Monday, June 25, 2012

Dari Musala ke Istana Mesir


Dari Musala ke Istana Mesir
Oleh
IBNU BURDAH*


HASIL penghitungan cepat babak final pilpres Mesir, Jumat-Sabtu (16-17 Juni) pekan lalu, menunjukkan bahwa Muhammad Mursyi mengungguli Ahmad Syafiq. Keunggulan suara yang diraih Mursyi, kandidat yang diusung Partai al-Hurriyah wa al-Adalah (Kebebasan dan Keadilan), menandai babak baru dalam sejarah kelompok al-Ikhwan al-Muslimun atau Ikhwanul Muslimin (IM). Namun, keadaan masih genting karena keunggulan itu tipis, 52 persen. Pihak lawan juga belum mau menyerah.

Kelompok IM semula bergerak di ''musala'' dan kemaslahatan sosial. Waktu saya belajar di Kairo pada 2005, pemerintah Mesir membiarkan sekaligus mengawasi ketat IM. Misalnya, ketika mahasiswa asing terlalu lama di musala saat subuhan, mereka bisa kena ''stempel merah'' pemerintah Mubarak yang bisa mengancam keberlangsungan studinya.

Merambah pentas sosial politik secara tertatih-tatih, IM menjadi gerakan tiarap di bawah tanah yang ditekan selama pemerintahan beberapa rezim diktaktor Mesir. Lewat pintu demokrasi, kini IM membuka pintu gerbang menuju istana.

Merebut kursi presiden melengkapi kemenangan merebut hampir separo kursi di parlemen. Kendati, kemenangan tersebut terancam hilang karena putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) Mesir menjelang pilpres final. Putusan itu juga potensial membuat pemerintahan Mursyi tidak bergigi. Sebab, DPR sebagai pendukungnya dibubarkan. Yang mencemaskan, kekuasaan parlemen sementara kembali ke Dewan Militer yang pro-Syafiq, mantan PM.

Bila saat di musala mereka berhasil memperoleh simpati luas rakyat Mesir, bahkan umat Islam di banyak negara, lantas mereka juga mampu bertahan dari kekejian rezim pada era perjuangan bawah tanah, apakah mereka akan memperoleh keberhasilan pula ketika menjadi penguasa istana? Harapan agar mereka mampu membawa Mesir baru menjadi negara demokratis yang stabil, makmur yang berkeadilan, serta disegani negara-negara kawasan dan dunia amatlah besar. Setidaknya di hati para pendukung kelompok tersebut. Mereka memang memiliki modal yang berharga untuk mewujudkan mimpi Revolusi 25 Januari itu.

Pertama, modal politik. Modal tersebut berupa dukungan luas rakyat terhadap presiden dan dukungan parlemen yang hampir bisa dipastikan mencapai 70 persen jika pemilu ulang tidak jadi dilaksanakan. Angka itu diperoleh dari dua partai Islamis saja, yaitu Partai al-Hurriyah, sayap politik Ikhwan, dan al-Nur, sayap politik kelompok Salafi yang telah memberikan dukungan resmi terhadap Mursyi. Presiden Mursyi sangat mungkin memperoleh dukungan parlemen lebih dari itu.

Legitimasi mereka semakin kuat karena presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam iklim yang demokratis. Tanpa kepastian dukungan parlemen yang solid dan luas, memang sulit rasanya tercipta roda pemerintahan yang stabil di Mesir saat ini. Kendati putusan MK Mesir bisa menghilangkan semua harapan tersebut, secara ''moral'' mereka tetaplah dipandang memiliki kepercayaan yang tinggi dari rakyat Mesir.

Kedua, Ikhwan adalah kelompok dengan konstituen kalangan menengah terdidik sangat luas. Pressure yang dialami kelompok tersebut pada masa founding father Hasan al-Banna membuat mereka menciptakan organ-organ yang berada di luar struktur kelompok. Sebagian besar organ tersebut adalah organisasi-organisasi profesi yang kemudian berkembang sangat pesat. Karena itu, ketika pintu kebebasan terbuka, kelompok tersebut tampak jelas memiliki stok profesional yang melimpah seperti dokter, insinyur, advokat, dan guru-dosen. Daftar para petinggi kelompok itu maupun partai yang didirikannya mencerminkan fakta tersebut secara jelas.

Beberapa Tantangan

Namun, kelemahan kelompok itu sebagai penguasa istana tidaklah kecil. Bagaimanapun, memegang kendali negara (parlemen-istana) adalah pengalaman baru sepanjang sejarah mereka. Kemampuan mereka untuk merekrut pengikut dalam skala luas pada masa lalu dan ketahanan mereka untuk survive menghadapi rezim intelijen tidak menjamin keberhasilan mereka memimpin negara. Memimpin pengajian di musala dan menjadi gerakan dengan struktur dan gerakan rahasia di bawah rezim kepolisian tentu berbeda dari memimpin pemerintahan dengan iklim penuh euforia kebebasan seperti sekarang.

Jika tidak mampu menjalankan pemerintahan yang segera memberikan hasil yang dirasakan rakyat banyak, mereka potensial menjadi bulan-bulanan media massa, kaum intelektual -terutama kalangan muslim ''moderat'' dan liberal-, para pemuda revolusioner, para ulama, bahkan rakyat biasa. Mereka, tampaknya, tidak lagi memiliki dukungan parlemen. Bahkan, mereka akan sangat sulit mengendalikan ''parlemen jalanan''.

Yang lebih berat, pendukung Mubarak dengan kekuatan uang dan koneksinya yang telah terjalin lama semakin terang-terangan bermain di panggung sosial politik Mesir. Angka perkiraan perolehan suara Syafiq dan putusan terbaru MK yang membatalkan pemilu parlemen, bagaimanapun, mencerminkan adanya kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Dia terancam menjadi presiden ''tanpa'' kekuatan apa-apa.

Ingat pula, ''fobia'' terhadap kelompok itu di sebagian kalangan rakyat Mesir belum sepenuhnya cair. Di kalangan kelompok liberal yang merasa paling berjasa dalam proses revolusi, Ikhwan kadang dipandang telah ''merampas'' buah-buah revolusi di atas tumpukan mayat pemuda mereka.

Penentangnya menyebut Ikhwan juga tidak terlepas dari kekerasan terhadap sesama warga Mesir. Sayap ''rahasia'' kelompok itu yang tidak lagi bisa dikontrol pemimpin kelompok, termasuk pada masa Hasan al-Banna, membuat para anggotanya melakukan serangkaian pembunuhan yang memprihatinkan dan membuat IM kena getah.

Resistansi kelompok liberal sangat mungkin menguat jika pemerintahan Islamis mengambil kebijakan-kebijakan yang mengganggu apa yang mereka sebut ''kebebasan''.

Namun, tampaknya, hal itu tidak akan mereka lakukan. Fokus mereka sekarang adalah menarik kekuasaan, baik eksekutif maupun legeslatif, dari Dewan Militer yang sepertinya akan terus melawan dengan segala cara agar Ikhwan tidak memerintah atau setidaknya membuat pemerintahannya tidak efektif.

Karena itulah, pemerintahan IM diperkirakan tak akan mengusik status quo hubungan dengan Israel dan AS. Memang ada isyarat pengurangan kemesraan hubungan dengan Tel Aviv. Misalnya, mengurangi pasokan gas. Namun, yang akan dilakukan pada awal berkuasa adalah konsolidasi memperkuat posisi politik.

Kursi presiden sudah di depan mata IM. Tapi, selisih kemenangan yang tipis akan rawan dikerjai lawan. Ending episode ini masih mendebarkan.
*) Analis politik Timur Tengah 
dan Dunia Islam, Dosen Fakultas Adab 
dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Selasa 19 Juni 2012

Tukang Gigi Bukan Lawan Dokter Gigi

Tukang Gigi Bukan Lawan Dokter Gigi
Oleh
MUHAMMAD SHOLEH*


DENGAN diiringi demo serta gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, akhirnya Kementerian Kesehatan menunda enam bulan pemberlakuan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1871/Menkes/Per/IX/2011 tentang Pencabutan Permenkes Nomor 339/Menkes/Per/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi (Jawa Pos, 16 Juni 2012).

Sejak Permenkes 1871 ditetapkan 30 September 2011, para tukang gigi se-Indonesia merasa terancam sandang pangannya. Sebab, ditegaskan bahwa tukang gigi tidak boleh berpraktik lagi. Jika tetap melayani pasien, tukang gigi terancam penjara 5 tahun (pasal 78 UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran).

Wajar, demo yang menolak pemberlakuan permenkes itu terjadi di mana-mana. Sebab, usia tukang gigi jauh lebih tua daripada fakultas kedokteran gigi. Namun, setelah bermunculan praktik dokter gigi, tukang gigi dianggap sebagai ancaman meskipun ada alasan lain tentang standar pelayanan kesehatan gigi.

Benarkah tukang gigi menjadi ancaman dokter gigi? Belum tentu. Pangsa pasar tukang gigi dan dokter gigi berbeda. Segmen tukang gigi masyarakat kelas menengah ke bawah, sedangkan dokter gigi kelas menengah ke atas. Tidak mungkin pengusaha kaya memasang gigi palsu ke tukang gigi. Juga kecil kemungkinan si miskin memasang gigi palsu ke dokter gigi. Bukan karena lebih percaya kualitas tukang gigi, tetapi biaya dokter gigi jauh lebih mahal daripada tukang gigi.

Samakah kewenangan tukang gigi dan dokter gigi? Tentu tidak sama. Tukang gigi hanya boleh membuat sebagian/seluruh gigi tiruan lepasan dari akrilik dan memasang gigi tiruan lepasan (pasal 2 ayat (2) Permenkes Nomor 1871/Menkes/Per/IX/2011). Tukang gigi tidak boleh nambal, mencabut gigi, memasang gigi palsu permanen, membuat resep, dan lain-lain. Artinya, kewenangan tukang gigi sangat dibatasi.

Sangkal Putung pun Dilindungi

Tukang gigi bisa dianalogikan dengan bidan dan sangkal putung. Bidan bukan dokter, tetapi melakukan sebagian kewenangan dokter spesialis kandungan. Tidak semua kewenangan dokter spesialis kandung boleh dilakukan oleh bidan. Bidan hanya boleh melakukan persalinan normal, selebihnya harus dilakukan oleh dokter spesialis kandungan.

Jika mengacu pada UU Kedokteran, pekerjaan bidan tidak diatur, kenapa bidan boleh praktik? Ternyata, bidan diatur dalam Permenkes Nomor 1464/Menkes/ Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan. Lalu, ada yang bertanya tukang gigi tidak sama dengan bidan karena untuk bidan ada sekolahnya. Lho bukankah cikal bakal sebelum ada dokter kandungan proses persalinan dilakukan oleh dukun bayi, terus mengalami modernisasi menjadi bidan.

Sama halnya dengan sebelum ada dokter gigi, semua problematika kesehatan dan perawatan gigi dilakukan oleh tukang gigi. Perbedaannya, dukun bayi ke bidan mendapat pembinaan dari kementerian kesehatan, sedangkan tukang gigi sama sekali tidak mendapat pembinaan, apalagi diberi sentuhan lembaga pendidikan.

Tukang gigi pernah mempunyai payung hukum, Permenkes Nomor 53/DPK/I/K/1969 yang mengatur perizinan tukang gigi. Tetapi, payung itu dirampas oleh Permenkes 339/Menkes/Per/V/1989. Sejak 1989, tidak boleh ada izin baru buat tukang gigi dan tukang gigi yang sudah mempunyai izin praktik dibatasi sampai usia 65 tahun.

Praktis sejak saat itu tukang gigi dibunuh secara perlahan-lahan oleh Kementerian Kesehatan. Padahal, pembinaan tidak pernah dilakukan terhadap tukang gigi. Ketika usaha tukang gigi menjamur di jalanan, Kementerian Kesehatan tidak pernah mau tahu tentang nasib masa depan tukang gigi.

Bila dicermati, Kementerian Kesehatan melakukan standar ganda. Di satu sisi tukang gigi diberangus, sementara sangkal putung (pengobatan tradisional patah tulang) justru mendapat pengakuan lewat Kepmenkes Nomor 1076/Menkes/SK /VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional.

Bukankah sangkal putung pengobatan yang berisiko jika dibandingkan dengan tukang gigi? Namun, sangkal putung sudah ada sebelum dunia kedokteran. Sedangkan definisi pengobatan tradisional adalah pengobatannya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun (pasal 1 Permenkes 1076/Menkes/SK/VII/2003). Artinya, pada konteks ini, sangkal putung dan tukang gigi mempunyai persamaan sebagai pengobatan tradisional. Pertanyaannya, kenapa sangkal putung diakui dan tukang gigi tidak?

Mestinya, larangan terhadap praktik tukang gigi tidak perlu ada. Sebab, UU kesehatan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya (pasal 61 ayat 1 UU No. 36/2009).

Di Tiongkok, pengobatan tradisional dari leluhur sangat dihargai. Keberadaannya justru dilindungi pemerintah. Akhirnya, pengobatan tradisional Tiongkok bisa merambah ke negara-negara lain. Termasuk ke Indonesia, yang dilindungi pemerintah kita, bebas beriklan.

Mereka berhasil karena pemerintahnya memberikan ruang yang luas terhadap pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional tidak dianggap sebagai musuh dunia kedokteran modern, malah disinergikan. Seharusnya, tukang gigi di Indonesia disinergikan dengan dunia kedokteran gigi modern.

Ada tuduhan bahwa tukang gigi melakukan banyak malapraktik, yaitu pasang braket/kawat gigi (
Jawa Pos, 23 Mei 2012). Secara hukum, malapraktik adalah sebuah tindakan melanggar norma hukum kedokteran. Malapraktik bisa terjadi di semua profesi, baik tukang gigi, dokter gigi, dan lain-lain.

Mestinya, siapa yang melakukan malapraktik dia harus dihukum, sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat. Bukan kesalahan satu orang menjadikan semua orang kena getahnya. Sama halnya dengan mencari tikus di dalam rumah dengan cara merobohkan rumah, jelas tindakan yang kurang bijak.

Penundaan permenkes tentang larangan praktik tukang gigi bukanlah solusi yang tepat. Kementerian Kesehatan harus membuat terobosan dengan mengakomodasi nasib puluhan ribu tukang gigi. Tukang gigi harus dibina. Idealnya, tukang gigi diberi pemahaman tentang dunia kedokteran gigi modern.

Ingat, UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menjamin setiap warga negara mendapatkan pekerjaan yang layak. Selama pemerintah belum bisa mengentaskan kemiskinan, selayaknya jangan membuat kebijakan yang menambah penganggur.
*) Advokat Tukang Gigi yang 
Menggugat ke Mahkamah Agung

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 18 Juni 2012

Puja Ijazah, Sengat Sejarah


Puja Ijazah, Sengat Sejarah
Oleh
BANDUNG MAWARDI*

BERITA heboh ini membuat gerah dan termangu. Seorang mantan dosen di Surabaya, sejak 2007 membuat dan menjual 1.600 ijazah palsu: S-1, S-2, S-3, dan akta IV. Pemesan terbesar adalah guru. Ironis! Ulah curang ini telah menguak aib dan dusta di jagat pendidikan. Ijazah pun merepresentasikan ambisi status sosial dan uang sebagai kompensasi kerja. Puja ijazah membuat buta nalar dan alpa etika.

Skandal itu memecundangi keluhuran misi pendidikan. Ijazah-ijazah palsu itu menjadi modal mencari-mengukuhkan pekerjaan atau pamer status sosial. Ijazah memicu hasrat uang dan jabatan. Dusta tak terbatas, merugikan banyak pihak. Dunia pendidikan dirundung pendustaan misi dan etos belajar. Ijazah telah "menampar" janji-pengharapan atas orientasi pendidikan: hominisasi (proses menjadi manusia) dan humanisasi (proses menjadi manusiawi).

Kisah di Balik Ijazah

Kita bisa belajar pada sosok Ajip Rosidi. Pengarang kondang ini produktif menulis puisi, cerpen, dan novel. Ajip Rosidi berani hidup tanpa ijazah. Hak mendapat ijazah SMA dibatalkan karena tidak mau mengikuti ujian. Alasan di balik pembatalan itu sungguh prinsipil. Ajip Rosidi menjalani ujian sekolah di Jawa Barat (1956). Publik menengarai terdapat kecurangan: kebocoran soal-soal ujian. Sekian orang tua menyuap pihak-pihak panitia ujian demi mendapatkan soal-soal sebelum hari ujian tiba.

Kecurangan itu membuat Ajip Rosidi tersadar tentang makna sekolah, ujian, ijazah. Mengapa selembar kertas harus diraih dengan kecurangan? Ajip Rosidi justru menuruti kata hati nurani: memihak kejujuran, menolak mengikuti ujian ulang. Nasib tak ditentukan oleh ujian dan selembar ijazah. Panggilan ke dunia sastra malah ditempuhi tanpa beban akademik. Ajip Rosidi pun intens dan produktif menulis sastra, hingga mengantarnya menjadi pengajar di Jepang. Ajip Rosidi mendapat penghormatan meski secara formal tidak berijazah pendidikan tinggi. Ijazah tak menentukan nasib!

Kisah itu membawa perenungan makna ujian dan ijazah. Kompetensi pengetahuan diujikan dan ijazah mengesahkan kelulusan. Ujian di sekolah mencerminkan hidup kita: rimbun pertanyaan tanpa jawaban paripurna. Ijazah juga mengisahkan detik-detik belajar saat di sekolah atau kampus demi penobatan diri sebagai intelektual atau sarjana. Ujian dan ijazah seolah penentu makna hidup.

Kita bisa menganggap ujian sekolah adalah teater kolosal mengandung ketakutan, kecemasan, kebingungan, kepasrahan. Ada warna doa bersama, karantina murid, perdukunan. Semua demi kelulusan. Ujian mengalirkan air mata, kesedihan, frustrasi; menjauh dari agenda intelektualitas. Ijazah mirip janji keselamatan yang bisa mengurangi etos belajar yang menjadi hakikat manusia. Hidup tak sekadar urusan ujian, ijazah, gelar.

Ujian kerap berarti takut dan trauma. Kita bisa menampik itu melalui sikap Afrizal Malna. Penyair moncer ini pernah kuliah di STF Drijarkara (Jakarta). Afrizal Malna ingin belajar filsafat, tapi enggan dan menolak ujian. Belajar tidak harus diukur lewat ujian jika ingin mengetahui derajat pemahaman orang. Afrizal Malna menganggap ujian bisa merusak dan membatalkan niat belajar. Ujian tentu berkaitan dengan ijazah. Ujian itu formalitas. Ijazah itu bisa menjelma ironi tak terperi.

Afrizal Malna meninggalkan perkuliahan, tapi terus bergairah untuk belajar. Afrizal Malna memilih panggilan sastra. Sekian kumpulan puisi telah diterbitkan dan mendapat penghargaan. Afrizal Malna pun diakui sebagai pembaharu dalam kesusastraan di Indonesia. Hidup tanpa ijazah dan gelar sarjana tak bisa menghentikan etos belajar: mengucap dan memaknai hidup. Afrizal Malna membuktikan diri.

Hampir Lupakan Sejarah

Kita juga bisa menilik masa silam: sejarah para pelajar dan mahasiswa Indonesia di masa kolonial. Mereka mesti melalui ujian seleksi bahasa Belanda. Bahasa penjajah ini merupakan bahasa pengantar di sekolah-sekolah modern ala Barat. Pelaksanaan ujian kerap diskriminatif: diikuti anak-anak dari kalangan pejabat, priyayi, keraton, saudagar.

Gairah untuk mendalami ilmu lebih tinggi bisa diteruskan ke Belanda. Mereka menjadi pelajar-mahasiswa dengan mekanisme ujian dan ijazah. Tapi, mereka berpamrih pendidikan dan nasioalisme, bergabung dalam Perhimpunan Indonesia. Mereka rutin bertemu di rumah Ahmad Subardjo di Noordeinde, No 32, Leiden. Mereka berdiskusi tentang pelbagai masalah: politik, ekonomi, identitas, nasionalisme, pendidikan. Selembar bendera merah dan putih terpajang di dinding kamar. Bendera itu diimajinasikan bakal menjadi bendera Indonesia saat nanti mencapai kemerdekaan.

Bendera itu sakral secara politik dan intelektual. Mereka membuat konsensus ritus. Para mahasiswa dianjurkan agar sebelum mengikuti ujian di kampus untuk singgah dulu di rumah Ahmad Subardjo. Ritus kecil dilangsungkan: berdiri sejenak di muka bendera dan berdoa. Pamrih ritus: mempertebal tekad bahwa ujian demi kepentingan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ijazah bakal diartikan dalil mengonstruksi imajinasi Indonesia.

Kita pun mengenang sosok Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Hatta memerlukan waktu lama untuk merampungkan studi di Belanda dan pulang membawa ijazah. Hatta tak sekadar berdiam di ruang kelas dan mengubur diri di buku. Intelektual bersahaja itu terus mengumandangkan nasionalisme dan bergerak di jalan politik demi Indonesia. Ijazah tak membuat diri bernafsu gaji atau pamer gelar.

Sjahrir gagal mendapatkan ijazah. Perkuliahan ditinggalkan saat misi politik mesti mengantarkan Sjahrir pulang ke Hindia Belanda. Kepulangan demi nasib PNI dan gerakan nasionalisme. Sjahrir hidup tanpa ijazah dan gelar sarjana, tapi moncer di ranah intelektual dan sejarah politik Indonesia.

Mereka tak sekadar ingin meraih gelar dan selembar ijazah. Belajar di negeri penjajah mesti mengentalkan nasionalisme. Ilmu untuk perjuangan. Ijazah tak harus demi pekerjaan atau kehormatan semu. Cerita masa silam itu hampir terlupakan.

Ujian-ujian di sekolah dan perguruan tinggi saat ini tampak sebagai rutinitas yang kehilangan makna nasionalisme dan etos belajar. Ujian dinistakan dari niat suci dan makna pendidikan. Memprihatinkan. Ujian dan ijazah menjerat pengharapan atas hakikat manusia sebagai manusia pembelajar. Begitu.
*) Pengelola Jagat Abjad Solo
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 18 Juni 2012

Sunday, June 17, 2012

Vonis In Absensia Sherny BLBI

  Vonis In Absensia Sherny BLBI
Oleh
DIDIK ENDRO PURWOLEKSONO*

SELAIN penangkapan koruptor, kita disibukkan dengan berita dipulangkannya dari Amerika Serikat buron terpidana kasus BLBI Sherny Konjongian. Pelbagai komentar muncul, termasuk dari advokat terpidana yang menginginkan digelar ulang sidang atas nama terpidana 20 tahun penjara yang merugikan negara hampir Rp 2 triliun itu. Dalihnya, dulu sidangnya tidak sah. Sebab, pada saat tersebut, sidang dilakukan tanpa kehadiran terdakwa atau in absensia.

Pertanyaannya, apakah dalam peraturan di Indonesia mengenal peradilan secara in absensia? Apa hak-hak seseorang yang sudah diputus secara in absensia?

UU Nomor 8/1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), ada beberapa ketentuan terkait pemeriksaan perkara pidana, khususnya kehadiran atau ketidakhadiran terdakwa.

Beberapa kemungkinan ketidakhadiran terdakwa di sidang pengadilan. Misalnya, karena terdakwa tidak dipanggil secara sah sehingga terdakwa merasa tidak perlu hadir. Panggilan akan sah bila pemberitahuan kepada terdakwa dilakukan dengan surat panggilan ke tempat tinggalnya. Apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, surat panggilan disampaikan di tempat kediaman terakhir.

Jika di tempat kediaman terakhir pun tidak diketahui, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir. Surat panggilan berisi tanggal, hari, dan jam sidang untuk perkara apa dia dipanggil dan diterima selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.

Kemungkinan yang lain, terdakwa tidak hadir, yaitu memang surat panggilan sudah sah, namun terdakwa mangkir. Biasanya dia melarikan diri dan bersembunyi, baik di dalam maupun luar negeri.

Ketidakhadiran terdakwa di sidang pengadilan diantisipasi dalam pasal 154 KUHAP. Yang pertama, jika terdakwa absen, karena dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda pemeriksaan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.

Terdakwa yang sudah dipanggil secara sah, namun tidak hadir tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan. Hakim ketua sidang memerintah jaksa penuntut umum (JPU) untuk memanggil terdakwa kembali. Bila JPU sudah menjalankan perintah hakim dan terdakwa tetap mangkir, hakim ketua sidang memerintah JPU untuk menghadirkan secara paksa terdakwa pada sidang berikutnya. Masalahnya, bagaimana jika alamat terdakwa juga tidak diketahui.

Prinsipnya, pasal 196 KUHAP menegaskan bahwa pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain. Itu berarti pengadilan memeriksa dengan hadirnya terdakwa. Tetapi, pengadilan dapat memeriksa tanpa hadirnya terdakwa dengan catatan ada undang-undangnya. Karena itu, jelas kehadiran terdakwa bukan merupakan hal yang mutlak, khususnya terhadap perkara-perkara pidana khusus.

UU Antiterorisme dan Antikorupsi

UU khusus tersebut, antara lain, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (PTPT) atau UU Antiterorisme. Dalam pasal 35 ditegaskan bahwa dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.

Yang menarik, UU Antiterorisme tersebut mengatur bahwa jika terdakwa hadir pada saat sidang berikutnya, sebelum ada putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa. Bila terdakwa benar-benar diputus bersalah dalam sidang in absensia, hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi. Terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum banding.

Pengaturan proses pemeriksaan in absensia berdasar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) atau UU Antikorupsi dalam pasal 38 mengatur bahwa dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, namun tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa. Terdakwa atas putusan pemidanaan itu tidak dapat mengajukan banding.

Sesuai dengan ketentuan pasal 196 KUHAP dan UU Antiterorisme, serta UU Antikorupsi, ada beberapa catatan penting. Pertama, dua UU tersebut merupakan UU yang secara khusus mengatur proses pemeriksaan perkara pidana jika dibandingkan dengan KUHAP yang diberlakukan untuk perkara terorisme maupun perkara korupsi (asas lex specialis derogate legi generalis). Kedua, khusus untuk tindak pidana terorisme dan tindak pidana korupsi tetap dapat diberlakukan peradilan in absensia. Ketiga, bedanya, peradilan in absensia untuk terorisme, upaya hukumnya hanyalah kasasi. Sedangkan untuk kasus korupsi, terdakwa yang dijatuhi pidana dalam peradilan in absensia dapat mengajukan banding dan kasasi.

Titik sentral dalam peradilan in absensia adalah ketidakhadiran terdakwa di sidang. Tak dibedakan apakah terdakwa korupsi atau terorisme itu WNI atau WNA, maka dia dapat diadili berdasar UU Indonesia. Meskipun alamat terdakwa diketahui, apakah di Indonesia atau di luar negeri, asalkan sudah dipanggil secara sah dan ternyata terdakwa tidak hadir, peradilan tetap bisa dilakukan secara in absensia.

Apakah terdakwa in absensia bisa memberikan kuasa hukum kepada penasihat hukum yang mewakili kepentingannya di sidang? Bagi terdakwa yang tidak ditahan, ada kemungkinan memberikan kuasa hukum kepada seorang penasihat hukum untuk kepentingannya. Bila setelah memberikan surat kuasa terdakwa melarikan diri ke luar negeri atau bersembunyi, itu memberikan peluang dia punya kuasa hukum dalam peradilan in absensia.

Bagi terdakwa yang diadili secara in absensia dan dijatuhi pidana, sebagaimana diuraikan di atas, ternyata tidak mengajukan upaya hukum apa pun, statusnya menjadi terpidana. Bagi terpidana tersebut, termasuk di sini adalah Sherny Konjongian, upaya hukum yang dapat dilakukan hanya dua, yaitu peninjauan kembali (PK) dan grasi.

Seperti sudah diatur, PK bisa dilakukan bila ada bukti baru (novum) yang diyakini bisa membuktikan ketidakbersalahannya. Kedua, PK bisa ditempuh bila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata. Sedangkan grasi diajukan kepada presiden selaku kepala negara.

Jadi, peradilan in absensia itu memang dikenal dan dijalankan di Indonesia.

Selanjutnya, sebagai terpidana di penjara, hak-hak dan kewajibannya diatur UU Lembaga Pemasyarakatan.
*) Guru Besar Hukum Pidana 
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Sabtu 16 Juni 2012

Perang Media dalam Kasus Pajak


 Perang Media dalam Kasus Pajak
Oleh
HUSNUN N DJURAI*


KASUS korupsi yang melibatkan oknum pajak nyaris selalu punya hubungan dengan para politisi. Mulai kasus Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, hingga Tommy Hendratno. Kasus Gayus melibatkan banyak pejabat dan politikus, baik yang akhirnya mendekam dalam penjara maupun yang tidak tersentuh hukum. Sedangkan kasus Dhana, menyentuh juga keterlibatan politisi.

Kasus terbaru adalah kasus Tommy yang membuat seorang pengusaha Hary Tanoesudibyo, pemilik Bhakti Investama, masuk pusaran. Seorang komisaris independen dan seorang yang mengaku karyawan perusahaan milik Hary Tanoesudibyo diperiksa oleh KPK dalam kasus suap terhadap karyawan pajak tersebut.

Yang menarik, Hary Tanoesudibyo menyebut kasusnya itu bermuatan politis. Kalau dia sebagai pengusaha, kemungkinan tidak bisa mengaitkan kasusnya itu dengan politik. Tapi, ketika dia sudah terjun dalam dunia politik, dia harus menerima konsekuensi politis tersebut. Setidaknya, dia merasa begitu.

Ketika memutuskan untuk menjadi politikus di Indonesia, seseorang harus menyadari bahwa dia tengah menciptakan musuh yang setiap saat siap menjegal. Hary Tanoesudibyo pun merasa kasus yang berkaitan dengan bisnisnya sudah dibawa ke ranah politik. Sebagai orang yang bergerak dalam bisnis media, semestinya dia tahu bahwa lawannya juga menggunakan media untuk menyerangnya. Sama dengan media yang berada di bawah naungan kelompok usahanya, yang dengan terlihat penuh semangat memberitakan kasus Lapindo.

Dalam pasar media, menurut McQuail, peran pemilik sangat besar dalam menentukan sebuah berita disiarkan atau tidak. Sedihnya, saling incar kelemahan kemudian digunakan sebagai alat untuk saling menyandera adalah kelaziman dalam dunia politik Indonesia mutakhir. Kasus Century, kasus pajak, kasus Lapindo, dan beberapa kasus lain digunakan oleh para politikus untuk menyerang lawan politiknya. Dalam memainkan kartu truf, para politikus-pengusaha itu tak segan-segan memanfaatkan media miliknya untuk menyerang lawan politiknya.

Beberapa politikus-pengusaha memiliki media yang besar untuk jelas menunjang karir politiknya sekaligus digunakan sebagai alat propaganda. Suatu ketika Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pernah ditanya mengenai maraknya kasus yang menimpa partainya yang ramai diberitakan media. Dengan santai, Anas mengatakan bahwa itu terjadi karena Demokrat tidak punya televisi.

Pernyataan Anas itu menggambarkan bagaimana partai yang dipimpinnya -dan juga dirinya- babak belur dihantam berita negatif tak terhentikan. Dua kelompok media yang dimiliki oleh dua pemimpin parpol menjadikan pemerintah dan Demokrat sebagai sasaran tembak pemberitaannya. Para politikus pemilik media kuat terkesan sudah menggunakan media untuk kepentingan politiknya karena mereka tahu efektivitas sangat kuat dari media dalam memengaruhi agenda masyarakat.

Melihat potensi tersebut, para politikus terjun dalam bisnis media, begitu juga sebaliknya pengusaha media terjun ke dunia politik. Saat ini ada dua kelompok media yang saling bersaing dalam memperebutkan pengaruh masyarakat, yakni kelompok Metro TV dan kelompok Vivanews. Bahkan, kini kelompok Metro TV yang mendukung Partai Nasdem menjadi semakin besar kekuatannya setelah kelompok media MNC -RCTI, MNCTV, dan Global TV- ikut bergabung dalam barisan Nasdem. Kelompok usaha tersebut tidak hanya menjadi pendukung, tapi juga sudah terjun secara penuh dengan menempatkan pemilik perusahaan itu sebagai ketua Dewan Pakar Nasdem.

Sejak kelahirannya, partai itu menyita banyak perhatian masyarakat, termasuk partai yang sudah lama, karena didukung publikasi yang sangat besar dari media, terutama televisi. Partai Golkar terlihat kebakaran jenggot karena banyak kadernya yang lari ke partai baru tersebut. Peta kekuatan politik-media pun terbentuk dengan jelas dalam pertarungan Metro TV yang didukung MNC Group di kubu Nasdem versus kubu Golkar yang didukung Vivanews, TV One dan AnTV.

Polarisasi dua kekuatan itu berdampak kepada kebijakan politik pemberitaan masing-masing media menyangkut pilihan berita. Dalam propagandanya, kelompok Metro TV dan MNC bisa menyiarkan acara Nasdem dalam durasi yang cukup lama. Metro TV, misalnya, bisa menyiarkan pidato pimpinan Nasdem secara live dari berbagai penjuru Indonesia. Hary Tanoesudibyo pun menjadi iklan Nasdem yang disiarkan media miliknya. Tapi, dalam kasus pajak, misalnya, Metro TV tentu tidak membuat liputan yang galak seperti saat memberitakan peristiwa yang dianggap sebagai kesalahan pemerintah.

Di kubu yang lain, TV One dan AnTV rajin memberitakan aktivitas ketua umum Partai Golkar yang juga pemilik kelompok media tersebut. Hanya, dalam penyajian volume beritanya tidak sebanyak Metro TV saat menyiarkan pidato politik ketua Nasdem. Tapi, dalam hal menyembunyikan berita yang tidak boleh disampaikan ke publik, dua kelompok itu memiliki kebijakan yang sama. TV One, AnTV, dan kelompok Vivanews cenderung tak kritis dalam kasus Lapindo yang tidak kunjung usai itu.

Ketika korban Lapindo menggelar peringatan enam tahun tragedi tersebut, Metro dan MNC memberitakan acara itu dengan porsi yang besar. Tapi, jangan mencoba mencari berita itu di kelompok Vivanews, tentu tidak ada. Sebaliknya ketika kasus pajak Tommy muncul, kelompok Vivanews dengan gencar memberitakan karena ada daya tarik nama Bhakti Investama. Ketika banyak media belum mengaitkan kasus tersebut dengan Hary Tanoesudibyo, Vivanews sudah gencar menampilkan nama bos media itu dengan kasus tersebut.

Perang berita dua perusahaan media terlihat ada unsur saling balas dendam. Tak jelas apakah pengelola media ingin memuaskan publik atau memuaskan pemilik media. Padahal, pemilik tak bisa menggunakan frekuensi televisi seenaknya karena itu milik publik. Dalam jangka panjang, media bisa kehilangan kredibilitas dari publik dan meredupkan pengaruhnya. Publik akan tahu adanya kepentingan di balik pemberitaan yang gencar. Seperti kata Littlejohn dan Foss, media punya dampak yang kuat kepada agenda publik saat khalayak membutuhkan panduan yang tinggi. Publik akan menilai apakah media kita sudah memenuhi kebutuhan itu.

*) Pengajar jurnalistik di 
Jurusan Komunikasi FISIP
 Universitas Brawijaya

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Jum'at 15 Juni 2012

Sherny dan Hikmah Skandal BLBI


Sherny dan Hikmah Skandal BLBI
Oleh
AUGUSTINUS SIMANJUNTAK*


LAMA tidak terdengar kabar penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sudah berusia sekitar 14 tahun. Tiba-tiba saja, publik diingatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan pemulangan dan pemenjaraan buron korupsi Sherny Kojongian dari San Francisco, Amerika Serikat. Terpidana 20 tahun dalam korupsi BLBI Bank Harapan Sentosa (BHS) itu pernah divonis in absensia pada 2002. Ironis memang, BI pernah memberikan dana talangan (bailout) Rp 1,57 triliun ke BHS sejak Agustus hingga Oktober 1997 meski kondisinya tidak sehat sejak Februari 1996.

Bahkan, BHS menerima tambahan bailout Rp 2,2 triliun sejak November 1997 sampai Oktober 1998. Perlu diingat, kasus BLBI berawal dari krisis ekonomi yang terjadi pada 1997-1998. Waktu itu, lembaga dana moneter internasional (IMF) menekan pemerintahan Soeharto untuk menutup 16 bank sebagai salah satu alternatif solusi krisis. Akibatnya, rush (penarikan dana besar-besaran) pun terjadi hingga banyak bank mengalami krisis likuiditas.

Mirip kasus bailout ke Bank Century, situasi krisis 1997-1998 memaksa BI menyuntikkan dana BLBI ratusan triliun rupiah ke bank-bank bermasalah. Di sinilah muncul dugaan bahwa situasi krisis justru dimanfaatkan oknum pebisnis bank untuk mengemplang dana BLBI. Modusnya, tindakan pejabat BI (memberikan dana BLBI) yang dianggap sah (rechtmatig) menurut hukum adminsitrasi telah disalahgunakan untuk mengorupsi uang negara. Lalu, siapakah yang harus bertanggung jawab secara hukum? Ada dua kemungkinan:

Pertama, pejabat BI yang ceroboh dalam bertindak sehingga dimanfaatkan oknum pebisnis bank bermasalah yang terafiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Kedua, oknum pejabat BI dan pebisnis bank bermasalah serta kekuatan politik tertentu yang secara bersama-sama bersekongkol mengemplang dana BLBI. Hal itu tergolong perbuatan yang diatur dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apalagi, tindakan itu dilakukan saat negara sedang krisis, pelakunya bisa dihukum mati (vide pasal 2 ayat 2).

Perjanjian Sekongkol

Korupsi dana BLBI memang bisa dirunut berdasar kajian hukum perdata. Oknum pejabat publik dan pebisnis (banker) bisa saja berkonspirasi untuk mengemplang uang negara lewat hubungan bisnis (perdata). Mereka melakukan perjanjian bisnis yang sah (utang-piutang). Tetapi, di balik perjanjian itu, terdapat persekongkolan jahat (black contracts) untuk bersama-sama melakukan korupsi. Tindakan hukum perdata oleh oknum pejabat (ambtenaar) yang dapat berindikasi korupsi memang tidak dirumuskan spesifik dalam undang-undang.

Namun, tindakan korupsi yang timbul dari hubungan perdata tetap bisa dirunut dengan menyelidiki adanya unsur penipuan terhadap negara menyangkut objek bantuan (utang) yang diperjanjikan. Artinya, pemberian dana BLBI ke bank-bank bermasalah seharusnya mengikuti prinsip-prinsip pemberian kredit dalam dunia perbankan, terutama prinsip kehati-hatian. Jika prinsip itu tidak dijalankan, tindakan pejabat BI patut dicurigai sebagai tindakan perdata (pemberian bailout) yang berindikasi korupsi secara sistemik.

Sunguh ironis, pemerintah mewajibkan seluruh pebisnis bank untuk berhati-hati dalam memberikan pinjaman (kredit), namun BI sendiri tidak menerapkannya dalam pemberian BLBI. Misalnya, BI seharusnya meneliti character (kejujuran pemilik bank), collateral (jaminan utang bank), capital (modal bank), dan capacity (kemampuan mengelola bank). Intinya, BI harus yakin bahwa dana talangan harus dikelola dengan sangat hati-hati dan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Jika tidak memenuhi syarat untuk di-bailout, demi keadilan ekonomi, BI sebaiknya melikuidasi bank yang bersangkutan.

Jadi, kalau dana BLBI puluhan triliun ternyata tidak kembali, kasus ini tidak bisa lagi hanya dilihat dari aspek utang-piutang. Patut diduga, pemberian dana BLBI telah berindikasi korupsi (corruption by contract). Anehnya, Kejagung pernah melakukan gugatan perdata terhadap oknum pebisnis yang diduga ikut mengemplang dana BLBI (seperti Sjamsul Nursalim) pasca terungkapnya kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan plus Artalyta Suryani alias Ayin. Hal itu sungguh tidak lazim dalam menangani kasus kejahatan.

Demi keadilan, kasus korupsi tidak boleh diganti dengan gugatan perdata. Dalam teori hukum pidana, kasus kejahatan tidak bisa berevolusi menjadi kasus perdata. Lazimnya, perbuatan pidana (korupsi) harus segera diusut dulu sambil diikuti penyelamatan uang negara melalui penyitaan aset-aset koruptor. Bahayanya, kalau dugaan korupsi dana BLBI bisa diselesaikan dengan perdata, pelaku kejahatan lainnya pun akan meminta kasusnya diselesaikan dengan cara yang sama, tanpa proses pidana. Itu berbahaya bagi keadilan dan ketertiban sosial. Negara (kejaksaan) tidak boleh bersikap sejajar dengan si pelaku kejahatan, termasuk para pebisnis yang terlibat kasus korupsi dana BLBI.

Tugas negara (kejaksaan) ialah menindak perbuatan tercela para pengemplang dana BLBI. Maling ayam atau sepeda motor saja sering digebuki massa sampai babak belur karena perbuatannya yang tercela dan dibenci masyarakat, apalagi para banker yang mengemplang puluhan triliunan rupiah dana negara. Publik tentu sangat membenci tindakan mereka.

Karena itu, pemulangan dan pemenjaraan Sherny merupakan sebuah langkah maju penegakan hukum oleh Kejagung. Tindakan kejahatan memang harus dihukum dengan derita (nestapa) berupa pembatasan hidup (penjara), bukan dengan gugatan ganti rugi seperti yang dilakukan ke Sjamsul Nursalim yang baru-baru ini sempat diberitakan muncul di Singapura untuk melayat almarhum Sudono Salim (Liem Sioe Liong). Selain itu, uang dan aset yang berasal dari tindak kejahatan wajib disita untuk dikembalikan kepada negara.

Hukum pidana memang tidak selalu berhasil menyelamatkan kerugian negara karena dana yang dikorupsi sudah dihabiskan si pelaku atau sudah tidak diketahui ke mana larinya. Namun, vonis yang setimpal bagi oknum pejabat dan pebisnis yang ikut korupsi sudah cukup memberikan rasa keadilan kepada publik. Semoga para pebisnis di republik ini bisa mengambil hikmah dari kasus BLBI dan Kejagung tidak tebang pilih dalam menangkap koruptor. Ingat, masih banyak lho buron kasus BLBI.

*) Doktor, Dosen Program 
Manajemen Bisnis FE 
Universitas Kristen Petra
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Jum'at 15 Juni 2012

Kepemimpinan Kelautan Presiden


Kepemimpinan Kelautan Presiden
Oleh
OKI LUKITO*


Di tengah kegairahan negara-negara benua mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di laut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masa depan bangsanya, kita malah membiarkan laut menjadi ajang jarahan. Dari Laut Arafuru saja, sejak dekade tahun delapan puluhan hingga sekarang, ratusan ribu ton ikan dijarah setiap tahun oleh ratusan kapal asing dengan menggunakan jaring terlarang fish trawl maupun shrimp trawl.

Palka kapal yang mempunyai kapasitas angkut rata-rata 100-500 ton selalu terisi penuh ikan berbagai jenis seperti kerapu dan ikan demersal, udang, cumi-cumi, kakap, gulamah atau kurisi. Semua ukuran ikan terjaring karena kapal dilengkapi alat pemecah karang. Terumbu karang sebagai tempat pemijahan ikan hancur, terutama di lokasi yang kedalamannya 20-30 meter, tempat yang paling nyaman bagi koloni ikan.

Wilayah fishing ground itu selama 24 jam menjadi surga illegal fishing, tidak pernah sepi kapal asing penangkap ikan yang kebanyakan diageni sejumlah yayasan milik institusi pemerintah. Karena itu, mustahil jika kapal patroli tidak menemukan kapal-kapal pecundang di salah satu paru-paru laut dunia tersebut. Sejatinya, kepedulian negara untuk mengawal laut kita sangat minim jika tidak ingin disebut gagal.

Pemerintah tidak pernah peduli isi lautnya dijarah. Pembiaran terhadap sejumlah kejahatan di laut adalah bukti kelalaian mengamankan kekayaan negara. Fakta yang terjadi tidak searus dengan gagasan blue economic atau revolusi biru yang dikibarkan hanya untuk dijadikan kamuflase, menutupi kelemahan dan keterpurukan kita di laut.

Sejumlah tragedi di laut selama ini tidak dijadikan cermin dan motivasi bagaimana menyejahterakan ekonomi bangsa yang sarat utang ini dengan memanfaatkan kekayaan lautnya. Sadar atau tidak, laut diabaikan dan justru memperkaya bangsa lain. Kita tentu masih teringat aksi kenekatan nelayan Tarakan, Kalimantan Timur, dengan berani dan penuh kejengkelan menangkap kapal nelayan Malaysia yang tengah mencuri ikan di depan mata nelayan lokal.

Aksi berani tersebut dipicu kejengkelan terhadap aparat keamanan laut yang apatis. Demikian pula, di manakah negara ketika nelayannya yang sedang menjaring nafkah di ranahnya sendiri ditangkap dan dianiaya petugas patroli keamanan laut negara jiran?

Sementara itu, perlakuan diskriminatif yang menyakitkan masyarakat pesisir kerap terjadi di negeri sendiri. Di Pamekasan, Madura, nelayan asal Desa Branta, misalnya, ditangkapi petugas Polair karena kapalnya tidak dilengkapi dokumen Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang sulit diurus dan harus diperbarui setiap hari. Nelayan yang sudah kesulitan mencari nafkah di laut juga menghadapi sejumlah teror ekonomi dan peraturan perundangan yang justru memberatkan komunitas marginal itu.

Kapan di Laut Kita Jaya?

Di negara yang tersohor kaya sumber daya laut ini, pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan tidak pernah pula berpikir dan tergerak untuk melahirkan generasi muda bahari, sebagai elemen dasar dan utama membentuk karakter bangsa maritim. Sejak prasekolah, sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi, generasi pemimpin di masa depan itu tidak mengenyam pendidikan maritim.

Akibatnya, janganlah heran jika Fakultas Kelautan, Perkapalan, atau Perikanan pada umumnya di semua perguruan tinggi negeri dan swasta bukan menjadi pilihan utama mahasiswanya. Sebagai ilustrasi, Fakultas Kelautan ITS hanya menjadi pilihan keempat, sementara Fakultas Oseanografi Universitas Hang Tuah dilebur dengan Fakultas Perikanan karena tidak memenuhi kuota. Bagaimana generasi muda kita bisa mempunyai wawasan kelautan dan berminat menekuni usaha di sektor berbasis maritim jika di sekolah umum dipopulerkan menggambar keindahan alam di darat saja.

Di sekolah umum, pelajaran berenang seharusnya menjadi olahraga wajib. Dayung, selancar angin, atau menyelam yang kental budaya bahari sebaiknya menjadi agenda kompetisi antarsekolah maupun perguruan tinggi. Jadi, jangan berharap kita jaya di laut tanpa generasi mudanya dibekali pendidikan maritim dan mendapatkan ilmu pengetahuan kekayaan tambang di bawah laut.

Boleh dikata, keterpurukan kita di laut adalah disebabkan tidak terbangunnya kekuatan maritim yang seharusnya menjadi arus utama negara kepulauan. Competitive advantage dalam segi geoekonomis, geopolitis, dan geostrategis yang kita miliki dibanding negara lain pada kenyataannya hanya menjadi wacana. Kapan potensi itu membuat kita jaya di laut?

Sejujurnya, kegagalan tersebut harus diakui lebih disebabkan lemahnya ocean leadership. Kita harus berpikir radikal dan sejatinya bangsa ini tidak lagi membutuhkan presiden yang land base oriented karena terbukti selama ini kebijakan luar negeri dan strategi maritim menjadi cemoohan bangsa lain, terutama negara tetangga terdekat.

Pemimpin yang dibutuhkan adalah sosok yang mampu menggerakkan kemampuan interaksi politik dengan legislatif untuk menghasilkan produk legislasi dan politik anggaran yang pro kepada kekuatan maritim. Kemampuan membuat terobosan serta mobilisasi sumber daya nasional dalam manajemen pembangunan melalui kelengkapan instrumen fiskal, moneter, keuangan, tata ruang, serta mobilisasi lintas sektor untuk mendukung kekuatan maritim mutlak diperlukan.

Gagasan Gus Dur membentuk Departemen Eksplorasi Laut atau program Gerbang Mina Bahari ala Megawati serta Revitalisasi Maritim melalui sektor perikanan ala Susilo Bambang Yudhoyono boleh dikata belum berhasil. Mereka gagal memobilisasi sumber daya nasional kekuatan maritim. Kita memerlukan presiden yang memiliki ocean leadership, tidak cukup hanya mempunyai visi kelautan untuk mendapat dukungan penuh stakeholder guna menyukseskan program tersebut. Negara kepulauan ini memerlukan nakhoda andal dan cerdas untuk mengendalikan instrumen keadilan ekonomi.

Perlu digarisbawahi bahwa komitmen pengarusutamaan maritim bukan hanya milik ranah eksekutif, peran legislatif, dan partai politik yang memiliki kekuatan besar membuat ocean policy. Legislatif memiliki fungsi legislasi dan politik anggaran yang menjadi modal dasar untuk melahirkan political will dan membangun kekuatan maritim.

*) Ketua Forum Masyarakat 
Kelautan dan Perikanan,
Pelaku Usaha Budi Daya
 Laut dan Tambak Organik
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Kamis 14 Juni 2012


Ekonomi yang Tumbuh Bersama Korupsi


Ekonomi yang Tumbuh Bersama Korupsi
Oleh
AHMAD KHOIRUL UMAM*


FENOMENA korupsi di Indonesia saat ini mengundang pertanyaan unik. Mengapa di tengah korupsi yang menggurita dan mengancam masa depan bangsa sektor ekonomi negara justru tetap tumbuh dan berkembang? Ketika marak politisi lokal dan nasional menjadi pencuri uang negara, mengapa perkembangan demokrasi masih menunjukkan tanda-tanda positif?

Gejala ekonomi dan politik unik tersebut tak terjadi di negara-negara Afrika, sebagian Asia, serta Amerika Latin. Tradisi korup mereka berimplikasi langsung terhadap melemahnya pertumbuhan ekonomi dan lesunya gerakan demokratisasi.

Dua pertanyaan tersebut bisa diuraikan dengan beberapa varian pendekatan antikorupsi berikut ini.

Ketika korupsi dianggap sebagai epidemi, gerbong kelompok Weberian mengusung teori modernisasi yang menawarkan konsep rasionalisasi otoritas politik, penguatan prosedur hukum, dan birokratisasi. Tiga strategi itu dipercaya sangat ampuh untuk menyapu praktik-praktik korupsi yang bercorak patrimonial.

Korupsi sebagai Perekat

Tetapi, perspektif Weberian itu kemudian ditentang kelompok revisionis yang meyakini adanya kontribusi penting alias ''berkah'' dari praktik korupsi terhadap pembangunan politik dan ekonomi. Selama 1960-an hingga 1980-an, beberapa akademisi dan ekonom internasional memercayai bahwa praktik korupsi bisa menjadi ''pelumas'' yang melancarkan kerja mesin pembangunan.

Bahkan, pemikir sekaliber Robert K. Merton, yang masyhur dengan Teori Sosial dan Struktur Sosial-nya, secara eksplisit juga mengakui pentingnya manfaat korupsi untuk menjalankan sistem birokrasi serta politik di sejumlah negara, terlebih dalam sistem politik yang rapuh. Dalam ranah politik yang sarat friksi, konflik, dan faksionalisme, korupsi diyakini bisa menjadi ''perekat'' yang bisa memperkuat ikatan politik, mempertahankan stabilitas politik, serta meningkatkan loyalitas pendukung.

Cara pandang Merton tersebut juga didukung banyak ilmuwan politik. Dalam penelitian di Afrika oleh Leys, korupsi dianggap praktik alami yang dapat meningkatkan ikatan sosial-politik sebagai modal sosial (social capital) yang notabene sangat diperlukan banyak negara berkembang. ''The greater the corruption, the greater the harmony between corruptor and corruptee'' atau semakin besar tingkat praktik korupsi, semakin besar pula keselarasan antara koruptor dan pihak yang dikorupsi.

Samuel P. Huntington juga sempat mengakui adanya sisi positif korupsi. Bagi dia, korupsi dapat menjadi semacam bahan bakar yang mampu mengefektifkan kerja mesin birokrasi. Korupsi juga dinilai bisa memberikan manfaat secara khusus, langsung, serta konkret kepada kelompok-kelompok tertentu yang teralienasi, terdiskriminasi, serta termarginalkan dari arus utama masyarakat politik yang berkembang.

Huntington menggarisbawahi, praktik korupsi yang masih dalam kadar yang ''terukur'' akan mendukung proses modernisasi dan pembangunan ekonomi suatu negara. Namun, jika korupsi tak terbendung, itu berpotensi menenggelamkan capaian-capaian ekonomi dan politik yang telah mapan sebelumnya. Tentu agak rumit menangkap logika tersebut, mengingat tidak jelasnya parameter yang dapat digunakan untuk mengukur kadar proporsionalitas tindakan korupsi.

Kondisi Indonesia

Yang terjadi di Indonesia saat ini, tampaknya, hampir serupa dengan dalil-dalil ilmiah yang diuraikan para ilmuwan sosial era pertengahan abad 20-an tersebut. Kendati korupsi telah mewabah di berbagai sektor kehidupan bernegara, ekonomi tetap tumbuh.

Tetapi, hal itu terjadi karena tradisi korup yang berjalan selama ini lebih didominasi dan dinikmati kelompok kelas menengah serta elite yang menggerakkan sektor ekonomi dan politik. Ketidakpastian hukum dalam dunia usaha telah membuka patronase dan ''perselingkuhan'' politisi, aparat, dan pebisnis dalam tradisi suap, lobi, serta negosiasi yang koruptif, sebagaimana yang telah banyak terkuak.

Alhasil, pertumbuhan ekonomi nasional hanya dinikmati masyarakat ekonomi kelas menengah serta elite yang notabene jumlahnya terbatas, tanpa menyentuh nasib rakyat kecil di akar rumput (grassroots).

Angka pertumbuhan ekonomi menjadi timpang, njomplang, dan tidak relevan ketika dibanding realitas sosial. Pertumbuhan ekonomi ternyata tidak memberikan faedah serta kemaslahatan yang riil bagi wong cilik yang selama ini telanjur akrab dengan kemiskinan dan kesengsaraan hidup.

Jika mengikuti logika pasar, pertumbuhan ekonomi yang tidak menyentuh rakyat kecil tentu akan tetap diapresiasi. Ada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi di level menengah dan atas dipercaya akan mampu mendongkrak pertumbuhan di tingkat bawah.

Namun, yang terjadi di Indonesia tidak demikian. Garis kesenjangan itu tidak menemukan titik temu. Kesenjangan tetap berjalan secara linier, bahkan semakin lebar jurang pembeda antara si kaya dan si miskin.

Karena itu, cara pandang kaum revisionis tersebut menjadi layak digugat. Dalam konteks Indonesia, pemikiran tersebut cenderung tidak relevan. Sebab, pada dasarnya, korupsi lebih bersifat merusak ketimbang menguntungkan. Korupsi telah terbukti merampas hak-hak kesetaraan dan keadilan rakyat di hadapan lembaga-lembaga negara.

Secara politik, korupsi juga cenderung melahirkan demokrasi semu (pseudo-democracy), menghambat perkembangan partai-partai politik, serta melecehkan substansi demokrasi. Partisipasi politik publik melemah karena praktik transaksi korupsi hanya dapat dinikmati sekelompok elite oligarkis.

Kepentingan wong cilik (ordinary people) semakin tersingkir dari lingkaran kekuasaan dan perumus kebijakan. Efeknya, kepercayaan publik terkikis, apatis, serta melemahkan legitimasi pemerintah dan instrumen demokrasi seperti yang sudah banyak disuarakan para kritikus.

Dapat disimpulkan, reformasi politik yang terjadi di Indonesia saat ini sejatinya belum melahirkan konsolidasi demokrasi (democratic consolidation). Yang terjadi hanyalah konsolidasi oligarki (oligarchic consolidation).

*) Dosen Universitas Paramadina, 
Jakarta; Alumnus Flinders 
University of South Australia

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Rabu 13 Juni 2012

Pendidikan Metropolis dan “Pendatang”


Pendidikan Metropolis dan “Pendatang”
Oleh
KACUNG MARIJAN*


SEORANG kawan menyampaikan kegundahan hatinya tentang nasib pendidikan anaknya. ''Saya bingung dengan kebijakan pendidikan saat ini,'' katanya membuka pembicaraan. ''Anak saya menyelesaikan SMP-nya di sekolah negeri di Surabaya, tetapi kesulitan melanjutkan sekolah di SMAN di Surabaya hanya karena kami penduduk Sidoarjo,'' lanjutnya.

Tetapi, ketika hendak melanjutkan sekolah di SMAN Sidoarjo juga menemui kesulitan karena anaknya bukan lulusan SMP di Sidoarjo.

Anak kawan itu belajar di sebuah SMPN di Surabaya karena selama ini ikut neneknya yang tinggal di Surabaya. Kakaknya sudah terlebih dahulu menyelesaikan pendidikannya, hingga SMA, juga di Surabaya. Pertimbangannya praktis saja. Neneknya membutuhkan cucu-cucu untuk menemani dan kawan itu tidak memiliki pembantu di rumah.

Belakangan saya baru mengetahui, keluhan serupa juga diungkapkan banyak orang tua yang anaknya sudah mengenyam pendidikan di Surabaya atau yang bermaksud menyekolahkan anaknya di Surabaya. Mereka ramai memperbincangkan di radio dan media lainnya. Mereka terheran-heran dengan kebijakan Pemerintah Kota Surabaya yang memberlakukan kuota satu persen bagi warga non-Surabaya untuk bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah negeri di Surabaya.

Argumentasi yang mengemuka adalah selama ini Pemkot Surabaya telah banyak memberikan ''subsidi'' kepada warga non-Surabaya di sektor pendidikan melalui APBD yang dikeluarkannya. Padahal, banyak warga Kota Surabaya yang masih membutuhkan layanan pendidikan.

Argumentasi itu dalam taraf tertentu memang masuk akal dan ada benarnya. Salah satu di antara tanggung jawab pemerintah daerah adalah berkaitan dengan pemberian layanan pendidikan. Selain berkategori sebagai layanan dasar, urusan pendidikan merupakan salah satu urusan penting yang telah didesentralisasikan kepada daerah sejak Januari 2001. Karena itu, sangat wajar kalau Pemkot Surabaya berusaha melindungi dan mengutamakan warga sendiri dalam memperoleh layanan pendidikan.

Ditumbuhkan ''Pendatang''

Tetapi, argumentasi tersebut menjadi kurang bermakna kalau mempertimbangkan jati diri Surabaya sebagai kota metropolis, tidak seperti banyak daerah lain di Indonesia. Di dalam kota demikian, arus mobilitas dalam banyak hal sangat tinggi, termasuk mobilitas penduduk. Persentase penduduk yang masuk ke dan keluar dari Surabaya lebih tinggi daripada daerah-daerah lainnya.

Dalam konteks semacam itu, pertumbuhan kota lalu tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan internal, melainkan juga oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Coba lihat, siapakah investor utama di Kota Surabaya? Mereka bukan ''orang asli'' Surabaya, melainkan para pengusaha dari luar kota, termasuk dari luar negeri. SDM yang berkualitas juga banyak yang berkategori sebagai ''pendatang''.

Pembayar pajak Kota Surabaya, dengan demikian, bukan hanya didominasi oleh orang yang secara legal diberi label sebagai warga Kota Surabaya. Lihatlah setiap hari, siapa saja yang lalu lalang di pusat-pusat perbelanjaan, di pusat-pusat hiburan, dan restoran. Banyak di antara mereka bukan orang yang secara legal warga Surabaya. Mereka adalah para ''tamu'' yang ikut menggerakkan roda perekonomian Surabaya. Mereka telah banyak membelanjakan uangnya dan membayar pajak untuk Pemkot Surabaya.

Dalam konteks semacam itu, pemberian layanan yang diberikan oleh Pemkot Surabaya lalu tidak bisa hanya semata-mata diberikan kepada penduduk yang secara legal merupakan warganya. Pemberian layanan juga diberikan kepada ''warga Metropolis'' yang memiliki tingkat mobilitas tinggi.

Di antara argumentasi yang dikemukakan oleh para ilmuwan pendukung kebijakan desentralisasi bahwa kebijakan tersebut akan mendorong adanya kompetisi antardaerah. Salah satu implikasi dari kompetisi itu adalah banyaknya penduduk dari daerah lain mencari keuntungan di daerah yang lebih menguntungkan. Misalnya, mereka memindahkan investasinya karena daerah yang lebih baru itu memiliki prospek yang lebih baik dalam berbisnis.

Selain itu, sudah bukan hal yang aneh bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki banyak cabang merotasi karyawannya ke berbagai kota. Para karyawan demikian jelas tidak perlu membuat KTP baru setiap pindah tugas. Hal serupa juga terjadi pada instansi pemerintahan pusat, seperti kepolisian, TNI, kejaksaan, pengadilan, BI, Kemenag, dan instansi lainnya. Pegawai dan pejabatnya jelas tidak perlu membuat KTP baru setiap pindah.

Kontribusi dari Non-Surabaya

Kebijakan kuota satu persen untuk warga non-Surabaya, dalam konteks semacam itu, tidak mencerminkan pemahaman Surabaya sebagai kota metropolis bahwa mobilitas penduduk yang tinggal di dalamnya sangat tinggi.

Bagi orang tua yang memiliki penghasilan tinggi, adanya kebijakan semacam itu bisa jadi bukan masalah yang sangat serius. Di Kota Surabaya terdapat sekolah-sekolah swasta yang memiliki kualifikasi tidak kalah dengan sekolah-sekolah negeri. Orang tua yang tidak mau ribet dengan kuota satu persen bisa cepat dan leluasa memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah demikian.

Tetapi, bagi orang tua yang masuk golongan menengah ke bawah, adanya kebijakan semacam itu jelas sangat memusingkan. Mereka harus memiliki banyak alternatif, seperti tetap menyekolahkan anaknya di tempat asal. Tetapi, alternatif itu juga bukan pilihan yang baik kalau mereka tidak memiliki keluarga di sana.

Untuk itu, Pemkot Surabaya perlu mengkaji kebijakan tersebut lebih serius lagi. Argumentasi bahwa Surabaya telah banyak memberikan ''subsidi'' kepada penduduk non-Surabaya di bidang pendidikan perlu dilengkapi oleh realitas tentang banyaknya kontribusi orang-orang non-Surabaya kepada PAD dan berjalannya roda perekonomian Kota Surabaya.

Selain itu, biaya pendidikan di Surabaya tidak sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah kota. Pemerintah pusat juga memiliki kontribusi yang tidak kecil, seperti berupa BOS dan bangunan sarana dan prasarana pendidikan lainnya.

Yang tidak kalah pentingnya adalah warga negara Indonesia pada dasarnya memiliki hak dan harus diberi hak untuk memperoleh pendidikan di mana saja di wilayah Republik Indonesia. Pemberian otonomi daerah, termasuk otonomi di dalam mengelola pendidikan, tidak serta merta memberikan otoritas kepada daerah untuk menghapus hak demikian.

*) Staf Ahli Mendikbud, Guru 
Besar Universitas Airlangga

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Rabu 13 Juni 2012

Kluster Industri Kapal Rakyat


Kluster Industri Kapal Rakyat
Oleh
DANIEL M. ROSYID*
DAN
ALEXCIO DA SILVA**

SEKALIPUN Gubernur Soekarwo telah mencanangkan visi Jatim sebagai kawasan agrobisnis unggulan di Asia, banyak orang kurang menyadari bahwa provinsi ini sebenarnya adalah provinsi kepulauan. Jatim memiliki sekitar 400 pulau kecil, yang tersebar di pantai selatan Jawa Timur, Kabupaten Gresik, dan Madura, terutama di Kabupaten Sumenep.

Yang sering diberitakan media massa tentang keterasingan pulau-pulau tersebut saat gelombang tinggi adalah Pulau Bawean, kira-kira 80 km di utara Gresik. Pulau penting lainnya adalah Kangean, kira 100 km dari Kalianget. Sebuah pulau yang jauh lebih kecil tapi memiliki peran perdagangan yang penting adalah Sapeken. Interaksi sosial-ekonomi Sapeken dengan Bali sangat tinggi. Kebutuhan daging Jawa Timur dan Bali sebagian disumbang dengan pengangkutan kapal-kapal rakyat ini.

Mereka bergantung pada ketersediaan kapal, baik untuk aktivitas penangkapan ikan laut, penyeberangan, maupun angkutan laut antarpulau. Bertahun-tahun ketersediaan kapal ini diupayakan oleh kelompok-kelompok perajin kapal rakyat tradisional di pesisir utara dan selatan Jawa Timur maupun di Madura. Dinamika para perajin kapal rakyat ini masih amat tinggi. Kapal-kapal rakyat ini bervariasi ukurannya, dari yang kecil dengan panjang 6-8 meter (2-3 GT/
gross tonnage) hingga yang berpanjang 30 meter (100 GT) atau lebih.

Pada saat ini lebih dari 50 kelompok perajin kapal rakyat yang aktif di Jatim. Mereka tersebar mulai Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi, Jember, Tulungagung, Pacitan, Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. Mereka bekerja dengan prasarana dan sarana yang terbatas. Galangan dibuat jika ada pesanan, jadi bersifat sementara; sebagian kecil permanen. Mereka termasuk usaha nonformal, tidak berbadan hukum, sehingga secara finansial terasing dari perbankan.

Industri kapal rakyat ini tak sigap dengan teknologi baru. Tak ada input teknologi baru, terutama dari perguruan tinggi. Motorisasi sejak 1970-an mendorong beberapa penyesuaian konstruksi maupun operasi kapal-kapal tradisional ini. Yang paling penting adalah pengaruh getaran mesin dan baling-baling pada konstruksi lambung kapal. Layar secara perlahan tapi pasti semakin ditinggalkan, apalagi dengan harga solar yang disubsidi. Banyak kapal tradisional ini
over -powered, terlalu besar mesinnya daripada yang sebenarnya dibutuhkan.

Bahan baku kapal rakyat ini sebagian adalah kayu endemik yang hanya ada di daerah tertentu. Yang paling populer tentu saja jati untuk konstruksi lambung dan geladak kapal. Untuk lunas kapal, yang paling populer adalah kayu ulin. Banyak juga kayu jenis merbau, mahoni, meranti merah, nyamplong, dan bangkirai.

Yakinkan Asuransi dan Bank

Akhir-akhir ini mulai banyak digunakan
fibre-reinforced plastic (FRP, lazim disebut fiber), serta penggunaan laminasi kayu (dengan menggunakan lem) untuk mengatasi kelangkaan kayu dan panjang kayu yang terlalu pendek untuk kebutuhan kapal. Sayang, FRP tidak ramah lingkungan, serta perlu produksi masal. ITS sebenarnya pernah memperkenalkan bahan aluminium untuk rumah geladak kapal-kapal ikan untuk Pemkab Jembrana Bali, dan NAD.

Aspek keselamatan kapal belum memperoleh perhatian yang memadai. Banyak kecelakaan kapal rakyat yang tidak dilaporkan. Akibatnya, banyak perusahaan asuransi enggan berurusan dengan mereka, dan bank tidak bisa menerimanya sebagai agunan kredit. Kelayakan konstruksi kapal terutama dicapai melalui
craftsmanship yang baik dan berdisiplin dengan mengacu pada standar konstruksi. Penyediaan pompa kebakaran dan pompa bilga untuk mengatasi kebocoran belum diseriusi. Demikian pula penyediaan life-jacket dan alat keamanan lain.

Untuk memperkuat industri kapal rakyat ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jatim setahun lalu memfasilitasi pembentukan Pokja IKM (Industri Kecil dan Menengah) Kapal Rakyat Jatim. Pokja ini sudah bekerja dengan menyediakan berbagai pelatihan untuk meningkatkan keterampilan para perajin kapal rakyat.

Melihat perkembangannya, sudah saatnya pokja ini dikembangkan menjadi klaster dengan manajemen organisasi klaster yang lebih baik dengan ditunjang sumber daya yang cukup. Dalam klaster ini peran pemerintah daerah sebaiknya bersifat endogen. Artinya, pemda menjadi bagian terpadu dari klaster ini, terutama melalui dukungan kebijakan dan lobi-lobi serta promosi untuk meningkatkan kepercayaan dan permintaan masyarakat.

Klaster ini akan bekerja sebagai sebuah jejaring (
network) dengan hubungan antarsimpul yang lentur dan dinamik, tidak hierarkis, apalagi birokratik. Ada peran-peran sindikasi, pemasok konten, distributor, pengguna antara maupun pengguna akhir. Kantor klaster bertindak sebagai sindikator yang menyusun program dan agenda, melakukan lobi-lobi, promosi, serta mengalokasikan sumber daya dan informasi.

Wakil disperindag, wakil diskanla (dinas perikanan dan kelautan), wakil asosiasi seperti pokja dan Kadin, serta akademisi bisa menjadi pengelola kantor klaster ini. Para pemasok konten terdiri atas pengusaha kayu, cat, dan komponen kapal. Juga lembaga litbang dan diklat (seperti universitas dan politeknik), lembaga sertifikasi dan standar, perusahaan asuransi dan perbankan. Ada juga perajin, mandor, konsultan, dan tenaga ahli. Para pengguna antara adalah galangan kapal rakyat. Sedangkan pengguna akhir adalah perusahaan penangkapan ikan, pelayaran antar pulau dan wisata bahari, serta pemda.

Klaster porterian industri kapal rakyat Jatim ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing industri kapal rakyat di era globalisasi sekaligus sebagai strategi pembangunan wilayah. Klaster ini dapat dipahami sebagai opsi baru program agro-minapolitan yang sudah berjalan selama ini yang difasilitasi Diskanla Jatim. Lokasi potensial untuk klaster ini adalah Lamongan, Pasuruan, Banyuwangi, Bangkalan, dan Sumenep.

Program pengadaan 1.000 kapal oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berlangsung hingga beberapa tahun ke depan perlu diintegrasikan dalam agenda penguatan klaster industri kapal rakyat ini. Klaster IKM Kapal Rakyat Jatim dengan demikian akan ditransformasikan untuk memasuki era masyarakat ekonomi ASEAN dengan menjadi pemasok kapal-kapal kayu, dan fiber secara nasional, bahkan regional. Kloplah dengan visi Pakde Karwo di atas.
*) Ketua Persatuan Insinyur 
Indonesia Cabang Surabaya
**) Kepala Bagian Industri 
Maritim Disperindag Jatim
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Selasa 12 Juni 2012