Anggito
dan Reformasi Haji
Oleh
AGUS RIWANTO*
KEMENTERIAN Agama (Kemenag) membuat kejutan
dengan mengangkat Anggito Abimanyu, pakar ekonomi dari UGM, menjadi
Dirjen Haji dan Umrah. Sosok yang dikenal akan integritasnya itu menggantikan
Slamet Riyanto yang memasuki masa pensiun (Jawa Pos, 27 Juni).
Penempatan Anggito di Kemenag sangat tepat di tengah memburuknya citra
kementerian itu karena beberapa kasus. Yang mutakhir adalah dugaan korupsi
pengadaan Alquran. Bahkan, di awal 2012 publik dikejutkan oleh pemberian
"kado istimewa" dari KPK kepada Kemenag berupa peringkat terbawah
dalam indeks integritas dari perilaku korupsi. Di antara 22 lembaga negara
pusat yang disurvei indeks integritas pusat (IIP)-nya oleh KPK, Kemenag berada
di urutan ke-22. KPK mengungkapkan, perilaku korupsi berupa suap dan
gratifikasi di Kemenag yang terbesar terdapat dalam pelayanan ibadah haji.
Pengalaman Anggito di bidang keuangan, termasuk pernah menjadi kepala Badan
Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, diharapkan dapat membantu mereformasi
pengelolaan keuangan penyelenggaraan haji serta mengurai berbagai persoalan
lain yang memerlukan ketajaman analisis kebijakan makro dan mikro. Itu memang
lebih baik bila diserahkan kepada ahlinya. Selama ini, pengelolaan
penyelenggaraan haji dimotori pegawai karir yang berlatar belakang ilmu agama.
Akibatnya, kebijakannya cenderung monoton dan tak visioner untuk menjawab aneka
problem haji.
Memetakan Korupsi Haji
Tugas pertama Anggito adalah segera memetakan celah penyalahgunaan administrasi
(malaadministrasi) yang berpotensi korupsi. Paling tidak terdapat tiga
celah korupsi pelayanan ibadah haji. Yaitu; (1) pada tingkat regulasi yang tak
jelas dan terjadi kekosongan hukum; (2) pada tata laksana atau proses bisnis,
mulai bimbingan haji, pengangkutan jamaah haji, hingga pemondokan; serta (3)
manajemen sumber daya manusia (SDM) yang tidak memadai dalam mengelola dan
melayani ibadah haji secara akuntabel, transparan, dan profesional.
Sedangkan menurut ICW, ada delapan masalah yang berpotensi korupsi haji, yakni
terkait dengan UU, monopoli dan buruknya tata kelola haji, pengelolaan dana
abadi umat (DAU), tabungan haji, manipulasi ongkos haji, pengawasan, korupsi
penyelenggaraan haji, serta pengadaan valuta asing (Kompas, 16
Desember 2011).
Itulah sebabnya selama ini BPK kerap menyatakan disclaimer (tanpa opini)
ketika melakukan audit keuangan Kemenag, termasuk dalam pengelolaan dana ibadah
haji. Pada 2011, KPK memang menyoroti buruknya pelayanan administrasi dalam
pendaftaran atau perpanjangan izin penyelenggaraan ibadah haji khusus (PIHK)
dan perpanjangan izin kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Bahkan, komponen
waktu penyetoran dan format laporan sisa biaya operasional penyelenggara haji
yang disetor ke DAU selama ini juga tidak transparan. Kini bahkan setoran
pertama calon haji untuk mendapat antrean pemberangkatan telah terkumpul Rp 30
triliun dengan menggunakan asumsi pengantre haji 1,2 juta orang dan
masing-masing menyetor Rp 25 juta. Juga, tampaknya, belum dibedakan antara
bunga ("manfaat", menurut istilah Kemenag) dan pokoknya dalam rekening
yang berbeda.
Lebih dari itu, pengelolaan DAU puluhan triliun rupiah tidak cukup jelas
penggunaannya untuk pembiayaan umat yang mana dan dalam bentuk apa.
Tentu masih segar dalam ingatan publik ketika pada 2006 sejumlah pejabat
di kementerian tersebut, termasuk menterinya, Said Aqil Husein Al Munawar,
terjerat kasus korupsi DAU karena telah melakukan malapraktik dana haji.
Menyiapkan Regulasi Haji
Tugas kedua Anggito adalah mereformasi administrasi birokrasi penyelenggaraan
haji secara sistemis, yaitu menyiapkan regulasi haji secara cermat. Sebab,
potensi korupsi haji dapat terjadi karena UU No 13/2008
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang mengatur seluk-beluk pola
manajemen haji belum dapat dilaksanakan oleh Kemenag. Alasannya, belum diterbitkan
aturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah (PP) oleh Presiden SBY. Itu
adalah UU unik karena telah terbit empat tahun, namun tidak dapat dieksekusi di
lapangan karena terbentur PP.
Padahal, bila UU itu dilaksanakan, mata rantai korupsi haji bisa terpotong.
Sebab, dalam UU tersebut diatur perlunya Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana
Abadi Umat (BP DAU) yang akan mengawasi pengelolaan dana yang diperoleh dari
hasil pengembangan atau sisa biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji. UU
tersebut juga mengamanatkan perlunya dibentuk Komisi Pengawas Haji Indonesia
(KPHI) untuk mengawasi semua prosesi dan tahap penyelenggaraan haji secara
akurat dan akuntabel.
Presiden SBY bisa disebut telah turut melakukan pembiaran (by omission)
korupsi haji secara sistemis karena alpa menerbitkan PP atas UU No 13/2008.
Menyiapkan BUMN Haji
Tugas ketiga Anggito adalah menyiapkan kemungkinan penjajakan penyelenggaraan
haji melalui badan usaha milik negara (BUMN). Untuk itu, tentu dituntut desain
besar reformasi birokrasi haji dengan cara penyelenggaraan ibadah haji tak
dikelola Kemenag lagi, melainkan dialihkan ke BUMN. Pengalihan manajemen
pengelolaan ibadah haji melalui BUMN jauh lebih tepat. Sebab, model itu bukan
saja akan dapat melepaskan negara dari monopoli penyelenggaraan haji, tetapi
juga akan menjadikan negara menempatkan diri cukup sebagai regulator dan
pengawas, sedangkan pelaksananya adalah badan khusus yang memiliki kompetensi
dan SDM andal di bidang operasionalisasi teknis penyelenggaraan haji.
Pola manajemen haji yang tersentral di Kemenag sejak perencanaan, pelaksanaan,
hingga evaluasi minus SDM yang memadai terbukti telah menjerumuskan lembaga
agama itu ke dalam jurang korupsi. Selayaknya Kemenag "merelakan" dan
"gembira" bila penyelenggaraan haji diberikan kepada pihak ketiga
atau BUMN. Kemenag cukup berperan pada level bimbingan ritualitas haji,
pengawasan, dan regulator haji.
Saatnya kini seluruh jajaran Kemenag menggelorakan semangat antikorupsi dalam
penyelenggaraan ibadah haji. Memilukan, para tamu Allah dijadikan sasaran
korupsi. Mudah-mudahan kehadiran Anggito akan menjadi spirit antikorupsi dan
reformasi di kementerian yang bermoto ikhlas beramal itu. Semoga nafsu
mengorupsi penyelenggaraan ibadah berhenti sehingga religiusitas berdampak positif
kepada bangsa. Selamat bekerja, Dirjen Anggito Abimanyu!
*) PNS Kementerian Agama (Kemenag)
Sragen, Jawa Tengah, Kandidat Doktor Ilmu Hukum
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta