Jihad
Koin untuk KPK
Oleh
SITI MARWIYAH*
''BANGSA penakut tidak boleh merdeka dan
tidak berhak merdeka. Ketakutan adalah penasihat yang sangat curang untuk
kemerdekaan.''
Demikian penegasan Andre Colin. Itu mengingatkan setiap warga bangsa supaya tak
bermental penakut. Kalau suatu bangsa masih lebih sering menunjukkan mental
penakut, bangsa tersebut akan terus terjajah alias tidak pantas merdeka.
Negeri ini sudah sekian lama ''dijajah'' koruptor, dibikin porak poranda atau dibuat banyak kehilangan keberdayaan. Rakyat masih bersahabat erat dengan kemiskinan, kefakiran, kekurangan gizi, dan kelaparan, misalnya, karena tak lepas dari peran kolonialisasi yang dilakukan koruptor.
Negeri ini sudah sekian lama ''dijajah'' koruptor, dibikin porak poranda atau dibuat banyak kehilangan keberdayaan. Rakyat masih bersahabat erat dengan kemiskinan, kefakiran, kekurangan gizi, dan kelaparan, misalnya, karena tak lepas dari peran kolonialisasi yang dilakukan koruptor.
Koruptor membuat buram wajah negeri ini. Tidaklah mutlak kesalahan koruptor,
tetapi juga karena kesalahan kita yang bermental penakut dalam melawan
koruptor. Koruptor berhasil menyebarkan ketakutan yang mereduksi independensi
dan mengooptasi moralitas elemen-elemen strategis sosial serta struktural.
Salah satu instrumen politik yang sering digunakan komunitas dewan, minimal
dijadikan senjata untuk ''memengaruhi'' institusi strategis semacam KPK, adalah
soal aggaran. Besaran anggaran dan realisasinya memang bisa ditempatkan sebagai
instrumen memperkuat atau memperlemah lembaga-lembaga yang dianggap bisa
membuat mereka ''susah''. Kecurigaan ini logis saja. Sebab, kehadiran KPK telah
banyak menampar citra dewan lantaran banyaknya anggota dewan yang menjadi
tersangka, terdakwa, terpidana, hingga narapidana, termasuk yang menjadi buron.
Belum lama ini, survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menyatakan bahwa DPR
merupakan lembaga terkorup. Menurut anggota Komisi VII DPR Dewi Ariyani, ada
beberapa faktor yang membuat seorang anggota DPR melakukan korupsi. Pertama,
niat atau serakah. Kedua, sistem yang membuka peluang. Ketiga, kebutuhan, baik
dari diri sendiri maupun parpol. Keempat, tekanan.
Kondisi dewan seperti itulah yang membuat mereka terposisikan secara tidak
langsung sebagai musuh KPK. Indikasi disharmonisasi hubungan antara dewan dan
KPK dapat terbaca melalui pola pelemahan yang dikreasikan dewan seperti
pemangkasan atau ''pengambangan'' anggaran.
Sejak lima tahun terakhir, permintaan anggaran untuk pembangunan gedung baru
KPK tak pernah disetujui DPR. Bahkan, anggota Komisi III DPR Aziz Syamsuddin
menyatakan, anggaran baru akan diberikan jika status KPK berubah menjadi
lembaga tetap, bukan ad hoc.
Menanggapi statemen itu, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan bahwa
pihaknya akan menggalang koin pembangunan gedung dari kalangan masyarakat. Akibat
panggilan yang menggugah kesadaran nurani ini, sejumlah elemen akhirnya
berbondong-bondong mengirimkan ''koin'' ke KPK (Jawa Pos, 26 Juni 2012).
Busyro memang meyakini bahwa masyarakat pasti akan terus tergerak untuk
membantu. KPK akan lebih berfokus pada pembangunan fondasi birokrasi negara
berbasis sistem integritas nasional (SIN) yang sejalan dengan PP No 55 Tahun
2012 sekaligus mencegah korupsi secara sistemik, integral, dan komprehensif.
Problem sepele lebih sering dijadikan dalih oleh dewan untuk menolak penguatan
KPK. Misalnya, stigma bahwa KPK hanya lembaga ad hoc. Padahal, dalam UU
No 30 Tahun 2002 tentang KPK bahkan tidak disebutkan bahwa KPK merupakan
lembaga ad hoc. Dalam pasal 3 UU No 30 Tahun 2002, KPK justru ditegaskan
sebagai lembaga negara independen.
Pejabat KPK sudah mengungkapkan, gedung yang saat ini ditempati sudah tak
memadai untuk menampung seluruh pegawai KPK yang mencapai 730 orang. Saat ini,
gedung itu ditempati 650 orang. Sisanya, mereka terpaksa berkantor di dua
gedung lain. Padahal, gedung tersebut hanya berkapasitas 350 orang.
Pertengahan Maret lalu, KPK meminta Komisi III DPR menghapus tanda bintang atau
memberikan persetujuan atas rencana pembangunan gedung baru KPK. Total biaya
pembangunan gedung baru itu mencapai Rp 225,7 miliar.
Ketika nanti gedung KPK memang bisa didirikan berkat sumbangan sukarela
masyarakat, tuntutan moral terhadap KPK semakin besar. Tidak berarti ketika
gedung itu dibangun dengan dana negara tuntutan terhadap kinerja KPK tidak
besar. Tetapi, karena sudah berani menerima kontribusi finansial dari rakyat,
KPK juga wajib menunjukkan kinerjanya yang bersifat sangat istimewa (extra-ordinary)
dalam penanggulangan korupsi.
Pemberian koin oleh rakyat kepada KPK merupakan apresiasi publik yang wajib
dibaca secara cerdas oleh KPK. Publik tidak menginginkan politik perlawanan
terhadap koruptor ini berjalan setengah hati, apalagi diskriminatif. Institusi
para mujahid koruptor ini tidak boleh melemah hanya gara-gara urusan gedung.
Masyarakat sangat cinta KPK. Kita tentu belum lupa ketika ''sejuta Facebookers''
ikut memengaruhi alur jagat peradilan saat KPK (''cicak'') berhadapan dengan
''buaya'' (pembesar kepolisian).
Keinginan publik dalam kasus tersebut dapat dibaca sebagai bentuk ''jihad''
terhadap koruptor atau siapa pun yang ingin mengayomi dan membingkai koruptor.
Publik tidak menghendaki negeri ini terus-menerus diacak-acak atau dibuat
semakin sengkarut oleh ulah koruptor. Masyarakat sudah geram kepada elite
politik yang menebar duri bagi upaya pembersihan penyakit penyalahgunaan
kekuasaan. Seperti yang ditulis Mahmoud Husen (2010), masyarakat yang berani
melakukan reaksi terhadap koruptor merupakan gambaran masyarakat yang tidak
merelakan kehancuran konstruksi peradaban.
Koin untuk gedung KPK tidaklah semata ditujukan untuk memperkuat sarana fisik
bagi kinerja KPK, melainkan sebagai dukungan moral. Ini merupakan dukungan
fundamental bahwa KPK wajib serius dan pantang lemah syahwat dalam menghadapi
segala bentuk ulah koruptor.
*) Dekan Fakultas Hukum Universitas
dr Soetomo Surabaya, Pengurus Asosiasi
Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi DPD Jatim
No comments:
Post a Comment