Thursday, June 7, 2012

Iklanisasi Pengobatan Alternatif


Iklanisasi Pengobatan Alternatif
Oleh
BADRUL MUNIR*



KALAU kita perhatikan iklan di televisi, iklan pengobatan alternatif sangat marak. Mulai iklan alat kesehatan alternatif (sandal, bantal, pelangsing, dan semacamnya), pengobatan herbal, pijat, bahkan pengobatan supranatural. Begitu banyak televisi lokal sampai televisi swasta nasional yang terkenal, bahkan TVRI, ikut mengiklankan pengobatan alternatif ini .

Iklan pengobatan alternatif tersebut sepertinya menjadi salah satu sumber pendapatan utama televisi (dan media umumnya). Tentu harganya juga mahal. Hal ini dapat dilihat dari bintang iklan yang merupakan figur publik nasional, waktu iklan yang termasuk prime time, sampai durasi iklan yang lama. Bahkan, sering dilakukan live talk show dengan narasumber penyedia pengobatan alternatif.

Menurut data Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) 2005 merujuk penelitian yang dilakukan AC Nielsen; belanja iklan pengobatan alternatif di berbagai media di Indonesia mencapai Rp 136 miliar, suatu angka yang fantastis. Bahkan, iklan pengobatan alternatif masuk dalam 10 iklan terbanyak dan mengalahkan iklan sepeda motor dan telepon seluler. Kalau melihat tren pada 2012, rasanya angka belanja akan jauh lebih tinggi.

Bila dilihat dari satu sisi, maraknya iklan pengobatan alternatif tersebut akan memberikan banyak pilihan masyarakat dalam menentukan pilihan cara pengobatan terhadap penyakit mereka. Tetapi, sebagai orang yang berkecimpung di bidang medis, iklan ini perlu kita cermati.

Ada beberapa alasan yang menjadi dasar. Pertama, potensi membodohi masyarakat. Adalah sangat sulit diterima akal sehat bahwa sebuah terapi pijat, bantal, atau sandal diklaim bisa menyembuhkan suatu penyakit stadium terminal, seperti kanker ganas, stroke berat, kencing manis, dan lainnya. Mereka meyakinkan pemirsa televisi dengan testimoni para pasien yang telah "sembuh" dari penyakit tersebut. "Setelah memakai obat/alat ini, kanker ganas saya yang stadium lanjut langsung sembuh," kata pasien yang mengaku baru sembuh.

Testimoni semacam itu, menurut saya, merupakan pembohongan publik. Bukan hanya testimoni tersebut bisa direkayasa, tetapi juga bisa membuat salah persepsi tentang makna sakit dan penyakit. Akibatnya, banyak penderita tumor/penyakit kronis berhenti melakukan pengobatan di fasilitas kesehatan dan beralih ke pengobatan alternatif. Sedihnya, setelah pengobatan alternatif gagal, mereka kembali ke dokter dengan tumor/penyakit masuk stadium lanjut yang kian mempersulit pengobatannya.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1787/2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan, tidak boleh mengiklankan pelayanan kesehatan dengan cara testimoni (pasal 5 huruf n). Padahal, kalau kita cermati, hampir seluruh iklan pengobatan alternatif di TV menggunakan testimoni yang berulang-ulang dan cenderung membohongi masyarakat.

Kedua, harga yang relatif mahal. Adalah sangat tidak etis sebuah obat/alat pengobatan alternatif yang diklaim bisa menyembuhkan penyakit dijual dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Padahal, obat/alat tersebut belum terbukti benar menyembuhkan. Tentu ini bisa berpotensi menipu masyarakat. Hal ini berbeda dengan iklan obat penurun panas seperti parasetamol dengan berbagai merek dagang yang memang terbukti bisa menurunkan panas dan harga sangat terjangkau oleh masyarakat. Semakin melambungnya harga alat/obat pengobatan alternatif disebabkan semakin banyak biaya promosi di berbagai media massa, khususnya televisi.

Kondisi psikologi orang sakit sangat berbeda dengan orang sehat. Bila mengetahui suatu cara pengobatan yang dianggap bisa mengurangi penderitaannya, dia akan mengusahakannya dengan berbagai cara. Padahal, harganya sangat mahal dan sulit didapatkannya. Hal ini menggerakkan instink bisnis para penyedia pengobatan alternatif sehingga mereka berani membayar mahal untuk iklan di televisi karena yakin keuntungan akan kembali dalam waktu cepat.

Ketiga, sering iklan pengobatan alternatif dalam bentuk talk show membahas penyakit dengan bahasa vulgar dan cenderung erotis. Misalnya, kejantanan, lebih greng, dan bahasa vulgar lain yang tidak pantas ditonton anak-anak. Padahal, acara tersebut sering ditayangkan pada jam anak-anak di bawah umur bebas menonton. Sering pula talk show itu lebih cenderung menyugesti pemirsa untuk datang ke tempat praktik dan bukan memberikan solusi atas penyakit yang dikonsultasikan pemirsa televisi.

Pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia harus jeli dan memberikan peringatan tegas terhadap televisi yang mengiklankan pengobatan alternatif yang berpotensi membodohi masyarakat. Langkah ini bukan dimaksudkan untuk menutup pintu rezeki para penyedia pengobatan alternatif, tetapi lebih ke arah melindungi masyarakat dari informasi kesehatan yang berpotensi membodohi dan membohongi.

Para pemilik stasiun televisi dan media pun diharapkan membantu meningkatkan kecerdasan masyarakat, khususnya di bidang kesehatan, dengan selektif memilih iklan yang baik dan yang tidak baik. Diharapkan media massa tidak hanya mengejar keuntungan bisnis dengan mengorbankan idealisme media yang pada akhirnya merugikan masyarakat. Kita perlu mengingatkan bahwa frekuensi yang dipakai siaran televisi adalah milik publik.

Pengobatan alternatif/tradisional juga merupakan warisan budaya Indonesia yang luhur sehingga perlu dijaga dengan baik. Caranya dengan mengembangkan dan menelitinya secara ilmiah agar semakin berkembang dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Bukan dengan cara mengiklankan secara membabi buta dan mencari keuntungan material semata di balik pembodohan dan penipuan.
  *) Dokter, Sedang studi Program 
Pendidikan Dokter Spesialis 
Ilmu Penyakit Saraf FK Unair


Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Kamis 7 Juni 2012

No comments:

Post a Comment