Friday, August 17, 2012

Tentang Otonomi Perguruan Tinggi

Tentang Otonomi Perguruan Tinggi
Oleh
M HADI SHUBHAN* 
 
CUKUP menarik membaca tulisan Saudara Sukemi yang berjudul Minta, tapi Takut Otonomi PT (Jawa Pos, 10 Juli 2012). Beliau menulis dilema otonomi bagi perguruan tinggi (PT) dan urgensi disahkannya RUU Pendidikan Tinggi. RUU yang sedang digarap DPR dan pemerintah/Kemendikbud tersebut memang sepatutnya didukung penuh sebagai visi pengelolaan pendidikan tinggi ke depan. Namun, banyak konsep yang dikemukakan penulis tersebut yang perlu diluruskan, karena misleading dalam memahami konsep otonomi, khususnya bagi perguruan tinggi (PT) yang berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Bahkan, tidak tepat dalam menyebut landasan yuridis PT BHMN.

Pertama, hakikat otonomi PT sama sekali tidak berkaitan dengan kewenangan yang sewenang-wenang bagi PT untuk menetapkan biaya kuliah. Hakikat otonomi PT adalah keseluruhan kemampuan institusi untuk mencapai misinya dalam mencerdaskan bangsa berdasar pilihannya sendiri. Otonomi bukan berarti kebebasan tanpa aturan, seperti yang tersirat dipahami oleh Saudara Sukemi.

Dalam piagam Magna Charta Universitatum yang ditandatangani di Universitas Bologna, dipahami bahwa universitas adalah institusi dalam masyarakat yang harus dikelola secara khusus karena menghasilkan dan menguji ilmu pengetahuan berdasar riset dan pengajaran. Karena itu, PT harus otonom, baik secara intelektual maupun secara moral, bebas dari kooptasi otoritas negara dan kekuasaan ekonomi.

Tapi, pada sisi lain, menurut piagam itu, otonomi membutuhkan kesempurnaan dalam bidang akademik, tata kelola, dan manajemen keuangan. PT yang otonom dipersyaratkan memiliki kepastian tentang good university governance (tata kelola universitas yang baik). Akuntabilitas yang berupa transparansi dan checks and balances harus menjadi jiwa dalam tata kelola.

Otonomi tidak memiliki konsep akan kebebasan para pemimpinnya untuk menentukan kebijakan yang tanpa aturan, terutama dalam menetapkan besaran biaya operasional pendidikan yang diambil dari para orang tua peserta didik. Penyimpangan kebijakan pemimpin PT dalam mengambil kebijakan yang menyebabkan mahalnya biaya kuliah bukan disebabkan adanya otonomi, tapi dari kebijakan setiap PTN, baik BHMN maupun non-BHMN.

Kedua, masalah mahalnya biaya kuliah. Saudara Sukemi menulis bahwa PT BHMN telah menyebabkan biaya kuliah mahal. Kemahalan biaya pendidikan di PTN bukan karena faktor status BHMN. Banyak PTN yang non-BHMN, tapi biaya kuliahnya jauh lebih mahal daripada biaya kuliah di, misalnya, Unair sebagai BHMN. Di Unair, 60 persen mahasiswa adalah melalui jalur SNM PTN dan biaya kuliah (SPP) bagi mahasiswa jalur SNM PTN paling tinggi hanya Rp 1.250.000 per semester. Kemudian, 20 persen di antaranya bebas biaya pendidikan sama sekali karena ditanggung oleh negara dan universitas.

Memang ada BHMN tertentu yang memungut biaya cukup tinggi, tapi tidak sedikit PTN non-BHMN melakukan hal yang sama. Demikian pula tidak sedikit BHMN yang berbiaya murah, seperti di Unair, dan banyak pula PTN yang bukan BHMN yang berbiaya kuliah murah. Jadi, mahal tidaknya biaya kuliah sama sekali tidak berkait dengan status BHMN atau bukan.

Kemahalan biaya kuliah di beberapa PTN dan BHMN disebabkan keterbatasan kemampuan pemerintah menyediakan dana pendidikan. Jika pemerintah memiliki kemampuan yang penuh untuk membiayai pendidikan, khususnya di semua PTN non-BHMN dan PTN BHMN, biaya kuliah akan ditekan semurah mungkin, bahkan bisa bebas.

Ketiga, tentang landasan yuridis. Saudara Sukemi menyebut-nyebut UU PT BHMN. Mahkamah Konstitusi (MK) tidak pernah membatalkan UU PT BHMN, sebab tidak pernah ada. Yang pernah dibatalkan MK adalah UU BHP (badan hukum pendidikan). BHP dengan BHMN jelas sangat berbeda, baik objek maupun subjeknya. BHP merupakan badan hukum yang diberlakukan terhadap semua penyelenggara pendidikan, baik swasta maupun negeri, mulai tingkat SD sampai tingkat PT. Sedangkan BHMN hanya salah satu jenis PTN sebagai penyelenggara pendidikan tinggi.

Eksistensi BHMN sebagai salah satu penyelenggara pendidikan tinggi masih valid, baik secara de jure maupun de facto. Secara de jure, peraturan pemerintah yang melahirkan tujuh BHMN sampai saat ini masih berlaku dan tidak pernah dicabut. Lahirnya PP 66 Tahun 2010 tidak mutatis mutandis menggugurkan figur hukum BHMN. PP 66 Tahun 2010 masih memberikan waktu untuk penyesuaian dalam beberapa hal hingga akhir 2013. Demikian pula secara de facto, tata kelola BHMN masih eksis dan diakui pemerintah. Kasus kisruhnya eksistensi BHMN di UI selesai dengan cara mengembalikan UI sebagai BHMN dengan segenap tata kelolanya. Bahkan, di UGM pun pemilihan rektor yang baru dilantik Juni lalu masih menggunakan tata kelola BHMN.

Meski demikian, pada sisi lain saya sependapat dengan Saudara Sukemi tentang perlunya skema yang visioner dalam pendanaan dari negara untuk PT. Misalnya dalam bentuk bantuan operasional (BO) bagi PTN. Jelasnya skema pembiayaan PT diharapkan memperlebar aksesabilitas masyarakat yang kurang mampu dari segi ekonomis tapi cukup mampu dari segi akademis. Lahirnya UU Pendidikan Tinggi nanti diharapkan mampu mengurangi distorsi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pimpinan PT yang tidak hanya pada PT BHMN, tapi juga PTN non-BHMN. Karena itu, patut kita dorong dan kita songsong disahkannya UU Pendidikan Tinggi tersebut.
*) Sekretaris Universitas Airlangga 
BHMN dan Doktor Bidang Ilmu Hukum
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Rabu 11 Juli 2012

Minta, tapi Takut Otonomi PT

Minta, tapi Takut Otonomi PT
Oleh :
SUKEMI*

ADA satu kata dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang diminta tapi ditakuti. Kata itu adalah otonomi!

Otonomi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apakah selama ini pendidikan tinggi tidak memiliki otonomi di dalam pengelolaannya? Dalam hal otonomi akademik, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan ilmiah sejatinya sudah melekat dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Ada kekhawatiran terhadap RUU PT yang akan mengooptasi, mengikis daya kritis, serta menggadaikan pendidikan tinggi. Kecemasan itu adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Sejatinya, nilai kebebasan akademik telah melekat dalam perguruan tinggi, bahkan dalam lingkup individu-individu di dalamnya, sebagai seorang ilmuwan dan cendekiawan.

Itulah yang mendorong inovasi bangsa. National Science Foundation (2007), NSF Report 07-317; Litan, R.E. et al (2007), ''Commercializing University Innovations: A Better Way'' in Innovation Policy and the Economy, vol 8 MIT Press, menyatakan bahwa perguruan tinggi adalah sumber penting penelitian dan pengembangan. Lebih dari 50 persen penelitian dasar yang menghasilkan terobosan-terobosan pemikiran yang memungkinkan munculnya industri-industri baru dilaksanakan di perguruan tinggi.

Perguruan tinggi juga memiliki misi yang lebih luas dalam menerjemahkan hasil litbang menjadi produk dan perusahaan baru. Sebanyak 15 persen penelitian terapan dilaksanakan melalui inovasi yang dimulai di kampus yang kemudian diserap menjadi bisnis melalui paten, start-up, serta pengaturan konsultansi antara dosen dan industri.

Sementara itu, Bernanke, B. 2007, ''Speech At the U.S. Chamber Education and Workforce Summit'' menyatakan bahwa pembelajaran setingkat sarjana adalah kegiatan utama perguruan tinggi yang memungkinkan perguruan tinggi berhasil melaksanakan penelitian maju (advanced research) dan pendidikan pascasarjana.

Dengan peran strategis itu, otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik masih tetap luas. Apalagi dalam penjelasan RUU PT ditambahkan bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi negeri harus bebas dari pengaruh politik praktis.

Pertanyaannya, kenapa dalam RUU PT ada pasal yang menyatakan kurikulum, program studi, dan penelitian akan diatur melalui peraturan menteri? Sesungguhnya, itu merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat, bukan kooptasi. Bukankah saat ini banyak perguruan tinggi yang membuka program studi yang tidak jelas dan tidak terakreditasi? Bila itu dibiarkan, masyarakat akan dirugikan.

Dilema Otonomi

Kembali pada kata otonomi yang diminta tapi ditakuti. Pertama, otonomi diminta karena para pengelola berharap bisa leluasa menentukan ''hitam-putihnya'' perguruan tinggi dengan otonomi itu. Saatnya perguruan tinggi tidak boleh terkooptasi oleh pemerintah, sehingga rumpun ilmu pengetahuan, kurikulum, program studi, penelitian, dan pengabdian masyarakat ditentukan perguruan tinggi. Asumsinya, perguruan tinggi-lah yang lebih tahu soal itu.

Kalimat-kalimat tersebut tertuang dalam pasal 34 dan pasal 48 RUU PT yang sekarang sudah makin sederhana, dari sebelumnya 102 pasal kini hanya menjadi 59 pasal.

Dalam soal pengelolaan keuangan, otonomi diminta. Sebab, dengan pemberian otonomi itu, pengelola akan ''bebas'' menentukan dan menggunakan keuangan yang telah dihimpun dari masyarakat.

Tapi, itu berimplikasi pada hal kedua, otonomi ditakuti. Muncul kekhawatiran, jika otonomi diberikan sepenuhnya, terutama untuk perguruan tinggi negeri (PTN), para pengelola akan seenaknya menentukan besarnya biaya pendidikan. Padahal, sebagian besar PTN dibiayai pemerintah dari pajak yang dipungut dari rakyat.

Kekhawatiran tersebut amat beralasan. Sebab, ketika UU PT BHMN (Badan Hukum Milik Negara) diberlakukan, telah terbukti bahwa perguruan tinggi yang ber-BHMN terkesan seenaknya dalam menentukan besarnya biaya pendidikan. Jadi, wajarlah apa yang dikhawatirkan itu karena pengalaman telah membuktikan. Belakangan, UU tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Upaya Akomodasi

Pertanyaannya, bagaimana mengakomodasi dua kepentingan itu? Di satu sisi, otonomi diminta. Di sisi lain, otonomi ditakuti.

Adalah ''cerita lama'' jika asumsi pemberian otonomi tersebut akan mengakibatkan komersialisasi dan seenaknya menentukan biaya. Mengapa? Sebab, setelah dibatalkannya UU BHMN oleh MK yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) No 66/2010, jelas diatur bahwa PTN harus memberikan porsi minimal 20 persen dari jumlah mahasiswa baru untuk keluarga tidak mampu.

Jauh sebelum PP itu, Kemendikbud juga meluncurkan program Bidik Misi, program bantuan biaya pendidikan masuk perguruan tinggi negeri bagi lulusan SMA/SMK/MA dari keluarga tidak mampu dengan nilai akademik baik. Sejak 2010, program tersebut telah menempatkan sekitar 40 ribu mahasiswa dari keluarga tidak mampu untuk kuliah gratis di PTN hingga lulus. Bahkan, tiap bulan mereka mendapat uang saku atau biaya hidup.

Dengan memahami konsep awal RUU PT bahwa perguruan tinggi itu dikelola dengan prinsip nirlaba, sesungguhnya pengelola perguruan tinggi tidak boleh dan dilarang keras mengambil keuntungan. Karena itu, RUU PT tersebut mengamanatkan pula bahwa penentuan besaran biaya pendidikan, dalam hal ini PTN, akan diatur tersendiri dalam sebuah peraturan menteri.

Itu tidak lain merupakan bagian dari upaya melindungi masyarakat agar bisa mengakses pendidikan tinggi dengan biaya terjangkau.

Yang jelas, substansi otonomi dalam RUU PT sebagai PTN BH (perguruan tinggi negeri berbadan hukum) sangat berbeda dari konsep otonomi yang pernah ada dalam UU BHMN. Klausul dan pertimbangan yang melatarbelakangi pemberian otonomi itu pun berbeda.

Dalam soal pendanaan untuk meringankan beban masyarakat, dalam RUU itu akan disiapkan bentuk bantuan operasional (BO) PTN bagi PTN. Bagi PTN yang sudah berbadan hukum (PTN BH), bantuan diberikan melalui mekanisme subsidi, sedangkan bagi PTS lewat mekanisme hibah.

Sekali lagi, terhadap mekanisme bantuan pembiayaan itu, amat berlebihan jika otonomi yang diberikan nanti dikhawatirkan mengakibatkan biaya mahal. Jangan cemas.
  *) Staf khusus Mendikbud 
bidang komunikasi media
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Selasa 10 Juli 2012

Ustad, Kiai, Pesantren, dan Korupsi Alquran

Ustad, Kiai, Pesantren, dan Korupsi Alquran
Oleh
SAMSUDIN ADLAWI*

GERONIMO. Tahun kemarin, nama satu kata itu sangat populer di seantero dunia. Ya, Geronimo dicatut oleh pasukan khusus antiteror AS, SEAL Team Six (ST6), sebagai kata sandi dalam menggerebek pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden. Geronimo ternyata "bertuah". Penggerebekan pada 1 Mei 2011, pukul 01.00 dini hari waktu Pakistan, itu sukses besar. Osama tewas dalam persembunyiannya di sebuah gedung di Kota Abbottabad, Pakistan. 
 
Siapa sebenarnya Geronimo? Dia dikenal sebagai hero keturunan Amerika-Indian. Geronimo adalah pemimpin suku Indian, Chiricahua Apache, yang berperang melawan Meksiko dan AS pada 1851-1900. Tak ayal, penyebutan pemimpin masa lalu itu untuk menyebut Osama bin Laden sempat menyulut protes. Terutama, dari kalangan Indian. Sebanyak 500 ribu Indian Amerika yang diwakili Keith Harper (anggota organisasi Cherokee Nation) melakukan class action. Mereka menggugat pemerintah AS senilai USD 3,4 miliar.
 
Masih banyak lagi sandi yang dipakai dalam misi-misi khusus peperangan. Tidak hanya oleh AS, tapi oleh hampir semua negara. Sesuai namanya, sandi adalah kata atau pesan rahasia. Biasanya, itu hanya bisa dipahami tim yang terlibat dalam sebuah operasi. Di luar anggota tim, tidak ada yang (boleh) tahu. Sekali bocor, operasi yang akan dilancarkan bisa gagal total. 
 
Biasanya, nama sandi disesuaikan dengan target. Penggunaan sandi Geronimo misalnya. Nama pejuang yang pernah memerangi AS itu dianggap selevel dengan Osama bin Laden. Kesamaannya, setidaknya, pada kadar fobia yang ditebarkannya terhadap warga Paman Sam. Dua nama besar tersebut sama-sama telah sukses menjadi ''hantu'' bagi bangsa AS. Keduanya berhasil membuat rakyat Amerika dan pemerintahannya menjadi bangsa yang paranoid. 
 
Begitu pun penggunaan sandi yang dilakukan aparat TNI maupun Polri dalam melakukan operasi khusus. Mulai operasi memberantas pengacau keamanan hingga operasi penyergapan jaringan narkoba.
 
Dalam perkembangannya, penggunaan kata sandi kini tidak lagi dimonopoli militer dan polisi. Para koruptor juga mulai menggunakan kata sandi untuk mengamankan pencuriannya. Untuk mengamuflasekan operasi korupsi, para koruptor memakai sandi-sandi tertentu dalam berkomunikasi. Sama dengan di militer, pemilihan kata sandi dalam korupsi juga disesuaikan dengan sasaran. Selain agar tidak diketahui oleh orang kebanyakan, penggunaan kata sandi dalam korupsi dimaksudkan untuk menghilangkan jejak tindak pidana korupsi. 
 
Tentu publik masih ingat dengan kata ''apel washington'' dan ''apel malang''. Ya, dua jenis apel itu mengemuka dalam kasus suap wisma atlet. Tepatnya, dalam pembicaraan antara Mindo Rosalina Manulang dan Angelina Sondakh. Menurut Rosa, saat bersaksi untuk terdakwa kasus dugaan suap wisma atlet, Muhammad Nazaruddin, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta (16/1/2012), istilah ''apel malang'' berarti ''rupiah''. Sedangkan, ''apel washington'' berarti ''dolar AS''. Dua sandi lainnya, yakni ''pelumas'' berarti ''uang'' dan ''semangka'' menunjukkan ''permintaan dana''.
 
Sebelum ada penjelasan dari Rosa, masyarakat dan terutama media dibuat sibuk memecahkan arti empat kata sandi tersebut. Canggih nian istilah yang dipakai. Lebih canggih lagi, tentunya, oknum yang menggunakannya.
 
Belum hilang benar ingatan akan geger ''apel malang'' dan ''apel washington'', kepala kita kembali diguncang oleh kata dan sandi dalam kasus dugaan suap. Bahkan, kali ini lebih berani. Lebih gila. Sandinya tidak main-main. Memakai kata yang selama ini disakralkan, khususnya oleh umat Islam. Yakni, ''kiai'', ''ustad'', dan ''pesantren''. Tiga kata itu sangat dihormati karena menjadi episentrum pengajaran ilmu-ilmu Islam. Ketiganya termasuk pilar tegaknya bangunan Islam. 
 
''Kiai'' adalah sebutan lain bagi alim atau ulama. Tapi, dalam Islam, dia dikenal tidak semata sebagai orang yang mumpuni dalam ilmu agama, melainkan juga kebanyakan memangku pondok pesantren. 
 
Sedangkan, ''ustad'' merupakan bahasa Arab yang berarti guru. Umumnya, kata itu dipakai untuk memanggil guru dalam sekolah-sekolah Islam. Selain di pesantren, kata ''ustad'' digunakan dalam dunia pendidikan Islam, mulai MI (madrasah ibtidaiyah) hingga perguruan tinggi. Status sosial ustad di bawah kiai. Di pesantren, ustad sering menjadi kepanjangan tangan/orang kepercayaan kiai, khususnya dalam mengajarkan sejumlah kitab. 
 
Adapun ''pesantren'' adalah tempat menimba ilmu bagi para santri kepada seorang/beberapa kiai yang mengasuhnya.
 
Sandi ''kiai'', ''ustad'', dan ''pesantren'' muncul dalam kasus dugaan suap penggandaan kitab suci Alquran di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama. Seperti diketahui, KPK telah menetapkan politikus Golkar Zurkarnaen Djabar bersama anaknya, Dendy Prasetya. 
 
Dalam komunikasi Dendy dengan sahabatnya yang terekam penyidik komisi antirasuah KPK, terungkap sandi ''kiai'', ''ustad'', dan ''pesantren'' untuk menyebut para penerima dana hasil permainan proyek penggandaan Alquran. 
 
Belakangan diketahui, ''kiai'' menunjuk pada politikus di Senayan, ''ustad'' dipakai untuk menyebut pejabat Kementerian Agama, dan ''pesantren'' untuk partai politik. 
 
Benar atau tidaknya penggunaan tiga sandi itu dan peruntukannya masih menunggu perkembangan hasil pemeriksaan KPK terhadap para tersangka dan saksi. Jika benar adanya penggunaan sandi ''kiai'', ''ustad'', dan ''pesantren'', kita akan kesulitan mencari istilah yang tepat untuk menghujat para pelakunya. Sebab, ketika mendengar mereka mengorupsi proyek penggandaan Alquran, dada kita serasa akan pecah menahan emosi. Ternyata, sandi permalingan mereka juga merendahkan keluhuran kiai, ustad, dan pesantren.
 *) Wartawan Jawa Pos yang 
menerbitkan beberapa buku puisi
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 9 Juli 2012

Menyikapi Kondomisasi

Menyikapi Kondomisasi
Oleh
SAID AQIL SIRADJ*

KONDOM dan rokok? Apa hubungannya? Ke­dua­nya memang sekadar “perkakas”. Namun, bi­la­­mana menyoal maslahat dan mudaratnya, be­rani ta­ruhan, tentu banyak yang menyebut rokok le­bih ”ja­hat”. Sebabnya, rokok dituding bisa me­rusak ke­sehatan dan juga sering dikam­panyekan mampu mem­bunuh manusia.

Tak heran bila ada larangan merokok di ber­ba­g­ai tempat. Sedangkan kondom kerap di­ny­a­ta­kan mampu melindungi organ genital ma­nusia, se­perti, dari kehamilan dan penyebaran pe­nyakit ke­lamin, terutama pencegah HIV/AIDS.

Penisbahan di atas menjadi menarik lagi ketika mas­yarakat tiba-tiba dikagetkan oleh gagasan Men­kes untuk membagi-bagikan kondom. Ada juga program ATM kondom dan promosi kondom ke sekolah-sekolah. Latar belakangnya, penye­ba­ran penyakit kelamin, khususnya HIV/ AIDS dan juga aborsi, melonjak signifikan. Permisivisme dan li­beralisasi seks terpampang makin menanjak he­bat.

Faktanya, kondom sudah bisa diperoleh secara mu­dah seperti di apotek atau minimarket selama ini. Bila begitu, wajar kalau ada pertanyaan me­ngapa harus ada kebijakan membagi-bagikan kon­dom? Apakah semata lantaran kesadaran mas­yarakat untuk memakai kondom masih tipis?

Indonesian Values

Negeri kita ini memang memesona dan unik. Ya, segalanya ada di negeri ini. Dari sumber daya alam yang melimpah hingga berbagai model pe­rilaku dan gaya hidup meruah. Tak berlebihan bila negeri kita ini sering dijuluki sebagai “surga” bagi apa pun. Sebut saja, surga bagi produk impor, sur­ga gaya hidup impor, surga narkoba, surga korupsi, sur­ga kekerasan atau bentrokan, dan ditambah lagi, yaitu surga seks. Reformasi kian mesra ber­de­kapan dengan neoliberalisme. Semua yang dulu ter­gencet atau “mati suri”, kini di era reformasi me­nyeruak dengan tampilan penuh kegagahan dan kejawaraan.

Korupsi makin menjadi-jadi, ter­desentralisasi serta berkom­plot. Deru globalisasi membuat bangsa kita kehilangan karakter dan jati diri. Apa pun model, ga­ya hidup, produk teknologis Ba­rat, disambut dengan penuh ingar bingar dan kemudian me­ras­uk menjadi semacam ’pa­ham baru’ lantaran dipan­dang lebih ber­­gengsi atau “wah”. Sebuah “mi­mesis” (peniruan) di lapa­ngan kebudayaan yang begi­tu meng­hujam di benak masya­ra­kat kita, hingga seolah melum­puh­­kan daya kreasi anak bangsa. La­lu, layakkah negeri kita men­dapat sematan baru, yaitu “ne­gara gagal”?

Kita bisa menengok pula da­lam soal seks, seperti fakta su­bur­nya pelacuran. Mudah se­kali kita jumpai kantong-kan­tong pe­lacuran di berbagai tem­pat de­ngan segala rupa “per­waja­hannya”. Urusan “jual  beli” pe­rem­puan dan juga trafficking se­a­kan semudah membeli ro­kok. Di daerah wisata Puncak, umpa­ma­nya, mudah kita jumpai para pria berwajah Timur Tengah yang melakukan kawin kontrak de­ngan perempuan-perempuan se­tempat dan juga transaksi seks. Di Bali juga bisa kita saksi­kan para pria bule dengan mu­dah­­nya menggandeng perem­puan kita. Kalau sudah begitu, apa mujarabnya seribu kali tin­da­kan penggerebekan oleh apa­rat atau ormas keagamaan dila­ku­­kan, ibarat rambut yang dic­u­kur plontos, sebentar lagi akan tum­buh kembali.

Nah, fakta-fakta yang meng­gi­ris­kan di atas sekonyong telah me­micu kepanikan. Seperti hal­nya soal kondomisasi ter­kesan “ikut arus”. Membandingkan di ne­geri Barat sendiri faktanya ti­dak­lah ”polosan” seperti diba­yang­kan. Pendidikan seks di ne­geri-negeri Barat terlebih dahulu di­sosialisasikan.

Sementara di negeri kita ma­sih ramai diperdebatkan. Ban­dingkan pula, semisal kebi­jakan dis­tribusi rokok di negeri-negeri Ba­rat, dijual di tempat-tempat kh­u­sus dan harganya pun dibuat ma­hal. Memang liberalisasi seks di negeri kita mungkin masih ter­bilang lebih “sehat” dibanding di negeri Barat. Walaupun fakta li­beralisasi seks di kalangan anak-anak muda kita juga sema­kin menunjukkan angka yang meng­­geregetkan.

Solusi jelas harus ada. Kepe­du­lian terhadap keadaan negeri ini haruslah terus dipancangkan. Te­­­tapi, solusi yang diupayakan ha­­­ruslah selalu menumpukan pa­­da kearifan kultur bangsa kita. Bang­sa kita kaya dengan adat is­tia­dat dan ajaran agama. Kare­na­nya, se­tiap pengambilan kebi­ja­­kan su­dah seharusnya mem­pertim­bang­kan ”Indonesian values” kita.

Artinya pula, ajaran agama per­lu menjadi tambatan utama da­­lam setiap pengambilan kebi­ja­­k­an. Dalam soal kondo­misasi, per­t­imbangan agama harus di­dengarkan, tidak semata atas na­ma upaya untuk mengurangi ang­ka penularan HIV/AIDS. Aga­ma juga punya metode yang pre­ventif (sad al-dzari”ah) dan mo­derat (bi al-hikmah) guna tu­rut serta dalam mengobati pe­nyakit masyarakat.

Angkat Akar Jamur

Gagasan Menkes soal kon­do­misasi bisa diibaratkan Men­kes ingin mengobati suatu pe­nya­kit, tetapi yang terjadi malah membuka peluang risiko susu­lan sehingga menambah parah pe­nyakit. Terus terang, program kon­domisasi selaksa hanya mam­­pu menghilangkan jamur di permukaan, tetapi akarnya te­tap ada, yaitu budaya seks be­­bas. La­gi pula, kebijakan kon­do­misasi belum bisa menja­min se­bagai cara ampuh untuk mela­wan HIV/AIDS dan aborsi.

Dalam kaidah fikih Islam di­sebutkan “al-dharar la yuzalu bi al-dharar”. Maksudnya, ba­ha­ya atau kemadharatan tidak bisa di­hi­langkan dengan cara ke­ma­dha­r­atan pula. Ambilah con­t­oh ka­sus pencurian motor. Pela­kunya jelas telah bertindak mela­wan hukum. Tetapi, cara penin­da­kannya jangan lantas pela­ku­nya dikeroyok atau malah diba­kar hidup-hidup.

Mengiaskan kondomisasi iba­rat usaha menghapus per­buatan korupsi dengan cara me­nia­dakan lembaga penindak ko­rupsi seperti KPK misalnya. Juga ti­dak bisa dihapus begitu saja de­ngan cara si koruptor me­ngem­ba­likan hasil ko­rup­sinya kepada ne­gara. Per­bua­tan korupsi tetap h­a­rus digan­jar dengan huku­man. Ja­ngan alpa, jurus jitu yang harus dilakukan ada­lah dengan pembenahan sam­pai ke akar-akarnya, yaitu sistem ko­rup dan bu­­daya korupsi melalui pe­ne­gakan hukum.

Demikian halnya dengan ikhtiar mengurangi penyebaran HIV/AIDS dan aborsi. Akarnya adalah budaya permisif. Budaya seperti ini bisa dimaknai pula sebagai hilangnya karakter dan jati diri bangsa, sehingga mudah melakukan peniruan membabi buta, termasuk dalam soal lib­e­ra­lisme seks. Sebaiknya yang per­lu terus dikampanyekan ada­lah mencerdaskan masya­rakat ten­tang bahaya seks bebas sem­bari tak kenal lelah se­nantiasa me­nguatkan dan meningkatkan pen­didikan akhlak anak bangsa, mu­lai institusi keluarga hingga lembaga-lembaga yang peduli dan berwenang.
 *) Ketua Umum PB NU 
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 9 Juli 2012

Friday, August 10, 2012

Mengapresiasi Siapa pun Pelestari Budaya

Mengapresiasi Siapa pun Pelestari Budaya
Oleh
FREDDY H ISTANTO

PUBLIK Indonesia tersulut lagi ketika media gencar memberitakan klaim tarian Tor-tor dan Gondang Sambilan oleh Malaysia. Mahasiswa di Medan benar-benar menyulut foto PM Malaysia. Spanduk-spanduk bertebaran mengecam Malaysia. Mereka menuntut Malaysia agar menghentikan semua klaim atas budaya Indonesia. Di jejaring sosial seperti di Twitter dan Facebook, caci maki tidak kalah serunya. Ada catatan, 2007–2012, Malaysia tujuh kali mengklaim budaya Indonesia sebagai warisan budaya Negara itu. 


Yang diklaim adalah reog ponorogo, lagu Rasa Sayange, tari Pendet dan angklung, bahkan batik. Mengenai polemic terakhir, KBRI untuk Malaysia menganggap ada kesalahpahaman. Malaysia tidak punya maksud mengklaim. Malaysia hanya mencatat warisan budaya yang dimiliki oleh orang-orang Mandailing yang tinggal di Malaysia. 

Mereka akan melakukan upaya pelestarian tidak hanya dengan memberikan anggaran untuk maksud tersebut, tetapi bentuk kebudayaan ini wajib ditampilkan secara periodik ke publik. Kalau itu yang dimaksudkan, Indonesia juga melakukan. Upaya-upaya pelestarian benda cagar budaya diatur dalam UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya, undang-undang terbaru setelah direvisi berulang- ulang. Di khazanah negara yang punya posisi sangat strategis ini, Indonesia punya kekayaan yang sangat luar biasa.

Pencatatan bahkan perlindungan kebudayaan dalam berbagai bentuk, asal negara, zaman sangat beragam dan banyak sekali. Sebagai alur strategis perdagangan dunia, laut Indonesia masih menyimpan ratusan ribu benda-benda itu. Benda-benda milik peradaban dan bangsa mana saja yang tersimpan akibat tenggelam di lautan. Keramik India, uang kepeng Tiongkok, meriam Portugis, kapal-kapal Belanda. Tahun 2011, Kementerian Kebudayaan Pendidikan dan Sains Belanda mengundang pelestari bangunan cagar budaya dari kalangan akademisi, pemerintahan, dan LSM untuk mengikuti suatu workshop di Erasmus University Rotterdam. Workshop itu diikuti wakil sembilan Negara bekas jajahan Belanda dari empat benua.

Selama hampir sebulan, setiap peserta dibekali ilmu mulai hal-hal mendasar sampai melakukan actionplan tentang pelestarian bangunan cagar bu daya di negara masing-masing. Pe materi berasal dari berbagai Negara dengan kepakaran tingkat internasional berbagi ilmu bagaimana sebaiknya melestarikan pusaka-pusaka. Workshop bertajuk: Urban Heritage Strategy, He ritage as an Asset for Inner City Deve lopment itu didanai penuh oleh pe merintah Belanda. Ketika workshop berlangsung, banyak ditemukan hal-hal menarik.

Peserta dari Ghana sharing tentang perkembangan batik. Batik Ghana berawal ketika Belanda pada masa kolonial dulu mengirim tentara dari Ghana ke Indonesia. Kemudian, saat pulang, mereka membawa seni batik ke negaranya. Bukankah kita harus berterima kasih bahwa pelestari-pelestari batik bangsa Ghana membawa budaya adiluhung Indonesia itu sampai Afrika dan dikembangkan sampai sekarang? Demikian juga wakil dari Suriname, mereka sharing banyaknya budaya Jawa yang menjadi bagian kekayaan budaya di sana.

Workshop ini sangat potensial untuk membekali para pelestari cagar budaya di negara masing-masing dengan bermodal passion. Sebagian bangunan cagar budaya di negara peserta workshop ini adalah bangunan-bangunan Belanda, termasuk di Indonesia. Dari puluhan ribu bangunan yang dibangun Belanda, hamper seribu di antaranya masuk dalam daftar Bangunan Cagar Budaya Indonesia. Kalau Akta Warisan Budaya adalah pencatatan terhadap warisan budaya yang dimiliki oleh orang-orang Mandailing Malaysia, tentu tak ubahnya Indonesia mempunyai catatan atau daftar bangunan cagar budaya. Bedanya di Indonesia yang telah berjalan baik proses pendaftaran itu berlaku untuk bangunan, cagar-cagar budaya yang berbentuk tangible.

Sebaliknya, proses pendaftaran pusaka-pusaka berbentuk intangible, seperti musik, tari, legenda, sastra, kuliner, belumlah serapi proses pendaftaran dan legalitas benda cagar budaya yang berbentuk gedung dan bangunan. Karena itu, rapikanlah daftar itu. Dalam kasus tari Tor-Tor dan Gondang Sambilan, menarik tulisan Ahmad Sahidah (Jawa Pos, 19 Juni 2012). Dosen Fakultas Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia ini menulis:

Alangkah eloknya jika siapa pun mengakui bahwa Malaysia telah turut memelihara khazanah Indonesia, demikian pula sebaliknya. Bagaimanapun keduanya diceraikan sebagai negara bangsa oleh warisan kolonialisme Inggris-Belanda. Jadi, kalau kita bertengkar hanya karena warisan Indonesia diakui Malaysia, hakikatnya kita mengekalkan mentalitas penjajah.
*) Direktur Sjarikat Poesaka
Soerabaia dan Dekan Fakultas
Industri Kreatif
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Jum'at 22 Juni 2012

Sunday, August 5, 2012

Saweran KPK untuk Legislator Sajalah....

Saweran KPK untuk Legislator Sajalah.....


Oleh
ROHMAN BUDIJANTO*


HAMPIR seragam opini terkait gerakan pengumpulan saweran untuk gedung KPK. Gerakan itu dimaknai sebagai kemarahan rakyat kepada orang-orang di DPR. Orang-orang yang resmi disebut wakil rakyat itu dianggap tak peka, bahkan bertingkah mencurigakan. Saweran itu lebih sebagai protes daripada bersungguh-sungguh mengumpulkan uang sekian puluh miliar rupiah untuk mendirikan gedung KPK yang baru.

Lagi pula, sudah ada kerepotan legalitas. KPK tak mungkin menerima langsung saweran masyarakat karena dinilai sebagai gratifikasi alias korupsi juga. Solusi penasihat KPK Abdulah Hehamahua, agar uang tersebut digunakan LSM untuk kampanye antikorupsi jelas tak klop dengan tujuan awal gerakan itu. Tujuannya mengegolkan pembangunan gedung.

Mari berfokus ke problem utama, yakni tanda bintang di APBN, penyebab ter sanderanya duit gedung KPK. Kita upa yakan agar uang saweran itu bisa meng hapus tanda bintang itu. Memang, haki katnya APBN itu uang rakyat. Uang kita semua dari aneka pajak. Tetapi, wewenang pengeluarannya telanjur kita berikan kepada DPR dan pemerintah. 

Debat Tak Seimbang
Rasanya semua argumen sudah dikemukakan agar legislator melepas tanda bintang itu. Intinya, rakyat sedang kesal dengan korupsi dan ingin memberikan fasilitas yang memadai bagi KPK, lembaga antikorupsi yang paling serius sepanjang 67 tahun re publik ini. Tapi, kita tahu, semua argumen itu tak bisa mengubah sikap anggota DPR. 

Rakyat hanya punya argumen. Tapi, DPR punya argumen plus kuasa. Bahkan, kalau tak punya argument pun, pemilik kuasa akan menang. Kuasa itu memang dari rakyat, tapi sudah telanjur kita berikan kepada para wakil yang kini duduk di Senayan. Yah, ra sanya ini memang seperti orang mem berikan surat kuasa kepada orang lain agar menguruskan kepentingannya, tapi ternyata si penerima kuasa tak men jalankan kuasanya sesuai dengan kei nginan pemberi kuasa. Apa boleh buat?

Kalau lewat bahasa argumen buntu, coba kita cari ’’bahasa’’ lain. Sebaiknya uang hasil saweranuntuk gedung KPK itu digunakan untuk para legislator. Melihat pengalaman, ’’bahasa fulus’’ ini lumayan ampuh. Sudah terungkap banyak oleh KPK tentang penggunaan ’’bahasa fulus’’ ini untuk melenyapkan segala ’’bintang’’ atau untuk meraih tujuan di DPR.

Yang mutakhir, kasus dugaan korupsi pengadaan mushaf Alquran oleh tersangka Zulkarnaen Djabar (legislator Partai Golkar). Yang paling heboh kasus percaloan wisma atlet yang merenggut kehormatan M. Nazaruddin dan Angelina Sondakh (Partai Demokrat). Juga ada percaloan anggaran oleh tersangka Wa Ode Nurhayati (legislator PAN). Kasus suap ramai-ramai juga ada, yakni terkait pemilihan Miranda Gultom sebagai deputi senior gubernur BI (melibatkan komplotan legislator lintas partai). Perlu diingat juga kasus korupsi Badan Pengawas Tenaga Nuklir atau Bapeten (melibatkan legislator PAN Noor Adenan Razak). Itu beberapa contoh betapa ’’bahasa fulus’’ sangat fasih dilafalkan kaum legislator. 

Saweran Subsidi Dewan
Siapa tahu, mereka tak punya waktu membahas anggaran gedung KPK itu karena jam kerja di gedung DPR habis untuk membahas kepentingan rakyat yang ’’lebih penting’’. Maka, perlu kita sewakan hotel yang mewah agar mereka lebih tenang membahas anggaran KPK. Kalau mereka harus lembur di luar jam kerja atau hari libur, biar kita saweran menanggung ’’uang lembur’’ sidang itu. Kasihan bukan kalau para wakil rakyat itu tak diberi ’’uang lembur’’?

Siapa tahu, mereka juga ditarget oleh partainya untuk menyumbang. Nah, uang saweran itu kita gunakan untuk menyumbang partai atas nama si legislator. Meskipun kebanyakan hanya buka kantornya setiap lima tahun di sekitar musim pemilu, rupanya partai tetap sangat membutuhkan ba nyak uang. Entah untuk apa, kita memang belum tahu karena tak ada laporan pertanggungjawabannya yang memadai.

Siapa tahu pula mereka membutuhkan studi banding untuk menghilangkan tanda bintang anggaran gedung KPK. Dengan uang saweran, kita kirim para legislator itu untuk studi banding. Silakan memilih. Ke Hongkong, Monako, Makau, Las Vegas… terserah. Kita belikan tiket kelas bisnis dan hotel bintang lima di negara-negara tujuan. Kalau perlu, biar mereka lebih tenang dalam studi banding, kita belikan tiket pula untuk keluarganya. Kita hargai rasa sayang mereka kepada keluarga (alangkah mengharukan, saking sayangnya ada anak kandung diajak korupsi).

Anggaran studi banding DPR memang cukup banyak dan tak pernah ada tanda bintang, tetapi siapa tahu butuh lebih banyak? Kasihan kan kalau legislator kita kurang wawasan internasional tentang menghapus tanda bintang untuk pemberantasan korupsi? 

Bukankah UML (upah minimum legislator) sudah Rp 51,5 juta per bulan plus berbagai fasilitas? Ya, benar. Tapi, kan masih kurang? Buktinya, banyak yang masih ’’mengerjai’’ APBN. Maka, mari kita beri subsidi agar mereka lebih sejahtera. Kalau mereka sejahtera, kita akan bangga karena kesejahteraan itu setidaknya mewakili rakyat yang belum sejahtera.

Yuk, saweran untuk legislator agar mau membebaskan dana gedung KPK dari sandera bintang.
*) Senior editor Jawa Pos,
direktur eksekutif JPIP
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 2 Juli 2012

Gedung KPK dan Kontra-Intelijen Koruptor


Gedung KPK dan Kontra-Intelijen Koruptor
Oleh
RIDLWAN* 

INILAH bintang yang tak membawa terang bagi KPK, tapi malah menimbulkan geram. Yakni, tanda bintang dalam usul pengajuan gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum juga dihilangkan oleh Komisi III DPR. Padahal, usul tersebut sudah diajukan sejak 2008, era Antasari Azhar. Dana dari negara dan pemerintah oke, tapi DPR masih ragu. Pembahasan diulur hingga 3 Juli nanti.

Tak pelak, itu menimbulkan kegeraman warga yang antikorupsi. Pedagang kaki lima berkumpul dan menyumbang sejuta. LSM seperti ICW siap melakukan gerakan saweran nasional. Menteri BUMN Dahlan Iskan memberikan enam bulan gajinya yang memang selama ini tak pernah diambil. Mensos Salim Al Jufri dari PKS ikut siap menyumbang meskipun partainya di DPR ikut "membintangi" pos gedung KPK. 

Gedung yang sekarang dipakai KPK di Kuningan itu sudah ada sejak 1981. Itu berarti sudah 31 tahun. Tepatnya dipakai KPK sejak 17 Agustus 2007. Karena tak muat, pegawai KPK juga memakai gedung Upindo atau sebelah atas ruang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 

Gedung itu secara tata arsitektur hanya layak dihuni oleh 400 orang. Padahal, saat ini pegawai KPK mencapai 700 orang. Belum lagi pengamanan dokumen dan bahan penyelidikan yang sangat sensitif dan membutuhkan ruangan khusus.

Sampai-sampai Juru Bicara KPK Johan Budi menyebut kantornya seperti warnet dengan bilik-bilik yang sangat sempit. Terbayang, ketidaknyamanan yang dialami oleh para ujung tombak antikorupsi itu.

KPK memang sejak lama diserang dan dihalang-halangi oleh pihak-pihak yang prokoruptor. Dari segala sisi. Secara terbuka, salah seorang pimpinan KPK Busyro Muqoddas menceritakan soal SMS yang membuat kita bisa muntab. 

Di depan almamaternya di Fakultas Hukum UII Busyro cerita bahwa sesaat setelah dia mengumumkan seorang anggota DPR jadi tersangka, HP-nya menerima SMS. Isi SMS dari politikus itu menyebut anggota KPK lebih rendah derajatnya daripada anjing. Sebab, anjing masih patuh pada tuannya yang memberi makan. Astaghfirullah, SMS yang sungguh keji dan mungkar. Dokumentasi cerita Pak Busyro di depan budayawan Emha Ainun Nadjib itu hingga kini masih bisa diakses di youtube.

Koruptor sekarang memang terkesan makin canggih dan berlagak. Mereka bahkan tak canggung lagi berpose dengan nyaman di depan kamera. Seakan-akan sudah putus atau tidak ada lagi urat malunya. Setelah tak punya malu, orang memang bisa berbuat semaunya, betapapun orang mual karenanya. 

Koruptor kelas paus juga punya resources yang tak terbatas. Untuk menghalangi upaya penangkapan, mereka bisa menyewa pengacara-pengacara "hebat" yang siap melayani pembelaan teknis dan nonteknis hukum. Untuk menghindari deteksi penyidik KPK, koruptor juga bisa menyewa profesional di bidang intelijen untuk melakukan aksi kontraintelijen.

Ilmu intelijen sendiri adalah netral. Doktrin dalam dunia mata-mata, seorang intel bekerja untuk user. Dalam terminologi dunia klandestin, intel yang bekerja untuk user jahat lazim disebut black intelligent atau intel hitam.

Mereka bekerja dengan rapi. Mencari akses ke informasi supersensitif. Termasuk merekrut informan-informan. Wartawan yang lazim meliput di gedung KPK tentu tahu, ada banyak pintu masuk ke KPK. Penjual lontong sayur atau pedagang ketoprak bahkan bisa masuk ke dalam ruang tengah lewat pintu samping yang kadang tak dijaga.

Gedung yang sekarang juga sangat rawan dengan penyadapan. Jarak gedung dengan jalan raya amat dekat, tak lebih dari 30 meter. Suara demonstran dengan speaker 10 ribu watt (bukan yang terkeras) saja pasti terdengar jelas dari ruang pimpinan di lantai 8. 

Apalagi alat sadap canggih buatan Israel dijual bebas di Singapura dan gampang dimasukkan ke Indonesia. Salah satu alat itu, misalnya, berbentuk seperti pistol laser yang bisa mentransmisikan suara di gedung lain dalam jarak 500 meter dengan syarat berbentuk garis lurus tanpa halangan. Artinya, misalnya ada black intelligent yang menggunakannya di lantai 8 gedung Kindo depan gedung KPK, blass, rapat-rapat rahasia bisa terdengar dengan clear. 

Karena itu, koordinasi kerja dan kenyamanan kerja bagi intelijen dan penyidik KPK mutlak hukumnya. KPK yang bekerja untuk kemajuan negara tentu sangat layak diberi gedung baru. Bahkan, mestinya diberi perangkat canggih agar bisa menangkal "kecanggihan" langkah licik koruptor.

Akal sehat kita terganggu dengan logika DPR yang merestui sekretariat jenderal mengganti toilet dengan harga miliaran dan renovasi rumah-rumah dinas anggota dewan, tapi menolak gedung baru untuk KPK; lembaga harapan rakyat. Atau memang jangan-jangan akal sehat anggota DPR sudah teracuni logika koruptor yang jauh lebih jahat daripada teroris itu?
*) Wartawan Jawa Pos, Mahasiswa S-2 Kajian 
Intelijen Stratejik (Intelstrat) Universitas Indonesia

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Jum'at 29 Juni 2012

Tafsir Lain Klaim Warisan oleh Jiran


Tafsir Lain Klaim Warisan oleh Jiran
Oleh
AHMAD SAHIDAH*

TARI tor-tor diklaim Malaysia. Berita ini tentu memantik amarah warga di sini. Sumpah serapah berhamburan di media sosial, Twitter. Seni gerak yang berasal dari Mandailing, Sumut, ini akan dimasukkan ke dalam daftar warisan budaya Malaysia; menjadi ekspresi berkeadaban dari warga Malaysia. Namun, Menteri Komunikasi dan Warisan Rais Yatim, yang fasih berbahasa Minang, menambahkan, pengakuan itu tidak menafikan asal muasal tarian dan menegaskan sebagai penanda bagi warga Mandailing di Malaysia untuk mengenal asal usulnya. Lalu, apanya yang salah?

Klaim kebudayaan adalah salah satu "gangguan" yang acap menyandera dua negara ini. Silih berganti dengan perselisihan patokan perbatasan dan perlakuan buruk terhadap buruh migran. Padahal, kebudayaan Malaysia hakikatnya juga mengandaikan "milik" Indonesia hari ini. Betapa naif, karena warga Malaysia yang mempraktikkan kebudayaan itu sejatinya mempunyai asal usul nenek moyang dari pelbagai daerah di tanah air, seperti Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Haruskah kita menyangkal hak warga Mandailing untuk membawakan tari tor-tor di Malaysia?


Ekspor TKI, Juga PM 
Identitas Malaysia mengandaikan pijakan yang sama dengan Indonesia, yaitu tradisi kebudayaan Nusantara. Ratna Abdul Razak, dosen peradaban Asia Tenggara di Universitas Sains Malaysia, pernah mengutip pernyataan Tun Abdul Razak, PM ke-2 Malaysia. Sang PM memberikan sambutan Kongres Kebudayaan 1971 di Kuala Lumpur mengenai alam kebudayaan yang sama di antara dua negara ini (2009: 59). Penegasan ini bukan barang aneh karena sang pembesar keturunan Bugis itu merujuk kesamaan tersebut jauh sebelum kemerdekaan negara masing-masing.

Bahkan, anaknya, Najib Tun Razak, yang sekarang menduduki kursi yang sama, tidak menafikan asal muasalnya. Dia sempat berkelakar bahwa "Indonesia tidak hanya mengekspor tenaga kerja, tetapi juga perdana menteri." Ini bukti nyata diaspora itu sangat berpengaruh di negara bekas jajahan Inggris ini.

Ketika warga di sini meluahkan kegeramannya terhadap Malaysia, pengakuan dari banyak orang Malaysia mengenai asal usulnya berhamburan. Misalnya, Abd Jalil Ali, pemimpin redaksi koran Sinar Harian, heran mengapa orang Indonesia begitu mudah meluapkan amarah kepada Malaysia? Padahal, betapa dekatnya keluarga penulis terkenal ini dengan pembantunya yang berasal dari Indonesia. Pembantu itu dianggap keluarga sendiri dengan mengasup makanan dari apa yang mereka makan. Kisah manis itu juga dialami banyak pembantu dari Indonesia. Lebih jauh dari itu, penulis buku Asam, Garam, Gula & Kopi tersebut menegaskan bahwa kakek-neneknya berasal dari Tanah Jawa. Pengakuan seperti itu dari banyak warga Malaysia menegaskan bahwa identitas serumpun itu bukan bualan.


Suara Adik di Seberang 
Selama ini, isu Malaysia-Indonesia hanya menampilkan sisi kejengkelan khalayak di sini. Sesekali perlu mendengar suara adiknya di negeri seberang. Warga Melayu Malaysia mengakui Indonesia sebagai abangnya karena sejatinya banyak yang berasal dari Indonesia, sejak perdana menteri hingga satpam di pelbagai perkantoran dan kondominium. Seorang satpam berdarah Aceh serta merta berbinar-binar ketika saya mengenalkan diri warga Indonesia. Tanda paling jelas dari kedekatan batin itu.

Prof Muhammad Hj Salleh, sastrawan terkemuka Malaysia, menyebut bahwa pemilik KRU Sdn Bhd, yang pernah menjadi pemicu perselisihan tari pendet, yang memproduksi Enigmatic Malaysia berdarah Bawean, Gresik, Jawa Timur. Meski dengan nada kelakar, penyair bermoyang Medina, Medan, itu menyayangkan keteledorannya karena mengambil budaya Bali yang memang terlalu jauh dari aroma Melayu kontemporer. Itu pun kesalahan Discovery Channel yang berbasis di Singapura. Jadi, betapa akar keindonesiaan itu merembesi Semenanjung Malaysia dan turut mewarnai identitas mereka. Adalah aneh jika mereka dipaksa untuk menyangkal tradisi yang menghidupi jiwa dan raganya.

Demikian pula jika selama ini Malaysia dianggap mencuri manuskrip yang bertebaran di Indonesia, jelas tidak berdasar. Mereka bergairah untuk membawa atau membeli naskah kuno dari pemiliknya karena sedang berusaha merekonstruksi identitas kemelayuannya. Mereka justru turut merawatnya.

Contoh ini mungkin menegaskan kenyataan tersebut. Dr Oman Fathurahman, ahli filologi dari Universitas Islam Negeri Jakarta, harus terbang ke Kuala Lumpur untuk meneliti al-Fawa'id al-Bahiyah fi al-Ahadith al-Nabawiyah karangan Nuruddin al-Raniri, yang berasal dari Aceh, karena di Perpustakaan Nasional Indonesia tidak ditemukan.

Alangkah eloknya jika siapa pun mengakui bahwa Malaysia telah turut memelihara khazanah Indonesia. Demikian pula sebaliknya. Bagaimanapun, keduanya diceraikan sebagai negara-bangsa oleh warisan kolonialisme Inggris-Belanda. Jadi, kalau kita bertengkar hanya karena warisan Indonesia diakui oleh Malaysia, hakikatnya kita mengekalkan mentalitas terjajah.

Satu catatan sejarah yang perlu diketahui bahwa Sutan Puasa asal Mandailing adalah sosok yang membuka Kuala Lumpur. Kehadiran migran dari Sumatera, khususnya yang bermarga Mandailing, tidak bisa dilepaskan dari pelarian warga tersebut akibat Perang Padri (1816-1837). Tentu, mereka merawat identitas kebudayaannya ketika berada jauh dari kampung. Di sana sekarang mereka menyatukan diri dalam IMAN (Ikatan Kebajikan Mandailing Malaysia).
 *) Dosen Fakultas Filsafat dan 
Etika Universitas Utara Malaysia
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Selasa 19 Juni 2012

Cuti Melahirkan Dua Tahun

Cuti Melahirkan Dua Tahun
Oleh
MOHAMMAD NASIH*

MENTERI Negara BUMN Dahlan Iskan kembali melontarkan gagasan brilian agar perempuan yang mela­hirkan memperoleh cuti sampai dua tahun. Walaupun hanya diusulkan dalam lingkup birokrasi BUMN, gaga­san tersebut akan menjadi awal yang sangat baik untuk menjadikannya sebagai kebijakan dengan lingkup yang lebih luas.

Gagasan ini sangat tepat, karena perempuan memiliki peran spesifik yang tidak bisa dijalankan laki-laki. Karena peran-peran itu pula, perem­puan harus mengalami proses-proses biologis yang perlu mendapatkan perla­kuan khusus. Disebabkan oleh hal tersebut, dalam banyak kasus, perem­puan secara faktual harus menanggung beban ganda.

Perempuan harus menjalankan peran yang berkaitan dengan urusan domestik, mulai proses regenerasi, seperti melahirkan lalu mengurus anak dan urusan rumah tangga. Dalam waktu bersamaan, terutama apabila suami tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga, perempuan mau tidak mau juga harus ikut turun tangan untuk menyelesaikannya.

Gagasan untuk memberikan cuti dua tahun tersebut memiliki perspektif sangat futuristik. Sebab, jika dikelola dengan baik, pemberian cuti tersebut akan berimplikasi sangat luas, bukan hanya bagi perempuan yang men­dapatkan cuti, tetapi terlebih lagi kepada anak-anak yang mereka lahir­kan. Perhatian yang cukup dan pe­ngurusan yang optimal akan mela­hirkan dan menumbuhkan generasi ba­ru yang berkualitas yang mampu men­dorong kemajuan peradaban negara.

Perempuan selama ini harus me­nanggung peran ganda lebih dise­babkan oleh kesalahan paradigma yang sangat materialistik. Yang dilakukan laki-laki dianggap sebagai kerja karena menghasilkan uang. Sedangkan apa pun yang dilakukan perempuan, walau­pun sesungguhnya sangat berat, bahkan harus mempertaruhkan nyawa dan tidak pernah bisa dilakukan laki-laki, hanya dianggap aktivitas belaka, karena tidak menghasilkan uang. Melahirkan anak tidak akan pernah bisa dilakukan laki-laki dan jasa untuk itu tidak bisa diukur secara materialistik dengan uang.

Pikiran jangka pendek pasti hanya berpikir soal berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menanggung perem­puan yang cuti dua tahun karena melahirkan dan kemudian mengurus anak. Tetapi, perspektif yang futuristik akan melihat secara lebih jauh bahwa apa yang dilakukan perempuan sesung­guhnya juga merupakan kontribusi yang sangat besar dalam konteks mem­persiapkan generasi masa depan ber­kualitas yang akan sangat meme­ngaruhi maju mundurnya peradaban negara.

Nabi Muhammad telah melihat itu dengan baik, sehingga dengan sangat tegas menyatakan bahwa perempuan adalah tiang negara. Jika perempuan baik, baiklah negara. Sebaliknya, jika perempuan buruk, rusaklah negara. Cara pandang Nabi Muhammad ini sangat masuk akal, karena perempuan merupakan agen yang memiliki kesem­patan paling besar untuk memengaruhi cara berpikir dan berperilaku umat manusia.

Cara berpikir dan berperilaku ma­syarakat sesungguhnya merupakan cermin cara berpikir dan berperilaku kaum perempuan. Dalam konteks ini, perempuan benar-benar menjadi ma­drasah atau sekolah yang pertama bagi anak-anaknya. Usia emas anak lebih banyak digunakan untuk melakukan internalisasi apa yang dilihat dan yang didengar.

Apabila anak-anak bergaul dengan ibu yang cerdas, memiliki perhatian yang besar lagi hangat, dan berperilaku baik, akan hadir generasi baru yang bisa diandalkan untuk membuat negara memiliki banyak keunggulan, baik keunggulan komparatif maupun ke­unggulan kompetitif.
  
Untuk mengembangkan kualitas anak, ibu harus memberikan ASI eks­klusif kepada anak selama enam bulan. Dengan asuhan yang sangat intensif dari seorang ibu yang benar-benar memperhatikan dan mampu me­me­nuhi seluruh kebutuhan hidup anak yang masih belia, sang anak akan menjadi generasi baru dengan karakter yang diharapkan.

Keunggulan SDM merupakan faktor determinan kemajuan sebuah negara. Fakta telah membuktikan bahwa n­e­gara-negara yang sekarang mengalami kemajuan secara akseleratif adalah negara-negara yang memberikan per­hatian besar kepada pendidikan yang tentu saja ditempuh sejak anak-anak. Itulah sebabnya, Kanada dan negara-negara Skandinavia telah lebih dulu membuat kebijakan-kebijakan yang sangat ramah kepada perempuan. Termasuk memberikan cuti mela­hirkan dalam waktu cukup panjang (setahun penuh bergantian untuk ayah-ibu, red). 

Jika memberikan perhatian yang besar terhadap hal ini, Indonesia akan mengalami kemajuan yang lebih akseleratif. Sebab, Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. SDA melimpah yang dikelola SDM yang andal bisa dipastikan akan mendorong kemajuan yang jauh lebih akseleratif. Dengan demikian, tidak perlu menung­gu waktu terlalu lama untuk mengejar ketertinggalan yang selama ini dialami Indonesia.

Permasalahan utama dalam cuti adalah yang bersangkutan biasanya kehilangan posisi dari yang sebe­lumnya. Dengan kata lain, cuti akan membuat karir yang telah dirintis dengan susah payah harus nihil lagi, sehingga yang bersangkutan memulai kembali dari nol.

Karena itu, perlu pengaturan me­ngenai masalah ini. Kaum perempuan bisa mendapatkan perlakuan yang lebih baik dalam dunia kerja dan bisa me­ningkatkan kualitas diri yang ujungnya meningkatkan kualitas SDM secara keseluruhan, baik laki-laki maupun perempuan. Sebab, laki-laki tidak bisa lahir ke dunia ini kecuali melalui rahim perempuan.

Akhirnya, gagasan Dahlan Iskan tersebut perlu mendapatkan dukungan dari seluruh pihak, terutama yang selama ini mengklaim diri sebagai aktivis perempuan. Ini adalah momentum strategis untuk membuat lebih berdaya dan lebih bisa memengaruhi kebijakan-kebijakan publik yang sangat diperlukan untuk mewujudkan masya­rakat yang berkeadilan, tak terkecuali berkeadilan gender. Wallahua’lam bi al-shawab.
*) Pengajar di Program Pascasarjana 
Ilmu Politik UI dan pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Jum'at 22 Juni 2012