-tegaknya. Melalui peraturan yang sehat dan penegakan hukum yang tegas, moralitas dan akhlak masyarakat akan terjaga.

Saya juga setuju seratus persen bahwa turun tidaknya izin konser Lady Gaga seharusnya dibingkai dalam konteks penegakan hukum, bukan konteks moral ataupun akhlak. Kalau ternyata ada pro dan kontra, itu seharusnya diposisikan sebagai hal yang wajar. Apa pun alasan yang melatarbelakangi, baik masalah keagamaan ataupun sosial budaya, semua itu harus diletakkan dalam koridor perbedaan yang lumrah. Dengan demikian, kalau urusan perizinan berubah menjadi kontroversi seperti sekarang ini, itu berarti ada yang berhubungan dengan masalah profesionalisme kepolisian atau memang ada yang sengaja memancing di air keruh.

Tulisan ini hanya akan menyoroti dampak yang terjadi dari konser Lady Gaga terhadap pendidikan agama di sekolah. Lady Gaga, sebagaimana telah banyak dikenal, mengusung kebebasan ekstrem dalam lagu-lagunya. Beberapa kalangan menilai bahwa lagu-lagu Lady Gaga mengandung paham ideologi yang mengajarkan kebebasan seksual, keseronokan, dan pornoaksi.

Jika dikaitkan dengan pelajaran agama di sekolah, nilai-nilai yang termuat dalam diri Lady Gaga tentu sangat bertentangan dengan nilai yang diajarkan dalam pelajaran agama. Bandingkan saja nilai-nilai yang diusung Lady Gaga itu dengan pelajaran agama yang mengajarkan pernikahan yang terlembagakan hingga cara berpakaian yang sopan.

Di tengah gempuran budaya pop yang dibangun atas dasar liberalisme dan kapitalisme, mengajarkan agama di sekolah menjadi suatu pekerjaan yang tidak mudah. Misi guru agama adalah mengajarkan budaya agama di sekolah dalam membangun spiritualitas peserta didiknya. Sementara di luar sekolah, peserta didik digempur simbol-simbol gaul liberalisme yang memanjakan dan sangat menantang. Sangat sering simbol liberalisme itu bertentangan dengan budaya agama yang dibangun secara susah payah oleh guru agama.

Bisa dibayangkan, di kelas guru agama mengajarkan agar generasi muda menjauhkan diri dari pergaulan bebas dan mengganti dengan pergaulan yang bertanggung jawab dalam bingkai pernikahan. Tetapi, di luar kelas mereka digiring oleh budaya pop dengan lagu cinta-cintaan, film-film mesum, dan cerita-cerita perselingkuhan yang dilakukan remaja-remaja metropolitan. Di dalam kelas guru agama mengajarkan bahwa hidup harus memiliki visi jangka panjang, sementara di luar kelas budaya pop menawarkan kenikmatan yang dapat dirasakan saat ini juga (instan). Ini adalah bentuk pertarungan bebas yang sangat nyata.


Kalaupun moralitas atau akhlak yang subjektif itu tidak bisa dijadikan pertimbangan dalam menerbitkan perizinan konser Lady Gaga, apakah nilai-nilai ketuhanan dan budaya agama yang jelas-jelas diakui oleh konstitusi negara juga tidak bisa dijadikan bahan pertimbangan? Kalau tidak, lalu di mana peraturan yang sehat itu? Apakah peraturan yang sehat hanyalah peraturan yang didasarkan kepada pertimbangan pasar?

Kalau benar demikian, mengapa nilai-nilai ketuhanan dan agama tetap menghiasi konstitusi negara kita? Mengapa nilai-nilai itu tidak dihapus dan diganti dengan filosofi yang baru yang lebih modern dan lebih akrab dengan kebutuhan pasar? Mengapa pendidikan agama tetap diwajibkan untuk seluruh jenjang pendidikan? Mengapa guru agama tetap dibebani mengajarkan budaya agama di sekolah? Mengapa pendidikan agama tidak dihapus sekalian?

Dalam konteks paham yang diusung Lady Gaga, bagaimana seorang guru agama harus menjelaskan persoalan homoseksualitas dan keseronokan itu kepada peserta didiknya. Apakah memvonisnya secara tekstual dengan menyatakan haram meskipun sang guru tahu bahwa vonis itu mungkin tidak akan berpengaruh apa pun terhadap pengidolaan si artis tersebut. Ataukah mendekatinya dengan pendekatan psikologis, sosiologis, dan ekonomis yang bukan menjadi kompetensinya? Ataukah guru agama dilarang berkomentar karena belum terbukti kontribusinya dalam melawan praktik korupsi di negeri ini sehingga tidak memiliki legalitas moral untuk berbicara masalah moralitas semacam itu?

Jika bangsa ini masih komitmen dengan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan, sudah seharusnya nilai-nilai itu menjadi pertimbangan dalam menyusun perundang-undangan. Dengan demikian, akan lahir peraturan yang benar-benar sehat, yakni peraturan yang mampu mewadahi semua kepentingan bangsa. Diakui atau tidak, masing-masing elemen masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda. Apakah itu atas nama agama, ekonomi, budaya, kebebasan, HAM, dan lain-lain. Sejarah mencatat bahwa kelompok-kelompok kepentingan tersebut memiliki kontribusi yang besar dalam pendirian maupun pembangunan negara meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda.

Peraturan yang sehat tidak seharusnya meninggalkan salah satu kepentingan dari elemen-elemen yang berbeda itu, melainkan mampu menjembatani beragam kepentingan yang ada. Dengan demikian, diperlukan sebuah kecerdasan dalam memahami karakter bangsa yang memang plural ini. Sayangnya selama ini agamalah yang selalu dituntut untuk mengerti dan memahami perbedaan. Guru agama diminta untuk mengajarkan toleransi dan mengembangkan pendidikan agama berwawasan multikultural. Sementara budaya pop seolah menutup mata terhadap realitas plural itu. Budaya pop dikembangkan secara masif tanpa memiliki kepedulian dan toleransi terhadap budaya agama yang ada di masyarakat.
 *) Guru Agama Islam di SMKN 1 
Ngawi (RSBI), Alumnus Pascasarjana 
IAIN Sunan Kalijaga
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Jum'at 25 Mei 2012