Polisi Kita dan Anarkisme
Oleh
ANTONIUS STEVEN UN, M.Div*
Hari Ulang Tahun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atau Hari Bhayangkara, 1 Juli diperingati di tengah maraknya kekerasan. Menjelang pagi (27/6), terjadi dua tawuran ormas di Jakarta. Sebelumnya tawuran dan kerusuhan terjadi di Papua. Hampir setiap hari media menyuguhkan berita tawuran, kericuhan, kerusuhan, dan sejenisnya. Suguhan
kabar buruk ini dilukiskan dalam ragam istilah, dari kelompok latar
belakang yang bervarisasi dengan skala dan sebab yang bermacam-macam.
Kekerasan horizontal seolah menggurita dalam ragam ranah bangsa. Sebut saja geng motor, sekolah kedinasan, tawuran pelajar, bahkan geng putri, mempertontonkan kehidupan komunitas sarat kekerasan. Semangat anarkistis sedang menggelora, seolah bangsa ini memang bangsa serba anarki.
Aku adalah Hukum
Anarkisme mengukirkan amsalnya, “aku adalah hukum” dan mencoba memberontak terhadap amsal “raja adalah hukum” yang tiranis. Parahnya amsal demokratis, “hukum adalah raja” pun ingin dibunuh oleh semangat dan praktik anarkisme. Efeknya, anarkisme menciptakan kemenangan bagi kejahatan.
Secara komprehensif, anarkisme bangsa ini dilatarbelakangi sejumlah asumsi. Pertama, public disappointment. Kekecewaan publik menelurkan pengapnya kondisi psikologis yang berujung hilangnya mekanisme pengontrolan diri. Terutama, kekecewaan akibat pemerintah gagal menciptakan kondisi kondusif bagi kehidupan minimalis. Juga kecewa karena pejabat pemerintah suka menuntut hak, tapi gagal memenuhi kewajiban. Aroma kekecewaan berbau anyir dimana-mana. Tidak heran, gelora anarkistis membara di sana-sini. Kedua, public distrust. Kekecewaan
melahirkan ketidakpercayaan. Pemukulan wasit sepak bola dan aksi main
hakim sendiri terjadi di lapangan hijau adalah bukti ketidakpercayaan
publik sedang menggejala.
Terkuaknya
perilaku korupsi pejabat tinggi, rusaknya pendengaran nurani elite
parpol terhadap realisme penderitaan rakyat, serta birokrasi berbelit
dan korup berandil besar dalam menciptakan public distrust. Di sisi lain terbongkarnya kasus suap dan korupsi polisi menambah parah ketidakpercayaan publik. Efek dari hal tersebut di atas adalah terciptanya sumber yang ketiga, yakni public disobedience.
Sementara di sisi lain, kegagalan dunia pendidikan dan agama mengonstruksi struktur identitas yang integratif menyebabkan sumber anarkisme, keempat, yakni personal disintegrity. Iman tak berimbas pada implikasi kehidupan, ideologi tak identik dengan realitas keseharian. Mirip Tuhan di rumah ibadah, mirip hantu di luarnya.
Celakanya,
keterpecahan identitas terteladankan dari praktis busuk para pemimpin
yang mempertontonkan disintegritas kata dan laku, hati dan hidup, pikir
dan praktik. Hasilnya kebebasan diekspresikan secara keliru. Hukum dipahami bukan dalam rangka penataan, tetapi pengekangan.
Ketidakpercayaan
Paradigma polisi adalah sebagai agen negara untuk menyatakan perlindungan, ketertiban, dan keadilan. Polisi bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat.
Alkisah, seseorang mendapatkan pesangon sebuah mobil bekas sebagai hasil bekerja puluhan tahun. Empat bulan setelahnya mobil tersebut dicuri penjahat. Datanglah sang pensiunan malang ke kantor polres. Setelah
dimintai berbagai keterangan teknis, lama kelamaan sang pria tua itu
menyela bunyi mesin ketik dengan pertanyaan dibalut kegelisahan, “Apakah
mungkin mobil saya dapat ditemukan kembali?” Sang brigadir menjawab
dengan enteng, “Tiga sepeda motor saya yang hilang, belum kembali hingga
kini”.
Kisah ini memilukan hati si pensiunan malang dan memupuskan harapan akan kepolisian.
Mengapa
terjadi ketidakpercayaan publik sehingga rakyat main hakim sendiri?
Sebabnya, polisi gagal memenuhi fungsi perlindungan dan keamanan yang
memupuskan harapan rakyat. Perbaikan kinerja reserse dan kriminal harus terus dilakukan agar memupuskan anarkisme di tengah rakyat.
Reformasi Reserse
Reformasi kepolisian selama ini telah menghasilkan, salah satunya reformasi layanan publik pada Direktorat Lalu Lintas. Berbagai layanan administrasi kepolisian maupun jalanan membaik. Hal ini patut mendapatkan acungan jempol. Kini,
tantangan berat kepolisian adalah reformasi birokrasi layanan reserse
dan kriminal, agar tidak lagi dianggap berbelit sehingga dapat memangkas
praktik main hakim sendiri.
Selain dukungan finansial pemerintah, dukungan rakyat amat penting. Antara lain, dengan menaati rambu-rambu dan peraturan perundangan. Hal ini berfungsi untuk mengurangi potensi gesekan fisik dan konflik horizontal yang mengakibatkan polisi tergelincir anarkisme. Dukungan
rakyat juga penting dalam bentuk selalu mengupayakan pendekatan
institusional – bukan pendekatan personal ala preman – dalam
menyelesaikan kasus-kasus hukum.
Pengalaman saya di Jerman, Swiss, dan Australia, ketegasan polisi sangat menentramkan hati masyarakat. Ketegasan
polisi yang sesuai dengan peraturan perundangan harus diparadigma
sebagai perlindungan dan bukan sebagai penghinaan terhadap HAM.
Polisi
harus ingat bahwa sebagaimana diamanatkan sosiolog Max Weber, kekerasan
yang terukur dimonopoli oleh negara, dalam hal ini termasuk kepolisian. Pembiaraan
polisi atas merajalelanya kekerasan oleh masyarakat sipil adalah bentuk
pengakuan polisi atas impotensinya. Hal ini berarti polisi meludahi
mukanya sendiri. Karena itu, rakyat senang bila polisi tegas. Semoga!
*) Penulis adalah
Peneliti pada Reformed Center
for Religion and Society, Jakarta
No comments:
Post a Comment