Monday, July 9, 2012

Anggito dan Reformasi Haji

Anggito dan Reformasi Haji
Oleh
AGUS RIWANTO* 

KEMENTERIAN Agama (Kemenag) membuat kejutan dengan mengangkat Anggito Abimanyu, pakar ekonomi dari UGM, menjadi Dirjen Haji dan Umrah. Sosok yang dikenal akan integritasnya itu menggantikan Slamet Riyanto yang memasuki masa pensiun (Jawa Pos, 27 Juni).

Penempatan Anggito di Kemenag sangat tepat di tengah memburuknya citra kementerian itu karena beberapa kasus. Yang mutakhir adalah dugaan korupsi pengadaan Alquran. Bahkan, di awal 2012 publik dikejutkan oleh pemberian "kado istimewa" dari KPK kepada Kemenag berupa peringkat terbawah dalam indeks integritas dari perilaku korupsi. Di antara 22 lembaga negara pusat yang disurvei indeks integritas pusat (IIP)-nya oleh KPK, Kemenag berada di urutan ke-22. KPK mengungkapkan, perilaku korupsi berupa suap dan gratifikasi di Kemenag yang terbesar terdapat dalam pelayanan ibadah haji. 

Pengalaman Anggito di bidang keuangan, termasuk pernah menjadi kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, diharapkan dapat membantu mereformasi pengelolaan keuangan penyelenggaraan haji serta mengurai berbagai persoalan lain yang memerlukan ketajaman analisis kebijakan makro dan mikro. Itu memang lebih baik bila diserahkan kepada ahlinya. Selama ini, pengelolaan penyelenggaraan haji dimotori pegawai karir yang berlatar belakang ilmu agama. Akibatnya, kebijakannya cenderung monoton dan tak visioner untuk menjawab aneka problem haji.

Memetakan Korupsi Haji
Tugas pertama Anggito adalah segera memetakan celah penyalahgunaan administrasi (malaadministrasi) yang berpotensi korupsi. Paling tidak terdapat tiga celah korupsi pelayanan ibadah haji. Yaitu; (1) pada tingkat regulasi yang tak jelas dan terjadi kekosongan hukum; (2) pada tata laksana atau proses bisnis, mulai bimbingan haji, pengangkutan jamaah haji, hingga pemondokan; serta (3) manajemen sumber daya manusia (SDM) yang tidak memadai dalam mengelola dan melayani ibadah haji secara akuntabel, transparan, dan profesional.

Sedangkan menurut ICW, ada delapan masalah yang berpotensi korupsi haji, yakni terkait dengan UU, monopoli dan buruknya tata kelola haji, pengelolaan dana abadi umat (DAU), tabungan haji, manipulasi ongkos haji, pengawasan, korupsi penyelenggaraan haji, serta pengadaan valuta asing (Kompas, 16 Desember 2011).  

Itulah sebabnya selama ini BPK kerap menyatakan disclaimer (tanpa opini) ketika melakukan audit keuangan Kemenag, termasuk dalam pengelolaan dana ibadah haji. Pada 2011, KPK memang menyoroti buruknya pelayanan administrasi dalam pendaftaran atau perpanjangan izin penyelenggaraan ibadah haji khusus (PIHK) dan perpanjangan izin kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Bahkan, komponen waktu penyetoran dan format laporan sisa biaya operasional penyelenggara haji yang disetor ke DAU selama ini juga tidak transparan. Kini bahkan setoran pertama calon haji untuk mendapat antrean pemberangkatan telah terkumpul Rp 30 triliun dengan menggunakan asumsi pengantre haji 1,2 juta orang dan masing-masing menyetor Rp 25 juta. Juga, tampaknya, belum dibedakan antara bunga ("manfaat", menurut istilah Kemenag) dan pokoknya dalam rekening yang berbeda. 

Lebih dari itu, pengelolaan DAU puluhan triliun rupiah tidak cukup jelas penggunaannya untuk pembiayaan umat yang mana dan dalam bentuk apa. Tentu masih segar dalam ingatan publik ketika pada 2006 sejumlah pejabat di kementerian tersebut, termasuk menterinya, Said Aqil Husein Al Munawar, terjerat kasus korupsi DAU karena telah melakukan malapraktik dana haji.

Menyiapkan Regulasi Haji
Tugas kedua Anggito adalah mereformasi administrasi birokrasi penyelenggaraan haji secara sistemis, yaitu menyiapkan regulasi haji secara cermat. Sebab, potensi korupsi haji dapat terjadi karena UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang mengatur seluk-beluk pola manajemen haji belum dapat dilaksanakan oleh Kemenag. Alasannya, belum diterbitkan aturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah (PP) oleh Presiden SBY. Itu adalah UU unik karena telah terbit empat tahun, namun tidak dapat dieksekusi di lapangan karena terbentur PP. 

Padahal, bila UU itu dilaksanakan, mata rantai korupsi haji bisa terpotong. Sebab, dalam UU tersebut diatur perlunya Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU) yang akan mengawasi pengelolaan dana yang diperoleh dari hasil pengembangan atau sisa biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji. UU tersebut juga mengamanatkan perlunya dibentuk Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) untuk mengawasi semua prosesi dan tahap penyelenggaraan haji secara akurat dan akuntabel.

Presiden SBY bisa disebut telah turut melakukan pembiaran (by omission) korupsi haji secara sistemis karena alpa menerbitkan PP atas UU No 13/2008. 

Menyiapkan BUMN Haji
Tugas ketiga Anggito adalah menyiapkan kemungkinan penjajakan penyelenggaraan haji melalui badan usaha milik negara (BUMN). Untuk itu, tentu dituntut desain besar reformasi birokrasi haji dengan cara penyelenggaraan ibadah haji tak dikelola Kemenag lagi, melainkan dialihkan ke BUMN. Pengalihan manajemen pengelolaan ibadah haji melalui BUMN jauh lebih tepat. Sebab, model itu bukan saja akan dapat melepaskan negara dari monopoli penyelenggaraan haji, tetapi juga akan menjadikan negara menempatkan diri cukup sebagai regulator dan pengawas, sedangkan pelaksananya adalah badan khusus yang memiliki kompetensi dan SDM andal di bidang operasionalisasi teknis penyelenggaraan haji. 

Pola manajemen haji yang tersentral di Kemenag sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi minus SDM yang memadai terbukti telah menjerumuskan lembaga agama itu ke dalam jurang korupsi. Selayaknya Kemenag "merelakan" dan "gembira" bila penyelenggaraan haji diberikan kepada pihak ketiga atau BUMN. Kemenag cukup berperan pada level bimbingan ritualitas haji, pengawasan, dan regulator haji.

Saatnya kini seluruh jajaran Kemenag menggelorakan semangat antikorupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji. Memilukan, para tamu Allah dijadikan sasaran korupsi. Mudah-mudahan kehadiran Anggito akan menjadi spirit antikorupsi dan reformasi di kementerian yang bermoto ikhlas beramal itu. Semoga nafsu mengorupsi penyelenggaraan ibadah berhenti sehingga religiusitas berdampak positif kepada bangsa. Selamat bekerja, Dirjen Anggito Abimanyu!
 *) PNS Kementerian Agama (Kemenag) 
Sragen, Jawa Tengah, Kandidat Doktor Ilmu Hukum 
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Kamis 28 Juni 2012

Friday, July 6, 2012

Manuver Biaya Politik ala Nasdem


Manuver Biaya Politik ala Nasdem
Oleh
MUNDZAR FAHMAN*

ADA ide ''edan-edanan'' dari Partai Nasional Demokrat alias Nasdem dalam menghadapi Pemilu 2014. Partai politik baru itu akan mendanai para kadernya yang maju sebagai calon anggota legislatif. Anggaran yang disiapkan Rp 3 triliun. Setiap calon didanai Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar. (Jawa Pos 25 Juni 2012).

Ada yang menilai, ide itu bagus. Alasannya, calon yang potensial terpilih, tetapi kurang memiliki amunisi (dana), bisa dibantu. Selain itu, dengan adanya dana sebesar itu, yang akan dibelanjakan di sekitar masa kampanye pemilu, berarti uang yang beredar di masyarakat juga sangat besar. Masyarakat bakal ikut kecipratan berkah di masa kampanye pemilu. Lagi pula, dana kampanye partai akan lebih mudah dikontrol.

Tetapi, ada sisi-sisi mengkhawatirkan dari gagasan Nasdem itu. Pertama, rasanya mustahil partai bakal menggratiskan semua dana yang sudah dikucurkan untuk calegnya tersebut. Partai akan meminta ganti kepada calegnya, seluruhnya atau sebagian (misalnya, 50 persen). Baik ganti dalam bentuk duit cash yang bisa diangsur maupun ganti dalam bentuk proyek-proyek dari caleg selama menjabat kepada partainya.

Ambil contoh, Partai Nasdem mendanai caleg A sebesar Rp 5 miliar. Setelah si caleg terpilih, partai mewajibkan kadernya mengembalikan separo. Berarti, Rp 2,5 miliar dengan cara diangsur selama lima tahun menjabat. Jika itu yang terjadi, kader partai yang terpilih harus mengangsur kepada partainya sekitar Rp 500 juta per tahun atau sekitar Rp 42 juta per bulan. 

Nah, jika gaji anggota DPR selama ini sekitar Rp 65 juta per bulan, tentunya sangat berat bagi si kader partai jika harus menyisihkan Rp 42 juta dari gajinya itu untuk dibayarkan kepada partainya. Apalagi jika dana yang dikucurkan partai mencapai Rp 10 miliar untuk seorang calon dan partai meminta ganti seratus persen. Tentu, bisa dibayangkan betapa beratnya bagi kader untuk bisa membayar itu jika hanya mengandalkan dari gaji resmi.

Lalu, bagaimana jika si kader tidak perlu mengganti dengan duit cash, tetapi dengan proyek? Menurut saya, dampaknya kurang lebih sama. Artinya, sama-sama berat bagi si kader. Mengapa?

Jika pengembalian kepada partai tersebut dalam bentuk proyek, si kader akan sibuk merekayasa proyek. Akhirnya, kader partai yang terpilih di DPR tidak punya waktu dan pikiran yang cukup untuk memikirkan bangsa dan rakyat yang sudah memilihnya. Kader partai sibuk mencari dan merekayasa proyek-proyek untuk upeti partainya. Akhirnya, yang dipikirkan kader itu hanya proyek, proyek, dan proyek. Tiada hari tanpa berpikir tentang proyek untuk partainya.

Kedua, dengan didanai segede itu oleh partai, sang kader akan menjadi terlalu bergantung kepada partainya. Kader merasa berutang budi yang sangat besar kepada partainya. Kader bakal selalu bersikap sendiko dhawuh, atau sami'na wa atha'na, patuh secara mutlak kepada kehendak partainya. Kader terlalu takut di-recall.

Kondisi seperti itu, tentu saja, sangat mengkhawatirkan. Jika gaji anggota dewan banyak tersedot untuk membayar utang kepada partai sehingga mengalami defisit keuangan, ujung-ujungnya mereka akan menggunakan jurus dewa mabuk agar bisa memenuhi kekurangannya. Jika sudah seperti itu, lalu apa yang bakal terjadi? Segala cara akan dilakukan, termasuk korupsi. Menurut auditor BPK-RI Lukman Hakim, ada empat faktor yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Yaitu, faktor kebutuhan, tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi.

Sekarang ini sudah bukan rahasia lagi bahwa wakil rakyat kita terus mencari celah untuk memenuhi kebutuhan mereka, sekaligus untuk lebih mempertebal kantong mereka. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah memperbanyak kunjungan kerja, baik ke luar negeri maupun dalam negeri. Kegiatan bimtek (bimbingan teknis) untuk meningkatkan kualitas diri mereka juga dimanfaatkan untuk mempertebal kantong. Di daerah-daerah, dana jasmas (jaring aspirasi masyarakat) pun digunakan untuk membuat rekening mereka kian gendut. Di DPR, diduga ada praktik bagi-bagi proyek senilai Rp 7,7 triliun yang dilakukan oleh anggota dewan. Salah satu terdakwanya adalah Wa Ode Nurhayati, anggota dewan. Di DPRD Surabaya diduga ada kasus penyimpangan dana bimtek untuk anggota dewan. Di DPRD Bojonegoro diduga ada kasus penyunatan dana jasmas yang melibatkan anggota dewan setempat.

Yang juga layak dikhawatirkan dari ide ''gila-gilaan'' Nasdem tersebut, pendanaan yang besar dari partai untuk calegnya itu mengesankan Nasdem menyetujui praktik money politics di masyarakat. 

Realitas di sebagian masyarakat selama ini, warga melakukan transaksional dalam pemilu. Mereka mau memberikan suara di TPS (tempat pemungutan suara) jika suara mereka dihargai dengan uang. Ungkapan: ''Nek ono duite yo budhal (Jika ada uangnya, ya berangkat ke TPS)'' sudah akrab di telinga masyarakat. Ungkapan itu tidak sekadar joke atau celetukan, tetapi tenanan (serius). 

Nah, Nasdem seolah memahami betul realitas yang terjadi di dalam masyarakat kita selama ini. Mestinya Nasdem berusaha meniadakan atau sekadar mengurangi itu. Bukan malah ikut menyuburkan.

Tetapi, rencana Nasdem itu baru sebatas wacana. Memang belum waktunya direalisasikan. Juga belum tentu akan dilaksanakan.
*) Doktor Ilmu Politik, 
Berpengalaman jadi Wartawan
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Rabu 27 Juni 2012

Thursday, July 5, 2012

Jihad Koin untuk KPK


Jihad Koin untuk KPK
Oleh
SITI MARWIYAH* 

''BANGSA penakut tidak boleh merdeka dan tidak berhak merdeka. Ketakutan adalah penasihat yang sangat curang untuk kemerdekaan.'' Demikian penegasan Andre Colin. Itu mengingatkan setiap warga bangsa supaya tak bermental penakut. Kalau suatu bangsa masih lebih sering menunjukkan mental penakut, bangsa tersebut akan terus terjajah alias tidak pantas merdeka.

Negeri ini sudah sekian lama ''dijajah'' koruptor, dibikin porak poranda atau dibuat banyak kehilangan keberdayaan. Rakyat masih bersahabat erat dengan kemiskinan, kefakiran, kekurangan gizi, dan kelaparan, misalnya, karena tak lepas dari peran kolonialisasi yang dilakukan koruptor. 

Koruptor membuat buram wajah negeri ini. Tidaklah mutlak kesalahan koruptor, tetapi juga karena kesalahan kita yang bermental penakut dalam melawan koruptor. Koruptor berhasil menyebarkan ketakutan yang mereduksi independensi dan mengooptasi moralitas elemen-elemen strategis sosial serta struktural. 

Salah satu instrumen politik yang sering digunakan komunitas dewan, minimal dijadikan senjata untuk ''memengaruhi'' institusi strategis semacam KPK, adalah soal aggaran. Besaran anggaran dan realisasinya memang bisa ditempatkan sebagai instrumen memperkuat atau memperlemah lembaga-lembaga yang dianggap bisa membuat mereka ''susah''. Kecurigaan ini logis saja. Sebab, kehadiran KPK telah banyak menampar citra dewan lantaran banyaknya anggota dewan yang menjadi tersangka, terdakwa, terpidana, hingga narapidana, termasuk yang menjadi buron.

Belum lama ini, survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menyatakan bahwa DPR merupakan lembaga terkorup. Menurut anggota Komisi VII DPR Dewi Ariyani, ada beberapa faktor yang membuat seorang anggota DPR melakukan korupsi. Pertama, niat atau serakah. Kedua, sistem yang membuka peluang. Ketiga, kebutuhan, baik dari diri sendiri maupun parpol. Keempat, tekanan. 

Kondisi dewan seperti itulah yang membuat mereka terposisikan secara tidak langsung sebagai musuh KPK. Indikasi disharmonisasi hubungan antara dewan dan KPK dapat terbaca melalui pola pelemahan yang dikreasikan dewan seperti pemangkasan atau ''pengambangan'' anggaran.

Sejak lima tahun terakhir, permintaan anggaran untuk pembangunan gedung baru KPK tak pernah disetujui DPR. Bahkan, anggota Komisi III DPR Aziz Syamsuddin menyatakan, anggaran baru akan diberikan jika status KPK berubah menjadi lembaga tetap, bukan ad hoc.

Menanggapi statemen itu, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan bahwa pihaknya akan menggalang koin pembangunan gedung dari kalangan masyarakat. Akibat panggilan yang menggugah kesadaran nurani ini, sejumlah elemen akhirnya berbondong-bondong mengirimkan ''koin'' ke KPK (Jawa Pos, 26 Juni 2012).

Busyro memang meyakini bahwa masyarakat pasti akan terus tergerak untuk membantu. KPK akan lebih berfokus pada pembangunan fondasi birokrasi negara berbasis sistem integritas nasional (SIN) yang sejalan dengan PP No 55 Tahun 2012 sekaligus mencegah korupsi secara sistemik, integral, dan komprehensif. 

Problem sepele lebih sering dijadikan dalih oleh dewan untuk menolak penguatan KPK. Misalnya, stigma bahwa KPK hanya lembaga ad hoc. Padahal, dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK bahkan tidak disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc. Dalam pasal 3 UU No 30 Tahun 2002, KPK justru ditegaskan sebagai lembaga negara independen. 

Pejabat KPK sudah mengungkapkan, gedung yang saat ini ditempati sudah tak memadai untuk menampung seluruh pegawai KPK yang mencapai 730 orang. Saat ini, gedung itu ditempati 650 orang. Sisanya, mereka terpaksa berkantor di dua gedung lain. Padahal, gedung tersebut hanya berkapasitas 350 orang. 

Pertengahan Maret lalu, KPK meminta Komisi III DPR menghapus tanda bintang atau memberikan persetujuan atas rencana pembangunan gedung baru KPK. Total biaya pembangunan gedung baru itu mencapai Rp 225,7 miliar. 

Ketika nanti gedung KPK memang bisa didirikan berkat sumbangan sukarela masyarakat, tuntutan moral terhadap KPK semakin besar. Tidak berarti ketika gedung itu dibangun dengan dana negara tuntutan terhadap kinerja KPK tidak besar. Tetapi, karena sudah berani menerima kontribusi finansial dari rakyat, KPK juga wajib menunjukkan kinerjanya yang bersifat sangat istimewa (extra-ordinary) dalam penanggulangan korupsi.

Pemberian koin oleh rakyat kepada KPK merupakan apresiasi publik yang wajib dibaca secara cerdas oleh KPK. Publik tidak menginginkan politik perlawanan terhadap koruptor ini berjalan setengah hati, apalagi diskriminatif. Institusi para mujahid koruptor ini tidak boleh melemah hanya gara-gara urusan gedung. Masyarakat sangat cinta KPK. Kita tentu belum lupa ketika ''sejuta Facebookers'' ikut memengaruhi alur jagat peradilan saat KPK (''cicak'') berhadapan dengan ''buaya'' (pembesar kepolisian).

Keinginan publik dalam kasus tersebut dapat dibaca sebagai bentuk ''jihad'' terhadap koruptor atau siapa pun yang ingin mengayomi dan membingkai koruptor. Publik tidak menghendaki negeri ini terus-menerus diacak-acak atau dibuat semakin sengkarut oleh ulah koruptor. Masyarakat sudah geram kepada elite politik yang menebar duri bagi upaya pembersihan penyakit penyalahgunaan kekuasaan. Seperti yang ditulis Mahmoud Husen (2010), masyarakat yang berani melakukan reaksi terhadap koruptor merupakan gambaran masyarakat yang tidak merelakan kehancuran konstruksi peradaban. 


Koin untuk gedung KPK tidaklah semata ditujukan untuk memperkuat sarana fisik bagi kinerja KPK, melainkan sebagai dukungan moral. Ini merupakan dukungan fundamental bahwa KPK wajib serius dan pantang lemah syahwat dalam menghadapi segala bentuk ulah koruptor.
 *) Dekan Fakultas Hukum Universitas 
dr Soetomo Surabaya, Pengurus Asosiasi 
Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi DPD Jatim

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Rabu 27 Juni 2012

Wednesday, July 4, 2012

Ujian Presiden Baru Mesir

Ujian Presiden Baru Mesir
Oleh
AZIS ANWAR FACHRUDIN* 


SETELAH sempat tertunda, akhirnya hasil pilpres Mesir diumumkan secara resmi. Dr Muhammad Mursi, kandidat dari Ikhwanul Muslimin (IM), mengalahkan Ahmad Syafiq, kandidat dari rezim lama sekaligus mantan perdana menteri terakhir Hosni Mubarak. 

Kemenangan Mursi itu merupakan opsi yang paling bisa meminimalkan terjadinya kekerasan kembali. Sebab, jika Syafiq yang menang, ditengarai akan muncul demonstrasi besar-besaran (kabarnya, puluhan ribu orang sudah berhimpun di Alun-Alun Tahrir menyambut pengumuman resmi hasil pilpres).

Apalagi, sebelumnya ada kabar hitam yang dilancarkan para pendukung Syafiq tentang dugaan adanya pemalsuan suara dari kubu Mursi, meski itu kemudian tidak terbukti. Pengajuan banding kubu pendukung Mursi berhasil, dan -seperti yang sudah diprediksiquick count sebelumnya- kendati tidak unggul dengan selisih banyak, Mursi mengalahkan Syafiq dengan perbandingan suara sekitar 13 juta dan 12 juta.

Mursi, dengan demikian, menjadi presiden baru Mesir. Di pundaknya, tertumpu harapan publik Mesir pro-revolusi. Dia berhasil membalik keadaan 6 tahun lalu: Pada 2006, Mursi dipenjara, sedangkan Mubarak jadi presiden. Kini pada 2012 Mursi menduduki kursi Mesir-1, sedangkan Mubarak dibui.

Namun, perjalanan Mursi untuk menyetir laju transisi demokrasi Mesir tidaklah tanpa hadangan. Masih banyak kerikil tajam yang harus dilalui. Revolusi Mesir belumlah selesai.

Melawan ''Dwifungsi'' Militer 
Tantangan utama bagi jalannya roda transisi demokrasi di Mesir adalah kaum militer. Hingga kini, Dewan Tinggi Militer (al-Majlis al-A'la li al-Quwat al-Musallahah atauSupreme Council of the Armed Forces/SCAF) masih mendominasi kekuasaan. SCAF bahkan melakukan manuver amat kontroversial: membubarkan parlemen.

Pemilu parlemen yang sudah menghabiskan banyak tenaga dan biaya seakan tak berhasil guna. Pembubaran parlemen itu juga berarti menghabisi dominasi IM di dewan legislatif sekaligus mengukuhkan otoritas SCAF sebagai pemilik mutlak kekuasaan (sementara). Militer di Mesir memang sudah lebih dari setengah abad ''berdwifungsi'' mencampuri pemerintahan sipil. 

Konsekuensi pembubaran parlemen itu, SCAF akan mengendalikan sepenuhnya posisi legislatif sampai pemilu parlemen digelar ulang. UU yang baru dikeluarkan pada 30 Maret lalu menyatakan, SCAF punya kuasa hampir tak terbatas dalam menyusun kabinet dan pemerintahan serta memiliki hak veto dalam masalah hubungan internasional dan darurat militer.

Hal itu membuat SCAF tidak akan memenuhi janjinya untuk menyerahkan kekuasaan ke tangan sipil pada akhir Juni. SCAF masih menjadi pemerintah Mesir secara de facto. SCAF mungkin masih khawatir terhadap ambisi politik IM. Ada kekhawatiran dari kubu militer serta dari kalangan liberal-sekuler secara partikular, jika IM menang, konstitusi dan haluan negara Mesir akan diubah ke arah Islam.

Karena itu, menjadi keharusan bagi IM untuk tidak terlalu menonjolkan ambisi Islamisme-nya. Hal tersebut bisa berbalik menjadi bumerang dan mengecewakan publik. Apalagi, sebelumnya IM sempat terlalu ''pede'' ingin mendominasi Dewan Konstituante dengan menempatkan wakilnya sebanyak-banyaknya sampai-sampai kelompok-kelompok nonpartisan seperti Al-Azhar, Kristen Koptik, dan kubu liberal menarik wakil-wakil mereka.

Ambisi yang berlebihan justru bisa kontraproduktif. Ambisi itu juga akan semakin menjauhkan SCAF untuk bisa diajak berdialog dengan IM. Terutama menyangkut hubungan internasional, khususnya relasi dengan Israel, IM menghadapi tantangan lobi-lobi asing yang bisa jadi mem-backing SCAF. 

Karena itu, IM dengan representasinya di kursi kepresidenan, tak bisa tidak, harus mampu mengakomodasi kepentingan banyak kelompok yang berbeda haluan. Dengan bekal tersebut, diharapkan mereka bisa menampung lebih banyak dukungan untuk mengikis anasir-anasir Mubarak di tubuh pemerintahan baru nanti. 

Uji Kapabilitas 
Tantangan krusial lainnya adalah menyangkut kapabilitas IM di kursi kekuasaan. Ini adalah kali pertama dalam sejarah IM menempatkan wakilnya di tampuk kuasa nomor 1. Selama ini, IM merupakan gerakan oposisi. Di hampir semua negara Arab, IM pun demikian. Pada pertengahan abad lalu pun, mereka masuk dalam daftar hitam organisasi terlarang. Mereka baru bisa bergerak leluasa dan membentuk partai besar sejak Mubarak sudah lengser. Praktis, IM belum punya pengalaman mengendalikan pemerintahan.

Sejumlah batu uji kapabilitas IM dalam memegang pemerintahan sebenarnya sudah bisa dilihat. Beberapa bulan terakhir, sejak parlemen Mesir didominasi IM dengan Partai Kebebasan dan Keadilan-nya, kondisi keamanan Mesir memburuk dan ekonomi mengalami krisis.

Hal itu cukup menurunkan kepercayaan publik kepada IM. Hal itu pula yang menjadi modal kampanye pendukung Syafiq dengan menyatakan bahwa IM belum teruji dalam mengendalikan kebijakan publik.
Transisi demokrasi di Mesir masih jauh dari kata selesai. Beberapa fase masih harus dilalui. Apa yang akan terjadi di depan sulit ditebak. Parlemen saja bisa dibubarkan. Karena itu, kemenangan Mursi baru merupakan satu fase perjalanan yang boleh jadi akan dihambat kuat oleh kelompok-kelompok lain. Friksi dan fragmentasi politik, tampaknya, bukan hal yang mudah dihindari. Para pejuang Revolusi 25 Januari masih akan menghadapi masa-masa sulit. 
*) Koordinator Forum Studi 
Arab dan Islam (FSAI); Pengajar di 
Ponpes Nurul Ummah, Kotagede, Jogjakarta

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Selasa 26 Juni 2012

Strategi Berdakwah ala Sang Pencerah

Strategi Berdakwah ala sang Pencerah
Oleh
BIYANTO* 


SIDANG tanwir Muhammadiyah yang dilaksanakan di Bandung usai. Din Syamsuddin dalam sambutan pembukaan mengatakan bahwa spirit yang ingin diusung dalam sidang tanwir adalah bekerja dan bekerja. Jika dikaitkan dengan makna kata tanwir yang berarti pencerahan (enlightenment), agenda tahunan Muhammadiyah ini jelas menekankan pentingnya beramal sosial yang mencerahkan. Itu berarti sesuai dengan jati dirinya, Muhammadiyah ingin menjadi gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar yang mencerahkan. 

Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah hingga kini telah menunjukkan kiprah yang membanggakan. Tetapi, harus diakui bahwa dalam tingkat tertentu kiprah dakwah Muhammadiyah belum mampu menjangkau ke semua lapisan masyarakat. Hal itu sesuai dengan penilaian Mitsuo Nakamura yang pernah menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan perkotaan (urban phenomenon). Kesimpulan itu didasarkan kepada fakta bahwa dakwah Muhammadiyah terasa mudah diterima masyarakat perkotaan, tetapi sulit menembus basis massa di pedesaan.

Meski kini dakwah Muhammadiyah telah menunjukkan hasil sebagaimana tampak dalam perkembangan jumlah ranting di desa/kelurahan, kemasan dakwah Muhammadiyah tetap membutuhkan sentuhan. Kalangan insider secara jujur juga mengakui bahwa pengemasan (packaging) dakwah Muhammadiyah harus diperbaiki agar mudah diterima masyarakat. Karena itu, ada keinginan kuat untuk mengubah strategi dakwah dengan menggunakan pendekatan kebudayaan. Model dakwah tersebut dikenal dengan dakwah kultural. Secara diametral, dakwah kultural dapat dibandingkan dengan dakwah struktural yang menekankan aspek larangan dan ancaman berdasar ketentuan akidah, akhlak, ibadah, dan fikih. 

Keinginan menerapkan pendekatan kultural dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat jelas memiliki arti penting bagi perkembangan Muhammadiyah. Sebab, dakwah Muhammadiyah selama ini dinilai kurang mengakomodasi budaya lokal. Bahkan, juru dakwah (mubalig) Muhammadiyah sering kali menghantam budaya lokal sebagai perilaku yang berbau takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Dengan menggunakan pendekatan yang bercorak kultural, itu berarti adat, tradisi, dan budaya lokal harus dipelajari untuk dijadikan media berdakwah. 

KH Ahmad Dahlan, sang pencerah pendiri Muhammadiyah, sejatinya dapat dijadikan teladan dalam menyikapi adat, tradisi, dan budaya lokal. Ahmad Dahlan digambarkan sebagai figur yang sangat tegas sekaligus akomodatif terhadap budaya lokal. Beliau telah meluruskan arah kiblat Masjid Keraton Jogjakarta, mengadakan salat 'idain (Idulfitri dan Iduladha) di lapangan, menyampaikan khotbah dengan bahasa lokal, dan membentuk badan amil zakat yang sebelumnya merupakan hak prerogatif kiai. Karena ketegasan beliau dalam meluruskan pemahaman agama disertai penggunaan strategi dakwah yang tepat, Muhammadiyah berkembang dengan pesat. 

Seni Itu Mubah
Dakwah kultural menuntut kreativitas mubalig tatkala berhadapan dengan budaya lokal. Pada konteks itulah, mubalig Muhammadiyah perlu memiliki pemahaman yang komprehensif tentang seni dan budaya. Sebab, rasa seni sebagai penjelmaan sifat keindahan dalam diri manusia merupakan fitrah yang dianugerahkan Tuhan sehingga harus dipelihara dengan baik sesuai dengan jiwa ajaran agama. Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Ke-22 Majelis Tarjih pada 1995 telah menetapkan bahwa karya seni itu hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengakibatkan fasad (kerusakan), dlarar (berbahaya), 'isyyan (kedurhakaan), dan ba'id 'anillah (terjauhkan dari Allah). Itu berarti aktivis Muhammadiyah seharusnya tidak boleh antipati terhadap seni dan budaya. 

Dakwah kultural juga harus menempatkan kelompok abangan, sinkretik, tradisional, dan modern sebagai sasaran berdakwah. Sebab, harus dipahami, tingkat religiusitas seseorang merupakan sebuah pergumulan yang tidak pernah selesai. Dengan demikian, setiap kelompok keberagamaan di masyarakat harus dilihat sebagai komunitas yang sedang berproses menjadi pemeluk agama yang baik. 

Karena itu, misi dakwah harus dikemas secara mudah dan menggembirakan. Jika model dakwah tersebut yang dikembangkan, Muhammadiyah akan menjadi tenda besar, tempat berhimpun bagi berbagai aliran/mazhab keagamaan. Muhammadiyah juga berpotensi menjadi rumah yang ramah bagi kelompok abangan dan sinkretis yang selama ini kurang dapat menerima kemasan dakwah Muhammadiyah. 

Pendekatan kebudayaan jelas bertujuan menjadikan dakwah lebih lentur dan fleksibel. Untuk mencapai tujuan itu rasanya Muhammadiyah perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan yang puritan dengan menempatkan moto kembali kepada Alquran dan Hadis (al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah). Dalam praktiknya, moto tersebut berpotensi untuk diartikulasikan secara berlebihan dalam memandang adat, tradisi, dan budaya lokal. 

Kedua, masih kuatnya resistansi sebagian kalangan Muhammadiyah terhadap adat, tradisi, dan budaya lokal. Bahkan, secara jujur harus diakui bahwa di kalangan Muhammadiyah tema dakwah menghapus TBC masih sangat dominan. Model dakwah anti-TBC barangkali sangat relevan bagi aktivis, namun dapat dipandang kurang cocok untuk kalangan abangan dan sinkretis. 

Ketiga, hingga kini Muhammadiyah belum memiliki media yang cukup untuk mengembangkan dakwah, khususnya media yang berkaitan dengan seni dan budaya. Beberapa pengamat bahkan ada yang menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan anti kebudayaan.


Karena itulah, mubalig Muhammadiyah sebagai ujung tombak dakwah harus dibekali dengan wawasan yang luas agar mampu melihat seni dan budaya dari sisi dalam (from within).
*) Dosen IAIN Sunan Ampel
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 25 Juni 2012

Ekonomi Hijau dan Policy Energi

Ekonomi Hijau dan Policy Energi
Oleh
AHMAD ERANI YUSTIKA* 

 "Masalah primernya adalah 
digunakannya alasan konservasi lingkungan untuk 
meminggirkan petani/pekebun dari tanahnya atas nama regulasi. 
Selanjutnya, regulasi itu ternyata diproduksi untuk melayani korporasi kakap..."



KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 (19-21 Juni 2012) yang menghasilkan dokumen The Future We Need telah usai, namun menyisakan pesimisme bagaimana konsep itu dapat dijalankan. Akhir bulan lalu (29-30 Mei 2012), saya juga mngikuti pertemuan dengan para aktivis organisasi nonpemerintah (NGO) Asia yang menangani isu-isu konflik lahan/pertanian, buruh migran, dan eksplorasi sumber daya alam. Delegasi yang datang cukup banyak. Sekurangnya dari Filipina, India, Thailand, Korea Selatan, Jepang, dan Hongkong. 

Pertemuan NGO ini memiliki dua agenda yang mirip dengan KTT Rio+20. Pertama, membahas konsep dan implementasi green economyKedua, merumuskan gerakan sosial Asia (Asia social movement) atas praktik ekonomi-politik yang terus meminggirkan sebagian besar masyarakat. Pada sesi diskusi soal pembangunan ekonomi yang berorientasi kepada lingkungan (ekonomi hijau), para aktivis menolak ekonomi hijau itu karena di lapangan praktiknya tidak lebih pengusiran rakyat dari sumber daya ekonomi (alam) atas nama konservasi. 

Peminggiran Warga 
Konsep ekonomi hijau sendiri sebetulnya berorientasi untuk mengurangi dan menghilangkan aktivitas ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan. Sekurangnya terdapat empat sektor yang menjadi fokus ekonomi, yaitu: (1) pemindahan kegiatan ekonomi yang bertumpu energi tak terbarukan kepada energi yang terbarukan (renewable resources); (2) pembangunan gedung-gedung yang ramah lingkungan dan teknologi yang efisien energi; (3) pembenahan infrastruktur dan transportasi yang efisien energi; dan (4) pengembangan daur ulang dan sampah untuk penciptaan energi (Eco Canada, 2010). 

Dengan deskripsi tersebut, ekonomi hijau tak hanya berorientasi kepada penciptaan energi yang bersih, tapi juga desain teknologi yang membantu terjadinya proses produksi yang ramah lingkungan. Konsep ini tentu harus disambut dengan tangan terbuka, mengingat model pembangunan yang dikerjakan selama ini telah membuat luka lingkungan yang teramat dalam.

Ternyata konsep yang bagus itu tidak mudah dilakukan di lapangan. Entah karena faktor benturan dengan persoalan ekonomi riil yang dihadapi masyarakat (kemiskinan dan pengangguran) maupun jebakan pemilik modal (korporasi). Di negara yang relatif kaya sumber daya alam sekaligus marak dengan masalah kemiskinan, seperti Indonesia, tentu tidak gampang memindahkan aktivitas keseharian masyarakat yang bertumpu kepada pemanfaatan sumber daya alam (yang dianggap merusak lingkungan) menuju kegiatan ekonomi lain. 

Di sini diperlukan penciptaan kegiatan ekonomi dan peningkatan keterampilan agar warga tersebut nyaman bekerja di bidang lain. Tapi, ini isu sekunder. Masalah primernya adalah digunakannya alasan konservasi lingkungan untuk meminggirkan petani/pekebun dari tanahnya atas nama regulasi. Selanjutnya, regulasi itu ternyata diproduksi untuk melayani korporasi kakap yang hendak mengolah lahan konservasi tersebut.

Realitas itulah yang membuat konflik lahan makin intensif terjadi akibat implementasi ekonomi hijau yang terjadi belakangan. Aktivis gerakan petani di Jambi, misalnya, menceritakan bagaimana penggusuran petani terjadi secara massif saat pemerintah (daerah) hendak membuat kawasan konservasi. Petani berang bukan semata lahannya hendak diambil alih menjadi kawasan konservasi, melainkan melihat dengan kasatmata upaya itu tak lebih untuk memuluskan perusahaan dalam mengeruk area tersebut. 

Jadi, problem implementasi ekonomi hijau bukan dalam tataran konseptual (meski pada aras ini tetap memerlukan penyempurnaan), tapi lebih ketidaksanggupan pemerintah menjamin hak pekerjaan rakyat dan melawan jerat modal korporasi. Seandainya pemerintah menjalankan konsep ini dengam fase yang berurutan (membuka pekerjaan alternatif bagi rakyat/petani dan menjauhkan diri dari kepentingan pemodal), peluang implementasinya menjadi terbuka lebar.

Agenda Hemat Energi 
Dengan begitu, ekonomi hijau secara konseptual merupakan keniscayaan untuk diimplementasikan. Hanya ini mesti dibersihkan dari anasir-anasir licik di balik praktik perlindungan pemodal. Bagaimana relasi ekonomi hijau ini dengan kebijakan hemat energi yang disampaikan beberapa waktu lalu? Tentu hubungannya sangat erat, namun program pemerintah itu sangat artifisial. 

Pertama, kebijakan itu tidak bisa disebut hemat energi, karena yang terjadi hanyalah pemindahan konsumsi dari premium ke pertamax atau gas (keduanya energi yang tak terbarukan). Kedua, konsep penghematan energi tidak hanya didesain dari sisi hilir (konsumsi energi), namun -seperti di tulis di muka- yang lebih penting adalah pilihan pengembangan teknologi, infrastruktur, dan proses produksi yang hemat energi. Ketiga, lebih mendasar lagi, selama pemerintah masih tergelincir dalam pilihan strategi pertumbuhan untuk memaknai pembangunan, ekonomi hijau dan penghematan energi tak pernah bisa direalisasikan.

Jika pemerintah serius soal penghematan energi itu, ada tiga perkara yang mesti dikerjakan. Pertama, pembangunan tidak boleh diukur dari pertumbuhan. Sebab, di dalam konsep itu terkandung unsur pertambahan output yang mengeskplotasi sumber daya ekonomi, termasuk alam. Pembangunan harus dimaknai sebagai penambahan kapasitas ekonomi. 

Kedua, seluruh kebijakan dan pilihan kegiatan ekonomi, infrastruktur, teknologi, moda transportasi, dan proses produksi mengacu kepada pemanfaatan sumber daya ekonomi yang bisa diperbarui dan hemat energi. Ini pekerjaan raksasa karena kepentingan modal akan berupaya memenggal pilihan kebijakan ini. 

Ketiga, membuka alternatif pekerjaan dan keterampilan bagi warga yang selama ini menyandarkan kegiatan ekonomi kepada sumber daya alam. Mereka bukanlah makhluk buas yang perlu mengakumulasi kekayaan, tapi hanyalah warga negara yang butuh kepastian hidup secara bersahaja.
*) Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis 
Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 25 Juni 2012