Mengapresiasi Siapa pun Pelestari Budaya
Oleh
FREDDY
H ISTANTO
PUBLIK Indonesia tersulut lagi ketika media gencar memberitakan klaim tarian Tor-tor dan Gondang Sambilan oleh Malaysia. Mahasiswa di Medan benar-benar menyulut foto PM Malaysia. Spanduk-spanduk bertebaran mengecam Malaysia. Mereka menuntut Malaysia agar menghentikan semua klaim atas budaya Indonesia. Di jejaring sosial seperti di Twitter dan Facebook, caci maki tidak kalah serunya. Ada catatan, 2007–2012, Malaysia tujuh kali mengklaim budaya Indonesia sebagai warisan budaya Negara itu.
Yang diklaim
adalah reog ponorogo, lagu Rasa Sayange, tari Pendet dan angklung, bahkan
batik. Mengenai polemic terakhir, KBRI untuk Malaysia menganggap ada kesalahpahaman.
Malaysia tidak punya maksud mengklaim. Malaysia hanya mencatat warisan budaya
yang dimiliki oleh orang-orang Mandailing yang tinggal di Malaysia.
Mereka akan
melakukan upaya pelestarian tidak hanya dengan memberikan anggaran untuk maksud
tersebut, tetapi bentuk kebudayaan ini wajib ditampilkan secara periodik ke
publik. Kalau itu yang dimaksudkan, Indonesia juga melakukan. Upaya-upaya pelestarian
benda cagar budaya diatur dalam UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya,
undang-undang terbaru setelah direvisi berulang- ulang. Di khazanah negara yang
punya posisi sangat strategis ini, Indonesia punya kekayaan yang sangat luar
biasa.
Pencatatan
bahkan perlindungan kebudayaan dalam berbagai bentuk, asal negara, zaman sangat
beragam dan banyak sekali. Sebagai alur strategis perdagangan dunia, laut
Indonesia masih menyimpan ratusan ribu benda-benda itu. Benda-benda milik peradaban
dan bangsa mana saja yang tersimpan akibat tenggelam di lautan. Keramik India,
uang kepeng Tiongkok, meriam Portugis, kapal-kapal Belanda. Tahun 2011, Kementerian
Kebudayaan Pendidikan dan Sains Belanda mengundang pelestari bangunan cagar
budaya dari kalangan akademisi, pemerintahan, dan LSM untuk mengikuti suatu workshop
di Erasmus University Rotterdam. Workshop itu diikuti wakil sembilan
Negara bekas jajahan Belanda dari empat benua.
Selama hampir
sebulan, setiap peserta dibekali ilmu mulai hal-hal mendasar sampai melakukan actionplan
tentang pelestarian bangunan cagar bu daya di negara masing-masing. Pe
materi berasal dari berbagai Negara dengan kepakaran tingkat internasional berbagi
ilmu bagaimana sebaiknya melestarikan pusaka-pusaka. Workshop bertajuk: Urban Heritage Strategy, He ritage as an Asset for Inner City Deve
lopment itu didanai penuh oleh pe merintah Belanda. Ketika workshop berlangsung,
banyak ditemukan hal-hal menarik.
Peserta dari
Ghana sharing tentang perkembangan batik. Batik Ghana berawal ketika
Belanda pada masa kolonial dulu mengirim tentara dari Ghana ke Indonesia.
Kemudian, saat pulang, mereka membawa seni batik ke negaranya. Bukankah kita
harus berterima kasih bahwa pelestari-pelestari batik bangsa Ghana membawa
budaya adiluhung Indonesia itu sampai Afrika dan dikembangkan sampai sekarang?
Demikian juga wakil dari Suriname, mereka sharing banyaknya budaya Jawa
yang menjadi bagian kekayaan budaya di sana.
Workshop
ini sangat potensial untuk membekali para pelestari cagar budaya di
negara masing-masing dengan bermodal passion. Sebagian bangunan cagar budaya
di negara peserta workshop ini adalah bangunan-bangunan Belanda, termasuk
di Indonesia. Dari puluhan ribu bangunan yang dibangun Belanda, hamper seribu
di antaranya masuk dalam daftar Bangunan Cagar Budaya Indonesia. Kalau Akta
Warisan Budaya adalah pencatatan terhadap warisan budaya yang dimiliki oleh
orang-orang Mandailing Malaysia, tentu tak ubahnya Indonesia mempunyai catatan atau
daftar bangunan cagar budaya. Bedanya di Indonesia yang telah berjalan baik
proses pendaftaran itu berlaku untuk bangunan, cagar-cagar budaya yang berbentuk
tangible.
Sebaliknya,
proses pendaftaran pusaka-pusaka berbentuk intangible, seperti musik, tari,
legenda, sastra, kuliner, belumlah serapi proses pendaftaran dan legalitas
benda cagar budaya yang berbentuk gedung dan bangunan. Karena itu, rapikanlah
daftar itu. Dalam kasus tari Tor-Tor dan Gondang Sambilan, menarik tulisan
Ahmad Sahidah (Jawa Pos, 19 Juni 2012). Dosen Fakultas Filsafat dan
Etika Universitas Utara Malaysia ini menulis:
Alangkah
eloknya jika siapa pun mengakui bahwa Malaysia telah turut memelihara khazanah Indonesia,
demikian pula sebaliknya. Bagaimanapun keduanya diceraikan sebagai negara
bangsa oleh warisan kolonialisme Inggris-Belanda. Jadi, kalau kita bertengkar
hanya karena warisan Indonesia diakui Malaysia, hakikatnya kita mengekalkan
mentalitas penjajah.
*) Direktur Sjarikat Poesaka
Soerabaia dan Dekan Fakultas
Industri Kreatif
Dikutip dari
Kolom OPINI koran Jawa Pos, Jum'at 22 Juni 2012
No comments:
Post a Comment