Aborsi Liar Kian Berani
Oleh
LAURENTIUS L. SUTRISNO*
“HARGA paket obat untuk usia kandungan di bawah tujuh minggu Rp
700.000, untuk usia kandungan 8-12 minggu Rp 1,5 juta. Jika perlu
tindakan bidan, biayanya Rp 3,5 juta untuk usia di bawah 3 bulan dan Rp
4,5 juta untuk usia 3-6 bulan”. Aborsi liar! Inilah hasil akhir
investigasi saya via SMS untuk menjawab ada apa di balik iklan “Telat
Haid” di tiang listrik dan rambu lalin di sepanjang jalan Raya Janti ke
arah Solo, Jogjakarta. Iklan tidak pro-life itu dilengkapi nomor ponsel.
Aborsi jarang mendapat pemberitaan heboh. Tetapi, pengguguran janin
ini menjadi bahaya laten yang mengerikan. Prof Dr dr Wimpie Pangkahila
SpAnd, ketua Perhimpunan Dokter Spesialias Andrologi Indonesia
(Persandi), baru-baru ini menyebut jumlah aborsi di Indonesa per tahun
mencapai 2,5 juta kasus! Data itu sangat
mengerikan, tetapi masuk akal karena menjamurnya iklan semacam “Telat
Haid” dan mudahnya mendapatkan “jasa” aborsi tanpa penindakan dari
aparat hukum.
Istilah aborsi (Latin, abortio) dipahami sebagai tindakan pengeluaran
janin usia di bawah enam bulan dari kandungan yang mengakibatkan
kematian janin.
Ada beberapa jenis aborsi. Abortus provocatus, yaitu pengguguran yang
disengaja secara langsung untuk menghentikan kehidupan janin dengan
berbagai macam cara. Aborsi therapeutics yang terpaksa dilakukan demi
menyelamatkan nyawa sang ibu yang mengandung.
Ada lagi aborsi eugenic, yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan
karena janin dianggap akan terlahir cacat atau karena jenis kelamin sang
janin tidak sesuai dengan yang dikehendaki kedua orang tua. Memang ada
tradisi-budaya tertentu yang mengunggulkan jenis kelamin tertentu dan
merendahkan jenis kelamin tertentu.
Berdasar hasil wawancara, jalan pintas aborsi ditempuh karena alasan
ekonomi, malu karena belum menjadi pasangan suami istri yang sah, dan
belum siap menjadi orang tua karena masih kuliah atau sekolah.
Mulainya Kehidupan
Seiring kemajuan teknologi di bidang kedokteran, khususnya fetologi
(ilmu janin), sejak 1970-an ada perubahan mendasar tentang paham dan
perlakuan terhadap janin. Yakni, ditemukannya alat canggih pendeteksi
janin seperti ultrasound imaging (USG). Sebelum era 70-an, janin
dianggap sebagai bagian dalam rahim semata. Sejak ada USG yang mampu
mendeteksi jantung janin, jenis kelamin, suara janin, fungsi otak,
bahkan penyakit janin, orang kemudian mulai berpikir apakah janin sudah
bisa disebut sebagai manusia?
Terlebih dokter fetologi Bernard Nathanson (bisa dilihat di YouTube)
memiliki rekaman (USG) aborsi. Yakni, saat digugurkan si janin
“menjerit-jerit kesakitan” karena tubuhnya dipotong-potong oleh gunting!
Perlahan-lahan, ada keyakinan bahwa janin adalah manusia dan dia adalah
anggota masyarakat seperti manusia yang lain, hanya dibedakan tempat
tinggal. Williams Obstetric (1980) menulis bahwa janin adalah pasien
kedua. Artinya, janin harus diperlakukan seperti manusia lain dan tidak
bisa dimusnahkan.
Apa Kabar, Pak Polisi
Beberapa negara yang melegalkan aborsi memiliki kebijakan
berbeda-beda. Ada yang memiliki kebijakan lebih liberal dengan
memperbolehkan aborsi di bawah 20 minggu usia kehamilan. Tetapi, ada
juga negara yang melegalkan aborsi dengan berbagai ketentuan; hanya
memperbolehkan aborsi jika hasil kandungan adalah karena pemerkosaan,
inses, dan kelainan janin yang parah atau untuk melindungi kehidupan
ibu.
Indonesia merupakan negara antiaborsi kendati undang-undang tentang
batasan aborsi belum begitu jelas dan kontradiksi. Sanksi hukum kepada
pelaku aborsi (wanita yang mengandung, dokter-tabib dan orang-orang yang
mendukung) sebenarnya sudah jelas. Misalnya, pasal 299 yang menyebutkan
bahwa barang siapa melakukan aborsi akan dihukum minimal lima tahun
penjara. Pasal 347: seorang dokter atau dukun yang melakukan aborsi dan
mengakibatkan meninggalnya ibu yang mengandung akan dikenai hukuman
minimal 15 tahun penjara dan akan dicabut izin praktiknya.
Sangat ironis ketika saya berkisah tentang investigasi saya terhadap
iklan “Telat Haid” kepada dua polisi yang saat itu bertugas di
Malioboro, Jogjakarta. Mereka menjawab, “Dalam hal ini, kami tidak bisa
berbuat apa-apa, Mas.” Apakah sang penegak hukum tidak mengerti hukum
dan sanksi tentang aborsi? Apakah mereka lupa cara melacak melalui nomor
ponsel, padahal mereka bisa melacak keberadaan para teroris dengan
nomor ponsel berganti-ganti? Lebih ironis, tempat iklan itu di
Jogjakarta, ikon peradaban budaya negeri ini.
Tak terperikan kengerian kejahatan aborsi. Lebih kejam daripada homo
homini lupus, karena manusia mematikan nurani, membinasakan darah
dagingnya sendiri. Aborsi adalah puncak persoalan kemanusiaan
bertali-temali. Dalam kasus pasangan di luar nikah, aborsi merupakan
efek perilaku hedonis. Bahkan, sebenarnya wanita sendiri berisiko nyawa
atau kerusakan organ pascaaborsi.
Aborsi yang dilakukan karena alasan kemiskinan menunjukkan perilaku
yang tidak bertanggung jawab, tidak terencananya pembentukan keluarga.
Mestinya ini bisa diselesaikan dengan solidaritas antarsesama, karena
tidak sedikit orang yang berlimpah kekayaan. Bila terjadi aborsi, apakah
lingkungannya tidak ikut “berdosa”?
Aborsi akibat pergaulan bebas menunjukkan lemahnya keluarga sebagai
agen utama pendidikan moral maupun agama. Orang tua merasa cukup dengan
membekali anak-anak dengan gadget atau materi untuk kebutuhan dan gaya
hidup sehari-hari. Merapuhnya keluarga sebagai agen nilai dan moral ini
makin menjadi-jadi.
Keluarga yang kuat adalah negara yang kuat. Pemerintah perlu
menyediakan anggaran khusus kepada keluarga-keluarga yang tidak mampu
membiayai biaya persalinan dengan biaya yang murah atau bahkan gratis.
Yang lebih penting, pembekalan atau pembinaan persiapan sebelum
perkawinan perlu dilakukan. Di sekolah juga perlu digencarkan
sosialisasi bahaya aborsi.
Keluarga adalah benteng utama pendidikan. Dalam keluarga inilah
pendidikan moral dimulai. Peran orang tua sangat penting dan tidak akan
tergantikan. Orang tua yang lalai, bahkan lengah sedikit saja, akan
pendidikan moral anak akan sangat memengaruhi perkembangan pribadi anak
menuju tidak humanis. Kembalikan fungsi luhur keluarga. Jangan biarkan
arus gaya hidup “mendidik” anak-anak kita!
*) Aktivis Indonesia Pro-Life.
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa
Pos, Selasa 5 Juni 2012
No comments:
Post a Comment