Sunday, August 5, 2012

Polisi Kita dan Anarkisme

Polisi Kita dan Anarkisme

Oleh
ANTONIUS STEVEN UN, M.Div*


Hari Ulang Tahun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atau Hari Bhayangkara, 1 Juli diperingati di tengah maraknya kekerasan.  Menjelang pagi (27/6), terjadi dua tawuran ormas di Jakarta.  Sebelumnya tawuran dan kerusuhan terjadi di  Papua.  Hampir setiap hari media menyuguhkan berita tawuran, kericuhan, kerusuhan, dan sejenisnya.  Suguhan kabar buruk ini dilukiskan dalam ragam istilah, dari kelompok latar belakang yang bervarisasi dengan skala dan sebab yang bermacam-macam. 

Kekerasan horizontal seolah menggurita  dalam ragam ranah bangsa.  Sebut saja geng motor, sekolah kedinasan, tawuran pelajar, bahkan geng putri, mempertontonkan kehidupan komunitas  sarat kekerasan.  Semangat  anarkistis sedang menggelora, seolah bangsa ini memang bangsa serba anarki.

Aku adalah Hukum
Anarkisme mengukirkan amsalnya, “aku adalah hukum” dan mencoba memberontak terhadap amsal “raja adalah hukum” yang tiranis.  Parahnya amsal demokratis, “hukum adalah raja” pun ingin dibunuh oleh semangat dan praktik anarkisme.  Efeknya, anarkisme menciptakan kemenangan bagi kejahatan.

Secara komprehensif, anarkisme bangsa ini dilatarbelakangi sejumlah asumsi.  Pertama, public disappointment.  Kekecewaan publik menelurkan pengapnya kondisi psikologis yang berujung hilangnya mekanisme pengontrolan  diri.  Terutama, kekecewaan akibat pemerintah gagal menciptakan kondisi kondusif bagi kehidupan minimalis.  Juga kecewa karena pejabat pemerintah suka menuntut hak, tapi gagal memenuhi kewajiban.   Aroma kekecewaan berbau anyir dimana-mana.  Tidak heran, gelora anarkistis membara di sana-sini.  Kedua, public distrust.  Kekecewaan melahirkan ketidakpercayaan. Pemukulan wasit sepak bola dan aksi main hakim sendiri terjadi di lapangan hijau adalah bukti ketidakpercayaan publik sedang menggejala.

Terkuaknya perilaku korupsi pejabat tinggi, rusaknya pendengaran nurani elite parpol terhadap realisme penderitaan rakyat, serta birokrasi berbelit dan korup berandil besar dalam menciptakan public distrust.  Di sisi lain terbongkarnya kasus suap dan korupsi polisi menambah parah ketidakpercayaan publik.  Efek dari hal tersebut di atas adalah terciptanya sumber yang ketiga, yakni public disobedience.

Sementara di sisi lain, kegagalan dunia pendidikan dan agama mengonstruksi struktur identitas  yang integratif menyebabkan sumber anarkisme, keempat, yakni personal disintegrity. Iman tak berimbas pada implikasi kehidupan, ideologi tak identik dengan realitas keseharian.  Mirip Tuhan di rumah ibadah, mirip hantu di luarnya.

Celakanya, keterpecahan identitas terteladankan dari praktis busuk para pemimpin yang mempertontonkan disintegritas kata dan laku, hati dan hidup, pikir dan praktik.  Hasilnya kebebasan diekspresikan secara keliru.  Hukum dipahami bukan dalam rangka penataan, tetapi pengekangan.

Ketidakpercayaan
Paradigma polisi adalah sebagai agen negara untuk menyatakan  perlindungan, ketertiban, dan keadilan.  Polisi bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat.

Alkisah, seseorang mendapatkan pesangon sebuah mobil bekas sebagai hasil bekerja puluhan tahun.  Empat bulan setelahnya mobil tersebut dicuri penjahat.  Datanglah sang pensiunan malang ke kantor polres.  Setelah dimintai berbagai keterangan teknis, lama kelamaan sang pria tua itu menyela bunyi mesin ketik dengan pertanyaan dibalut kegelisahan, “Apakah mungkin mobil saya dapat ditemukan kembali?” Sang brigadir menjawab dengan enteng, “Tiga sepeda motor saya yang hilang, belum kembali hingga kini”.

Kisah ini memilukan hati si pensiunan malang dan memupuskan harapan akan kepolisian.

Mengapa terjadi ketidakpercayaan publik sehingga rakyat main hakim sendiri? Sebabnya, polisi gagal memenuhi fungsi perlindungan dan keamanan yang memupuskan harapan rakyat.  Perbaikan kinerja reserse dan kriminal harus terus dilakukan agar memupuskan anarkisme di tengah rakyat.

Reformasi Reserse
Reformasi kepolisian selama ini telah menghasilkan, salah satunya reformasi layanan publik pada Direktorat Lalu Lintas.  Berbagai layanan administrasi kepolisian maupun jalanan membaik.  Hal ini patut mendapatkan acungan jempol.  Kini, tantangan berat kepolisian adalah reformasi birokrasi layanan reserse dan kriminal, agar tidak lagi dianggap berbelit sehingga dapat memangkas praktik main hakim sendiri.

Selain dukungan finansial pemerintah, dukungan rakyat amat penting.  Antara lain, dengan menaati rambu-rambu dan peraturan perundangan.  Hal ini berfungsi untuk mengurangi potensi gesekan fisik dan konflik horizontal yang mengakibatkan polisi tergelincir anarkisme.  Dukungan rakyat juga penting dalam bentuk selalu mengupayakan pendekatan institusional – bukan pendekatan personal ala preman – dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum.

Pengalaman saya di Jerman, Swiss, dan Australia, ketegasan polisi sangat menentramkan hati masyarakat.  Ketegasan polisi yang sesuai dengan peraturan perundangan harus diparadigma sebagai perlindungan dan bukan sebagai penghinaan terhadap HAM.

Polisi harus ingat bahwa sebagaimana diamanatkan sosiolog Max Weber, kekerasan yang terukur dimonopoli oleh negara, dalam hal ini termasuk kepolisian.  Pembiaraan polisi atas merajalelanya kekerasan oleh masyarakat sipil adalah bentuk pengakuan polisi atas impotensinya. Hal ini berarti polisi meludahi mukanya sendiri.  Karena itu, rakyat senang bila polisi tegas.  Semoga!
*) Penulis adalah 
Peneliti pada Reformed Center 
for Religion and Society, Jakarta
Dikutip dari Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 2 Juli 2012

No comments:

Post a Comment