Strategi
Berdakwah ala sang Pencerah
Oleh
BIYANTO*
SIDANG tanwir Muhammadiyah yang
dilaksanakan di Bandung usai. Din Syamsuddin dalam sambutan pembukaan
mengatakan bahwa spirit yang ingin diusung dalam sidang tanwir adalah bekerja
dan bekerja. Jika dikaitkan dengan makna kata tanwir yang berarti pencerahan (enlightenment), agenda tahunan Muhammadiyah ini
jelas menekankan pentingnya beramal sosial yang mencerahkan. Itu berarti sesuai
dengan jati dirinya, Muhammadiyah ingin menjadi gerakan dakwah amar makruf nahi
mungkar yang mencerahkan.
Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah hingga kini telah menunjukkan kiprah yang
membanggakan. Tetapi, harus diakui bahwa dalam tingkat tertentu kiprah dakwah
Muhammadiyah belum mampu menjangkau ke semua lapisan masyarakat. Hal itu sesuai
dengan penilaian Mitsuo Nakamura yang pernah menyebut Muhammadiyah sebagai
gerakan perkotaan (urban phenomenon).
Kesimpulan itu didasarkan kepada fakta bahwa dakwah Muhammadiyah terasa mudah
diterima masyarakat perkotaan, tetapi sulit menembus basis massa di pedesaan.
Meski kini dakwah Muhammadiyah telah menunjukkan hasil sebagaimana tampak dalam
perkembangan jumlah ranting di desa/kelurahan, kemasan dakwah Muhammadiyah
tetap membutuhkan sentuhan. Kalangan insider secara jujur juga mengakui bahwa
pengemasan (packaging) dakwah Muhammadiyah harus
diperbaiki agar mudah diterima masyarakat. Karena itu, ada keinginan kuat untuk
mengubah strategi dakwah dengan menggunakan pendekatan kebudayaan. Model dakwah
tersebut dikenal dengan dakwah kultural. Secara diametral, dakwah kultural
dapat dibandingkan dengan dakwah struktural yang menekankan aspek larangan dan
ancaman berdasar ketentuan akidah, akhlak, ibadah, dan fikih.
Keinginan menerapkan pendekatan kultural dalam menyampaikan dakwah kepada
masyarakat jelas memiliki arti penting bagi perkembangan Muhammadiyah. Sebab,
dakwah Muhammadiyah selama ini dinilai kurang mengakomodasi budaya lokal.
Bahkan, juru dakwah (mubalig) Muhammadiyah sering kali menghantam budaya lokal
sebagai perilaku yang berbau takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Dengan menggunakan
pendekatan yang bercorak kultural, itu berarti adat, tradisi, dan budaya lokal
harus dipelajari untuk dijadikan media berdakwah.
KH Ahmad Dahlan, sang pencerah pendiri Muhammadiyah, sejatinya dapat dijadikan
teladan dalam menyikapi adat, tradisi, dan budaya lokal. Ahmad Dahlan
digambarkan sebagai figur yang sangat tegas sekaligus akomodatif terhadap
budaya lokal. Beliau telah meluruskan arah kiblat Masjid Keraton Jogjakarta,
mengadakan salat 'idain
(Idulfitri
dan Iduladha) di lapangan, menyampaikan khotbah dengan bahasa
lokal, dan membentuk badan amil zakat yang sebelumnya merupakan hak prerogatif
kiai. Karena ketegasan beliau dalam meluruskan pemahaman agama disertai
penggunaan strategi dakwah yang tepat, Muhammadiyah berkembang dengan pesat.
Seni
Itu Mubah
Dakwah kultural menuntut kreativitas mubalig tatkala berhadapan dengan budaya
lokal. Pada konteks itulah, mubalig Muhammadiyah perlu memiliki pemahaman yang
komprehensif tentang seni dan budaya. Sebab, rasa seni sebagai penjelmaan sifat
keindahan dalam diri manusia merupakan fitrah yang dianugerahkan Tuhan sehingga
harus dipelihara dengan baik sesuai dengan jiwa ajaran agama. Keputusan
Musyawarah Nasional (Munas) Ke-22 Majelis Tarjih pada 1995 telah menetapkan
bahwa karya seni itu hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengakibatkan fasad
(kerusakan), dlarar (berbahaya), 'isyyan (kedurhakaan), dan ba'id 'anillah (terjauhkan dari Allah). Itu
berarti aktivis Muhammadiyah seharusnya tidak boleh antipati terhadap seni dan
budaya.
Dakwah kultural juga harus menempatkan kelompok abangan, sinkretik,
tradisional, dan modern sebagai sasaran berdakwah. Sebab, harus dipahami,
tingkat religiusitas seseorang merupakan sebuah pergumulan yang tidak pernah
selesai. Dengan demikian, setiap kelompok keberagamaan di masyarakat harus
dilihat sebagai komunitas yang sedang berproses menjadi pemeluk agama yang
baik.
Karena itu, misi dakwah harus dikemas secara mudah dan menggembirakan. Jika
model dakwah tersebut yang dikembangkan, Muhammadiyah akan menjadi tenda besar,
tempat berhimpun bagi berbagai aliran/mazhab keagamaan. Muhammadiyah juga
berpotensi menjadi rumah yang ramah bagi kelompok abangan dan sinkretis yang
selama ini kurang dapat menerima kemasan dakwah Muhammadiyah.
Pendekatan kebudayaan jelas bertujuan menjadikan dakwah lebih lentur dan
fleksibel. Untuk mencapai tujuan itu rasanya Muhammadiyah perlu
mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai
organisasi sosial keagamaan yang puritan dengan menempatkan moto kembali kepada
Alquran dan Hadis (al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah). Dalam praktiknya, moto tersebut
berpotensi untuk diartikulasikan secara berlebihan dalam memandang adat,
tradisi, dan budaya lokal.
Kedua, masih kuatnya resistansi sebagian kalangan Muhammadiyah terhadap adat,
tradisi, dan budaya lokal. Bahkan, secara jujur harus diakui bahwa di kalangan
Muhammadiyah tema dakwah menghapus TBC masih sangat dominan. Model dakwah
anti-TBC barangkali sangat relevan bagi aktivis, namun dapat dipandang kurang
cocok untuk kalangan abangan dan sinkretis.
Ketiga, hingga kini Muhammadiyah belum memiliki media yang cukup untuk
mengembangkan dakwah, khususnya media yang berkaitan dengan seni dan budaya.
Beberapa pengamat bahkan ada yang menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan anti
kebudayaan.
Karena itulah, mubalig Muhammadiyah sebagai ujung tombak dakwah harus dibekali dengan wawasan yang luas agar mampu melihat seni dan budaya dari sisi dalam (from within).
Karena itulah, mubalig Muhammadiyah sebagai ujung tombak dakwah harus dibekali dengan wawasan yang luas agar mampu melihat seni dan budaya dari sisi dalam (from within).
*) Dosen IAIN Sunan Ampel
Dikutip dari
Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 25 Juni 2012
No comments:
Post a Comment