Friday, August 17, 2012

Tentang Otonomi Perguruan Tinggi

Tentang Otonomi Perguruan Tinggi
Oleh
M HADI SHUBHAN* 
 
CUKUP menarik membaca tulisan Saudara Sukemi yang berjudul Minta, tapi Takut Otonomi PT (Jawa Pos, 10 Juli 2012). Beliau menulis dilema otonomi bagi perguruan tinggi (PT) dan urgensi disahkannya RUU Pendidikan Tinggi. RUU yang sedang digarap DPR dan pemerintah/Kemendikbud tersebut memang sepatutnya didukung penuh sebagai visi pengelolaan pendidikan tinggi ke depan. Namun, banyak konsep yang dikemukakan penulis tersebut yang perlu diluruskan, karena misleading dalam memahami konsep otonomi, khususnya bagi perguruan tinggi (PT) yang berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Bahkan, tidak tepat dalam menyebut landasan yuridis PT BHMN.

Pertama, hakikat otonomi PT sama sekali tidak berkaitan dengan kewenangan yang sewenang-wenang bagi PT untuk menetapkan biaya kuliah. Hakikat otonomi PT adalah keseluruhan kemampuan institusi untuk mencapai misinya dalam mencerdaskan bangsa berdasar pilihannya sendiri. Otonomi bukan berarti kebebasan tanpa aturan, seperti yang tersirat dipahami oleh Saudara Sukemi.

Dalam piagam Magna Charta Universitatum yang ditandatangani di Universitas Bologna, dipahami bahwa universitas adalah institusi dalam masyarakat yang harus dikelola secara khusus karena menghasilkan dan menguji ilmu pengetahuan berdasar riset dan pengajaran. Karena itu, PT harus otonom, baik secara intelektual maupun secara moral, bebas dari kooptasi otoritas negara dan kekuasaan ekonomi.

Tapi, pada sisi lain, menurut piagam itu, otonomi membutuhkan kesempurnaan dalam bidang akademik, tata kelola, dan manajemen keuangan. PT yang otonom dipersyaratkan memiliki kepastian tentang good university governance (tata kelola universitas yang baik). Akuntabilitas yang berupa transparansi dan checks and balances harus menjadi jiwa dalam tata kelola.

Otonomi tidak memiliki konsep akan kebebasan para pemimpinnya untuk menentukan kebijakan yang tanpa aturan, terutama dalam menetapkan besaran biaya operasional pendidikan yang diambil dari para orang tua peserta didik. Penyimpangan kebijakan pemimpin PT dalam mengambil kebijakan yang menyebabkan mahalnya biaya kuliah bukan disebabkan adanya otonomi, tapi dari kebijakan setiap PTN, baik BHMN maupun non-BHMN.

Kedua, masalah mahalnya biaya kuliah. Saudara Sukemi menulis bahwa PT BHMN telah menyebabkan biaya kuliah mahal. Kemahalan biaya pendidikan di PTN bukan karena faktor status BHMN. Banyak PTN yang non-BHMN, tapi biaya kuliahnya jauh lebih mahal daripada biaya kuliah di, misalnya, Unair sebagai BHMN. Di Unair, 60 persen mahasiswa adalah melalui jalur SNM PTN dan biaya kuliah (SPP) bagi mahasiswa jalur SNM PTN paling tinggi hanya Rp 1.250.000 per semester. Kemudian, 20 persen di antaranya bebas biaya pendidikan sama sekali karena ditanggung oleh negara dan universitas.

Memang ada BHMN tertentu yang memungut biaya cukup tinggi, tapi tidak sedikit PTN non-BHMN melakukan hal yang sama. Demikian pula tidak sedikit BHMN yang berbiaya murah, seperti di Unair, dan banyak pula PTN yang bukan BHMN yang berbiaya kuliah murah. Jadi, mahal tidaknya biaya kuliah sama sekali tidak berkait dengan status BHMN atau bukan.

Kemahalan biaya kuliah di beberapa PTN dan BHMN disebabkan keterbatasan kemampuan pemerintah menyediakan dana pendidikan. Jika pemerintah memiliki kemampuan yang penuh untuk membiayai pendidikan, khususnya di semua PTN non-BHMN dan PTN BHMN, biaya kuliah akan ditekan semurah mungkin, bahkan bisa bebas.

Ketiga, tentang landasan yuridis. Saudara Sukemi menyebut-nyebut UU PT BHMN. Mahkamah Konstitusi (MK) tidak pernah membatalkan UU PT BHMN, sebab tidak pernah ada. Yang pernah dibatalkan MK adalah UU BHP (badan hukum pendidikan). BHP dengan BHMN jelas sangat berbeda, baik objek maupun subjeknya. BHP merupakan badan hukum yang diberlakukan terhadap semua penyelenggara pendidikan, baik swasta maupun negeri, mulai tingkat SD sampai tingkat PT. Sedangkan BHMN hanya salah satu jenis PTN sebagai penyelenggara pendidikan tinggi.

Eksistensi BHMN sebagai salah satu penyelenggara pendidikan tinggi masih valid, baik secara de jure maupun de facto. Secara de jure, peraturan pemerintah yang melahirkan tujuh BHMN sampai saat ini masih berlaku dan tidak pernah dicabut. Lahirnya PP 66 Tahun 2010 tidak mutatis mutandis menggugurkan figur hukum BHMN. PP 66 Tahun 2010 masih memberikan waktu untuk penyesuaian dalam beberapa hal hingga akhir 2013. Demikian pula secara de facto, tata kelola BHMN masih eksis dan diakui pemerintah. Kasus kisruhnya eksistensi BHMN di UI selesai dengan cara mengembalikan UI sebagai BHMN dengan segenap tata kelolanya. Bahkan, di UGM pun pemilihan rektor yang baru dilantik Juni lalu masih menggunakan tata kelola BHMN.

Meski demikian, pada sisi lain saya sependapat dengan Saudara Sukemi tentang perlunya skema yang visioner dalam pendanaan dari negara untuk PT. Misalnya dalam bentuk bantuan operasional (BO) bagi PTN. Jelasnya skema pembiayaan PT diharapkan memperlebar aksesabilitas masyarakat yang kurang mampu dari segi ekonomis tapi cukup mampu dari segi akademis. Lahirnya UU Pendidikan Tinggi nanti diharapkan mampu mengurangi distorsi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pimpinan PT yang tidak hanya pada PT BHMN, tapi juga PTN non-BHMN. Karena itu, patut kita dorong dan kita songsong disahkannya UU Pendidikan Tinggi tersebut.
*) Sekretaris Universitas Airlangga 
BHMN dan Doktor Bidang Ilmu Hukum
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Rabu 11 Juli 2012

Minta, tapi Takut Otonomi PT

Minta, tapi Takut Otonomi PT
Oleh :
SUKEMI*

ADA satu kata dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang diminta tapi ditakuti. Kata itu adalah otonomi!

Otonomi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apakah selama ini pendidikan tinggi tidak memiliki otonomi di dalam pengelolaannya? Dalam hal otonomi akademik, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan ilmiah sejatinya sudah melekat dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Ada kekhawatiran terhadap RUU PT yang akan mengooptasi, mengikis daya kritis, serta menggadaikan pendidikan tinggi. Kecemasan itu adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Sejatinya, nilai kebebasan akademik telah melekat dalam perguruan tinggi, bahkan dalam lingkup individu-individu di dalamnya, sebagai seorang ilmuwan dan cendekiawan.

Itulah yang mendorong inovasi bangsa. National Science Foundation (2007), NSF Report 07-317; Litan, R.E. et al (2007), ''Commercializing University Innovations: A Better Way'' in Innovation Policy and the Economy, vol 8 MIT Press, menyatakan bahwa perguruan tinggi adalah sumber penting penelitian dan pengembangan. Lebih dari 50 persen penelitian dasar yang menghasilkan terobosan-terobosan pemikiran yang memungkinkan munculnya industri-industri baru dilaksanakan di perguruan tinggi.

Perguruan tinggi juga memiliki misi yang lebih luas dalam menerjemahkan hasil litbang menjadi produk dan perusahaan baru. Sebanyak 15 persen penelitian terapan dilaksanakan melalui inovasi yang dimulai di kampus yang kemudian diserap menjadi bisnis melalui paten, start-up, serta pengaturan konsultansi antara dosen dan industri.

Sementara itu, Bernanke, B. 2007, ''Speech At the U.S. Chamber Education and Workforce Summit'' menyatakan bahwa pembelajaran setingkat sarjana adalah kegiatan utama perguruan tinggi yang memungkinkan perguruan tinggi berhasil melaksanakan penelitian maju (advanced research) dan pendidikan pascasarjana.

Dengan peran strategis itu, otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik masih tetap luas. Apalagi dalam penjelasan RUU PT ditambahkan bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi negeri harus bebas dari pengaruh politik praktis.

Pertanyaannya, kenapa dalam RUU PT ada pasal yang menyatakan kurikulum, program studi, dan penelitian akan diatur melalui peraturan menteri? Sesungguhnya, itu merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat, bukan kooptasi. Bukankah saat ini banyak perguruan tinggi yang membuka program studi yang tidak jelas dan tidak terakreditasi? Bila itu dibiarkan, masyarakat akan dirugikan.

Dilema Otonomi

Kembali pada kata otonomi yang diminta tapi ditakuti. Pertama, otonomi diminta karena para pengelola berharap bisa leluasa menentukan ''hitam-putihnya'' perguruan tinggi dengan otonomi itu. Saatnya perguruan tinggi tidak boleh terkooptasi oleh pemerintah, sehingga rumpun ilmu pengetahuan, kurikulum, program studi, penelitian, dan pengabdian masyarakat ditentukan perguruan tinggi. Asumsinya, perguruan tinggi-lah yang lebih tahu soal itu.

Kalimat-kalimat tersebut tertuang dalam pasal 34 dan pasal 48 RUU PT yang sekarang sudah makin sederhana, dari sebelumnya 102 pasal kini hanya menjadi 59 pasal.

Dalam soal pengelolaan keuangan, otonomi diminta. Sebab, dengan pemberian otonomi itu, pengelola akan ''bebas'' menentukan dan menggunakan keuangan yang telah dihimpun dari masyarakat.

Tapi, itu berimplikasi pada hal kedua, otonomi ditakuti. Muncul kekhawatiran, jika otonomi diberikan sepenuhnya, terutama untuk perguruan tinggi negeri (PTN), para pengelola akan seenaknya menentukan besarnya biaya pendidikan. Padahal, sebagian besar PTN dibiayai pemerintah dari pajak yang dipungut dari rakyat.

Kekhawatiran tersebut amat beralasan. Sebab, ketika UU PT BHMN (Badan Hukum Milik Negara) diberlakukan, telah terbukti bahwa perguruan tinggi yang ber-BHMN terkesan seenaknya dalam menentukan besarnya biaya pendidikan. Jadi, wajarlah apa yang dikhawatirkan itu karena pengalaman telah membuktikan. Belakangan, UU tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Upaya Akomodasi

Pertanyaannya, bagaimana mengakomodasi dua kepentingan itu? Di satu sisi, otonomi diminta. Di sisi lain, otonomi ditakuti.

Adalah ''cerita lama'' jika asumsi pemberian otonomi tersebut akan mengakibatkan komersialisasi dan seenaknya menentukan biaya. Mengapa? Sebab, setelah dibatalkannya UU BHMN oleh MK yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) No 66/2010, jelas diatur bahwa PTN harus memberikan porsi minimal 20 persen dari jumlah mahasiswa baru untuk keluarga tidak mampu.

Jauh sebelum PP itu, Kemendikbud juga meluncurkan program Bidik Misi, program bantuan biaya pendidikan masuk perguruan tinggi negeri bagi lulusan SMA/SMK/MA dari keluarga tidak mampu dengan nilai akademik baik. Sejak 2010, program tersebut telah menempatkan sekitar 40 ribu mahasiswa dari keluarga tidak mampu untuk kuliah gratis di PTN hingga lulus. Bahkan, tiap bulan mereka mendapat uang saku atau biaya hidup.

Dengan memahami konsep awal RUU PT bahwa perguruan tinggi itu dikelola dengan prinsip nirlaba, sesungguhnya pengelola perguruan tinggi tidak boleh dan dilarang keras mengambil keuntungan. Karena itu, RUU PT tersebut mengamanatkan pula bahwa penentuan besaran biaya pendidikan, dalam hal ini PTN, akan diatur tersendiri dalam sebuah peraturan menteri.

Itu tidak lain merupakan bagian dari upaya melindungi masyarakat agar bisa mengakses pendidikan tinggi dengan biaya terjangkau.

Yang jelas, substansi otonomi dalam RUU PT sebagai PTN BH (perguruan tinggi negeri berbadan hukum) sangat berbeda dari konsep otonomi yang pernah ada dalam UU BHMN. Klausul dan pertimbangan yang melatarbelakangi pemberian otonomi itu pun berbeda.

Dalam soal pendanaan untuk meringankan beban masyarakat, dalam RUU itu akan disiapkan bentuk bantuan operasional (BO) PTN bagi PTN. Bagi PTN yang sudah berbadan hukum (PTN BH), bantuan diberikan melalui mekanisme subsidi, sedangkan bagi PTS lewat mekanisme hibah.

Sekali lagi, terhadap mekanisme bantuan pembiayaan itu, amat berlebihan jika otonomi yang diberikan nanti dikhawatirkan mengakibatkan biaya mahal. Jangan cemas.
  *) Staf khusus Mendikbud 
bidang komunikasi media
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Selasa 10 Juli 2012

Ustad, Kiai, Pesantren, dan Korupsi Alquran

Ustad, Kiai, Pesantren, dan Korupsi Alquran
Oleh
SAMSUDIN ADLAWI*

GERONIMO. Tahun kemarin, nama satu kata itu sangat populer di seantero dunia. Ya, Geronimo dicatut oleh pasukan khusus antiteror AS, SEAL Team Six (ST6), sebagai kata sandi dalam menggerebek pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden. Geronimo ternyata "bertuah". Penggerebekan pada 1 Mei 2011, pukul 01.00 dini hari waktu Pakistan, itu sukses besar. Osama tewas dalam persembunyiannya di sebuah gedung di Kota Abbottabad, Pakistan. 
 
Siapa sebenarnya Geronimo? Dia dikenal sebagai hero keturunan Amerika-Indian. Geronimo adalah pemimpin suku Indian, Chiricahua Apache, yang berperang melawan Meksiko dan AS pada 1851-1900. Tak ayal, penyebutan pemimpin masa lalu itu untuk menyebut Osama bin Laden sempat menyulut protes. Terutama, dari kalangan Indian. Sebanyak 500 ribu Indian Amerika yang diwakili Keith Harper (anggota organisasi Cherokee Nation) melakukan class action. Mereka menggugat pemerintah AS senilai USD 3,4 miliar.
 
Masih banyak lagi sandi yang dipakai dalam misi-misi khusus peperangan. Tidak hanya oleh AS, tapi oleh hampir semua negara. Sesuai namanya, sandi adalah kata atau pesan rahasia. Biasanya, itu hanya bisa dipahami tim yang terlibat dalam sebuah operasi. Di luar anggota tim, tidak ada yang (boleh) tahu. Sekali bocor, operasi yang akan dilancarkan bisa gagal total. 
 
Biasanya, nama sandi disesuaikan dengan target. Penggunaan sandi Geronimo misalnya. Nama pejuang yang pernah memerangi AS itu dianggap selevel dengan Osama bin Laden. Kesamaannya, setidaknya, pada kadar fobia yang ditebarkannya terhadap warga Paman Sam. Dua nama besar tersebut sama-sama telah sukses menjadi ''hantu'' bagi bangsa AS. Keduanya berhasil membuat rakyat Amerika dan pemerintahannya menjadi bangsa yang paranoid. 
 
Begitu pun penggunaan sandi yang dilakukan aparat TNI maupun Polri dalam melakukan operasi khusus. Mulai operasi memberantas pengacau keamanan hingga operasi penyergapan jaringan narkoba.
 
Dalam perkembangannya, penggunaan kata sandi kini tidak lagi dimonopoli militer dan polisi. Para koruptor juga mulai menggunakan kata sandi untuk mengamankan pencuriannya. Untuk mengamuflasekan operasi korupsi, para koruptor memakai sandi-sandi tertentu dalam berkomunikasi. Sama dengan di militer, pemilihan kata sandi dalam korupsi juga disesuaikan dengan sasaran. Selain agar tidak diketahui oleh orang kebanyakan, penggunaan kata sandi dalam korupsi dimaksudkan untuk menghilangkan jejak tindak pidana korupsi. 
 
Tentu publik masih ingat dengan kata ''apel washington'' dan ''apel malang''. Ya, dua jenis apel itu mengemuka dalam kasus suap wisma atlet. Tepatnya, dalam pembicaraan antara Mindo Rosalina Manulang dan Angelina Sondakh. Menurut Rosa, saat bersaksi untuk terdakwa kasus dugaan suap wisma atlet, Muhammad Nazaruddin, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta (16/1/2012), istilah ''apel malang'' berarti ''rupiah''. Sedangkan, ''apel washington'' berarti ''dolar AS''. Dua sandi lainnya, yakni ''pelumas'' berarti ''uang'' dan ''semangka'' menunjukkan ''permintaan dana''.
 
Sebelum ada penjelasan dari Rosa, masyarakat dan terutama media dibuat sibuk memecahkan arti empat kata sandi tersebut. Canggih nian istilah yang dipakai. Lebih canggih lagi, tentunya, oknum yang menggunakannya.
 
Belum hilang benar ingatan akan geger ''apel malang'' dan ''apel washington'', kepala kita kembali diguncang oleh kata dan sandi dalam kasus dugaan suap. Bahkan, kali ini lebih berani. Lebih gila. Sandinya tidak main-main. Memakai kata yang selama ini disakralkan, khususnya oleh umat Islam. Yakni, ''kiai'', ''ustad'', dan ''pesantren''. Tiga kata itu sangat dihormati karena menjadi episentrum pengajaran ilmu-ilmu Islam. Ketiganya termasuk pilar tegaknya bangunan Islam. 
 
''Kiai'' adalah sebutan lain bagi alim atau ulama. Tapi, dalam Islam, dia dikenal tidak semata sebagai orang yang mumpuni dalam ilmu agama, melainkan juga kebanyakan memangku pondok pesantren. 
 
Sedangkan, ''ustad'' merupakan bahasa Arab yang berarti guru. Umumnya, kata itu dipakai untuk memanggil guru dalam sekolah-sekolah Islam. Selain di pesantren, kata ''ustad'' digunakan dalam dunia pendidikan Islam, mulai MI (madrasah ibtidaiyah) hingga perguruan tinggi. Status sosial ustad di bawah kiai. Di pesantren, ustad sering menjadi kepanjangan tangan/orang kepercayaan kiai, khususnya dalam mengajarkan sejumlah kitab. 
 
Adapun ''pesantren'' adalah tempat menimba ilmu bagi para santri kepada seorang/beberapa kiai yang mengasuhnya.
 
Sandi ''kiai'', ''ustad'', dan ''pesantren'' muncul dalam kasus dugaan suap penggandaan kitab suci Alquran di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama. Seperti diketahui, KPK telah menetapkan politikus Golkar Zurkarnaen Djabar bersama anaknya, Dendy Prasetya. 
 
Dalam komunikasi Dendy dengan sahabatnya yang terekam penyidik komisi antirasuah KPK, terungkap sandi ''kiai'', ''ustad'', dan ''pesantren'' untuk menyebut para penerima dana hasil permainan proyek penggandaan Alquran. 
 
Belakangan diketahui, ''kiai'' menunjuk pada politikus di Senayan, ''ustad'' dipakai untuk menyebut pejabat Kementerian Agama, dan ''pesantren'' untuk partai politik. 
 
Benar atau tidaknya penggunaan tiga sandi itu dan peruntukannya masih menunggu perkembangan hasil pemeriksaan KPK terhadap para tersangka dan saksi. Jika benar adanya penggunaan sandi ''kiai'', ''ustad'', dan ''pesantren'', kita akan kesulitan mencari istilah yang tepat untuk menghujat para pelakunya. Sebab, ketika mendengar mereka mengorupsi proyek penggandaan Alquran, dada kita serasa akan pecah menahan emosi. Ternyata, sandi permalingan mereka juga merendahkan keluhuran kiai, ustad, dan pesantren.
 *) Wartawan Jawa Pos yang 
menerbitkan beberapa buku puisi
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 9 Juli 2012