Sunday, August 5, 2012

Cuti Melahirkan Dua Tahun

Cuti Melahirkan Dua Tahun
Oleh
MOHAMMAD NASIH*

MENTERI Negara BUMN Dahlan Iskan kembali melontarkan gagasan brilian agar perempuan yang mela­hirkan memperoleh cuti sampai dua tahun. Walaupun hanya diusulkan dalam lingkup birokrasi BUMN, gaga­san tersebut akan menjadi awal yang sangat baik untuk menjadikannya sebagai kebijakan dengan lingkup yang lebih luas.

Gagasan ini sangat tepat, karena perempuan memiliki peran spesifik yang tidak bisa dijalankan laki-laki. Karena peran-peran itu pula, perem­puan harus mengalami proses-proses biologis yang perlu mendapatkan perla­kuan khusus. Disebabkan oleh hal tersebut, dalam banyak kasus, perem­puan secara faktual harus menanggung beban ganda.

Perempuan harus menjalankan peran yang berkaitan dengan urusan domestik, mulai proses regenerasi, seperti melahirkan lalu mengurus anak dan urusan rumah tangga. Dalam waktu bersamaan, terutama apabila suami tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga, perempuan mau tidak mau juga harus ikut turun tangan untuk menyelesaikannya.

Gagasan untuk memberikan cuti dua tahun tersebut memiliki perspektif sangat futuristik. Sebab, jika dikelola dengan baik, pemberian cuti tersebut akan berimplikasi sangat luas, bukan hanya bagi perempuan yang men­dapatkan cuti, tetapi terlebih lagi kepada anak-anak yang mereka lahir­kan. Perhatian yang cukup dan pe­ngurusan yang optimal akan mela­hirkan dan menumbuhkan generasi ba­ru yang berkualitas yang mampu men­dorong kemajuan peradaban negara.

Perempuan selama ini harus me­nanggung peran ganda lebih dise­babkan oleh kesalahan paradigma yang sangat materialistik. Yang dilakukan laki-laki dianggap sebagai kerja karena menghasilkan uang. Sedangkan apa pun yang dilakukan perempuan, walau­pun sesungguhnya sangat berat, bahkan harus mempertaruhkan nyawa dan tidak pernah bisa dilakukan laki-laki, hanya dianggap aktivitas belaka, karena tidak menghasilkan uang. Melahirkan anak tidak akan pernah bisa dilakukan laki-laki dan jasa untuk itu tidak bisa diukur secara materialistik dengan uang.

Pikiran jangka pendek pasti hanya berpikir soal berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menanggung perem­puan yang cuti dua tahun karena melahirkan dan kemudian mengurus anak. Tetapi, perspektif yang futuristik akan melihat secara lebih jauh bahwa apa yang dilakukan perempuan sesung­guhnya juga merupakan kontribusi yang sangat besar dalam konteks mem­persiapkan generasi masa depan ber­kualitas yang akan sangat meme­ngaruhi maju mundurnya peradaban negara.

Nabi Muhammad telah melihat itu dengan baik, sehingga dengan sangat tegas menyatakan bahwa perempuan adalah tiang negara. Jika perempuan baik, baiklah negara. Sebaliknya, jika perempuan buruk, rusaklah negara. Cara pandang Nabi Muhammad ini sangat masuk akal, karena perempuan merupakan agen yang memiliki kesem­patan paling besar untuk memengaruhi cara berpikir dan berperilaku umat manusia.

Cara berpikir dan berperilaku ma­syarakat sesungguhnya merupakan cermin cara berpikir dan berperilaku kaum perempuan. Dalam konteks ini, perempuan benar-benar menjadi ma­drasah atau sekolah yang pertama bagi anak-anaknya. Usia emas anak lebih banyak digunakan untuk melakukan internalisasi apa yang dilihat dan yang didengar.

Apabila anak-anak bergaul dengan ibu yang cerdas, memiliki perhatian yang besar lagi hangat, dan berperilaku baik, akan hadir generasi baru yang bisa diandalkan untuk membuat negara memiliki banyak keunggulan, baik keunggulan komparatif maupun ke­unggulan kompetitif.
  
Untuk mengembangkan kualitas anak, ibu harus memberikan ASI eks­klusif kepada anak selama enam bulan. Dengan asuhan yang sangat intensif dari seorang ibu yang benar-benar memperhatikan dan mampu me­me­nuhi seluruh kebutuhan hidup anak yang masih belia, sang anak akan menjadi generasi baru dengan karakter yang diharapkan.

Keunggulan SDM merupakan faktor determinan kemajuan sebuah negara. Fakta telah membuktikan bahwa n­e­gara-negara yang sekarang mengalami kemajuan secara akseleratif adalah negara-negara yang memberikan per­hatian besar kepada pendidikan yang tentu saja ditempuh sejak anak-anak. Itulah sebabnya, Kanada dan negara-negara Skandinavia telah lebih dulu membuat kebijakan-kebijakan yang sangat ramah kepada perempuan. Termasuk memberikan cuti mela­hirkan dalam waktu cukup panjang (setahun penuh bergantian untuk ayah-ibu, red). 

Jika memberikan perhatian yang besar terhadap hal ini, Indonesia akan mengalami kemajuan yang lebih akseleratif. Sebab, Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. SDA melimpah yang dikelola SDM yang andal bisa dipastikan akan mendorong kemajuan yang jauh lebih akseleratif. Dengan demikian, tidak perlu menung­gu waktu terlalu lama untuk mengejar ketertinggalan yang selama ini dialami Indonesia.

Permasalahan utama dalam cuti adalah yang bersangkutan biasanya kehilangan posisi dari yang sebe­lumnya. Dengan kata lain, cuti akan membuat karir yang telah dirintis dengan susah payah harus nihil lagi, sehingga yang bersangkutan memulai kembali dari nol.

Karena itu, perlu pengaturan me­ngenai masalah ini. Kaum perempuan bisa mendapatkan perlakuan yang lebih baik dalam dunia kerja dan bisa me­ningkatkan kualitas diri yang ujungnya meningkatkan kualitas SDM secara keseluruhan, baik laki-laki maupun perempuan. Sebab, laki-laki tidak bisa lahir ke dunia ini kecuali melalui rahim perempuan.

Akhirnya, gagasan Dahlan Iskan tersebut perlu mendapatkan dukungan dari seluruh pihak, terutama yang selama ini mengklaim diri sebagai aktivis perempuan. Ini adalah momentum strategis untuk membuat lebih berdaya dan lebih bisa memengaruhi kebijakan-kebijakan publik yang sangat diperlukan untuk mewujudkan masya­rakat yang berkeadilan, tak terkecuali berkeadilan gender. Wallahua’lam bi al-shawab.
*) Pengajar di Program Pascasarjana 
Ilmu Politik UI dan pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat

Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Jum'at 22 Juni 2012

No comments:

Post a Comment