Manuver
Biaya Politik ala Nasdem
Oleh
MUNDZAR FAHMAN*
ADA ide ''edan-edanan'' dari Partai
Nasional Demokrat alias Nasdem dalam menghadapi Pemilu 2014. Partai politik
baru itu akan mendanai para kadernya yang maju sebagai calon anggota
legislatif. Anggaran yang disiapkan Rp 3 triliun. Setiap calon didanai Rp 5 miliar
hingga Rp 10 miliar. (Jawa Pos 25 Juni 2012).
Ada yang menilai, ide itu bagus. Alasannya, calon yang potensial terpilih,
tetapi kurang memiliki amunisi (dana), bisa dibantu. Selain itu, dengan adanya
dana sebesar itu, yang akan dibelanjakan di sekitar masa kampanye pemilu,
berarti uang yang beredar di masyarakat juga sangat besar. Masyarakat bakal
ikut kecipratan berkah di masa kampanye pemilu. Lagi pula, dana kampanye partai
akan lebih mudah dikontrol.
Tetapi, ada sisi-sisi mengkhawatirkan dari gagasan Nasdem itu. Pertama,
rasanya mustahil partai bakal menggratiskan semua dana yang sudah dikucurkan
untuk calegnya tersebut. Partai akan meminta ganti kepada calegnya, seluruhnya
atau sebagian (misalnya, 50 persen). Baik ganti dalam bentuk duit cash yang
bisa diangsur maupun ganti dalam bentuk proyek-proyek dari caleg selama
menjabat kepada partainya.
Ambil contoh, Partai Nasdem mendanai caleg A sebesar Rp 5 miliar. Setelah si
caleg terpilih, partai mewajibkan kadernya mengembalikan separo. Berarti, Rp 2,5
miliar dengan cara diangsur selama lima tahun menjabat. Jika itu yang terjadi,
kader partai yang terpilih harus mengangsur kepada partainya sekitar Rp 500
juta per tahun atau sekitar Rp 42 juta per bulan.
Nah, jika gaji anggota DPR selama ini sekitar Rp 65 juta per bulan, tentunya
sangat berat bagi si kader partai jika harus menyisihkan Rp 42 juta dari
gajinya itu untuk dibayarkan kepada partainya. Apalagi jika dana yang
dikucurkan partai mencapai Rp 10 miliar untuk seorang calon dan partai meminta
ganti seratus persen. Tentu, bisa dibayangkan betapa beratnya bagi kader untuk
bisa membayar itu jika hanya mengandalkan dari gaji resmi.
Lalu, bagaimana jika si kader tidak perlu mengganti dengan duit cash, tetapi
dengan proyek? Menurut saya, dampaknya kurang lebih sama. Artinya, sama-sama
berat bagi si kader. Mengapa?
Jika pengembalian kepada partai tersebut dalam bentuk proyek, si kader akan
sibuk merekayasa proyek. Akhirnya, kader partai yang terpilih di DPR tidak
punya waktu dan pikiran yang cukup untuk memikirkan bangsa dan rakyat yang
sudah memilihnya. Kader partai sibuk mencari dan merekayasa proyek-proyek untuk
upeti partainya. Akhirnya, yang dipikirkan kader itu hanya proyek, proyek, dan
proyek. Tiada hari tanpa berpikir tentang proyek untuk partainya.
Kedua, dengan didanai segede itu oleh partai, sang kader akan
menjadi terlalu bergantung kepada partainya. Kader merasa berutang budi yang
sangat besar kepada partainya. Kader bakal selalu bersikap sendiko dhawuh,
atau sami'na wa atha'na, patuh secara mutlak kepada kehendak partainya.
Kader terlalu takut di-recall.
Kondisi seperti itu, tentu saja, sangat mengkhawatirkan. Jika gaji anggota
dewan banyak tersedot untuk membayar utang kepada partai sehingga mengalami
defisit keuangan, ujung-ujungnya mereka akan menggunakan jurus dewa mabuk agar
bisa memenuhi kekurangannya. Jika sudah seperti itu, lalu apa yang bakal
terjadi? Segala cara akan dilakukan, termasuk korupsi. Menurut auditor BPK-RI
Lukman Hakim, ada empat faktor yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana
korupsi. Yaitu, faktor kebutuhan, tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi.
Sekarang ini sudah bukan rahasia lagi bahwa wakil rakyat kita terus mencari
celah untuk memenuhi kebutuhan mereka, sekaligus untuk lebih mempertebal
kantong mereka. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah memperbanyak
kunjungan kerja, baik ke luar negeri maupun dalam negeri. Kegiatan bimtek
(bimbingan teknis) untuk meningkatkan kualitas diri mereka juga dimanfaatkan
untuk mempertebal kantong. Di daerah-daerah, dana jasmas (jaring aspirasi
masyarakat) pun digunakan untuk membuat rekening mereka kian gendut. Di DPR,
diduga ada praktik bagi-bagi proyek senilai Rp 7,7 triliun yang dilakukan oleh
anggota dewan. Salah satu terdakwanya adalah Wa Ode Nurhayati, anggota dewan.
Di DPRD Surabaya diduga ada kasus penyimpangan dana bimtek untuk anggota dewan.
Di DPRD Bojonegoro diduga ada kasus penyunatan dana jasmas yang melibatkan
anggota dewan setempat.
Yang juga layak dikhawatirkan dari ide ''gila-gilaan'' Nasdem tersebut, pendanaan
yang besar dari partai untuk calegnya itu mengesankan Nasdem menyetujui praktik
money politics di masyarakat.
Realitas di sebagian masyarakat selama ini, warga melakukan transaksional dalam
pemilu. Mereka mau memberikan suara di TPS (tempat pemungutan suara) jika suara
mereka dihargai dengan uang. Ungkapan: ''Nek ono duite yo budhal (Jika
ada uangnya, ya berangkat ke TPS)'' sudah akrab di telinga masyarakat. Ungkapan
itu tidak sekadar joke atau celetukan, tetapi tenanan (serius).
Nah, Nasdem seolah memahami betul realitas yang terjadi di dalam masyarakat
kita selama ini. Mestinya Nasdem berusaha meniadakan atau sekadar mengurangi
itu. Bukan malah ikut menyuburkan.
Tetapi, rencana Nasdem itu baru sebatas wacana. Memang belum waktunya
direalisasikan. Juga belum tentu akan dilaksanakan.
*) Doktor Ilmu Politik,
Berpengalaman jadi Wartawan
No comments:
Post a Comment