Menyikapi Kondomisasi
Oleh
SAID AQIL SIRADJ*
KONDOM dan
rokok? Apa hubungannya? Keduanya memang sekadar “perkakas”. Namun,
bilamana menyoal maslahat dan mudaratnya, berani taruhan, tentu
banyak yang menyebut rokok lebih ”jahat”. Sebabnya, rokok dituding
bisa merusak kesehatan dan juga sering dikampanyekan mampu membunuh
manusia.
Tak heran bila ada larangan merokok di
berbagai tempat. Sedangkan kondom kerap dinyatakan mampu
melindungi organ genital manusia, seperti, dari kehamilan dan
penyebaran penyakit kelamin, terutama pencegah HIV/AIDS.
Penisbahan di atas menjadi menarik lagi
ketika masyarakat tiba-tiba dikagetkan oleh gagasan Menkes untuk
membagi-bagikan kondom. Ada juga program ATM kondom dan promosi kondom
ke sekolah-sekolah. Latar belakangnya, penyebaran penyakit kelamin,
khususnya HIV/ AIDS dan juga aborsi, melonjak signifikan. Permisivisme
dan liberalisasi seks terpampang makin menanjak hebat.
Faktanya, kondom sudah bisa diperoleh
secara mudah seperti di apotek atau minimarket selama ini. Bila begitu,
wajar kalau ada pertanyaan mengapa harus ada kebijakan membagi-bagikan
kondom? Apakah semata lantaran kesadaran masyarakat untuk memakai
kondom masih tipis?
Indonesian Values
Negeri kita ini memang memesona dan
unik. Ya, segalanya ada di negeri ini. Dari sumber daya alam yang
melimpah hingga berbagai model perilaku dan gaya hidup meruah. Tak
berlebihan bila negeri kita ini sering dijuluki sebagai “surga” bagi apa
pun. Sebut saja, surga bagi produk impor, surga gaya hidup impor,
surga narkoba, surga korupsi, surga kekerasan atau bentrokan, dan
ditambah lagi, yaitu surga seks. Reformasi kian mesra berdekapan
dengan neoliberalisme. Semua yang dulu tergencet atau “mati suri”, kini
di era reformasi menyeruak dengan tampilan penuh kegagahan dan
kejawaraan.
Korupsi makin menjadi-jadi,
terdesentralisasi serta berkomplot. Deru globalisasi membuat bangsa
kita kehilangan karakter dan jati diri. Apa pun model, gaya hidup,
produk teknologis Barat, disambut dengan penuh ingar bingar dan
kemudian merasuk menjadi semacam ’paham baru’ lantaran dipandang
lebih bergengsi atau “wah”. Sebuah “mimesis” (peniruan) di
lapangan kebudayaan yang begitu menghujam di benak masyarakat kita,
hingga seolah melumpuhkan daya kreasi anak bangsa. Lalu, layakkah
negeri kita mendapat sematan baru, yaitu “negara gagal”?
Kita bisa menengok pula dalam soal
seks, seperti fakta suburnya pelacuran. Mudah sekali kita jumpai
kantong-kantong pelacuran di berbagai tempat dengan segala rupa
“perwajahannya”. Urusan “jual beli” perempuan dan juga trafficking seakan
semudah membeli rokok. Di daerah wisata Puncak, umpamanya, mudah
kita jumpai para pria berwajah Timur Tengah yang melakukan kawin kontrak
dengan perempuan-perempuan setempat dan juga transaksi seks. Di Bali
juga bisa kita saksikan para pria bule dengan mudahnya menggandeng
perempuan kita. Kalau sudah begitu, apa mujarabnya seribu kali
tindakan penggerebekan oleh aparat atau ormas keagamaan dilakukan,
ibarat rambut yang dicukur plontos, sebentar lagi akan tumbuh
kembali.
Nah, fakta-fakta yang menggiriskan di
atas sekonyong telah memicu kepanikan. Seperti halnya soal
kondomisasi terkesan “ikut arus”. Membandingkan di negeri Barat
sendiri faktanya tidaklah ”polosan” seperti dibayangkan. Pendidikan
seks di negeri-negeri Barat terlebih dahulu disosialisasikan.
Sementara di negeri kita masih ramai
diperdebatkan. Bandingkan pula, semisal kebijakan distribusi rokok di
negeri-negeri Barat, dijual di tempat-tempat khusus dan harganya pun
dibuat mahal. Memang liberalisasi seks di negeri kita mungkin masih
terbilang lebih “sehat” dibanding di negeri Barat. Walaupun fakta
liberalisasi seks di kalangan anak-anak muda kita juga semakin
menunjukkan angka yang menggeregetkan.
Solusi jelas harus ada. Kepedulian
terhadap keadaan negeri ini haruslah terus dipancangkan. Tetapi,
solusi yang diupayakan haruslah selalu menumpukan pada kearifan
kultur bangsa kita. Bangsa kita kaya dengan adat istiadat dan ajaran
agama. Karenanya, setiap pengambilan kebijakan sudah seharusnya
mempertimbangkan ”Indonesian values” kita.
Artinya pula, ajaran agama perlu
menjadi tambatan utama dalam setiap pengambilan kebijakan. Dalam
soal kondomisasi, pertimbangan agama harus didengarkan, tidak semata
atas nama upaya untuk mengurangi angka penularan HIV/AIDS. Agama
juga punya metode yang preventif (sad al-dzari”ah) dan moderat (bi al-hikmah) guna turut serta dalam mengobati penyakit masyarakat.
Angkat Akar Jamur
Gagasan Menkes soal kondomisasi bisa
diibaratkan Menkes ingin mengobati suatu penyakit, tetapi yang
terjadi malah membuka peluang risiko susulan sehingga menambah parah
penyakit. Terus terang, program kondomisasi selaksa hanya mampu
menghilangkan jamur di permukaan, tetapi akarnya tetap ada, yaitu
budaya seks bebas. Lagi pula, kebijakan kondomisasi belum bisa
menjamin sebagai cara ampuh untuk melawan HIV/AIDS dan aborsi.
Dalam kaidah fikih Islam disebutkan “al-dharar la yuzalu bi al-dharar”.
Maksudnya, bahaya atau kemadharatan tidak bisa dihilangkan dengan
cara kemadharatan pula. Ambilah contoh kasus pencurian motor.
Pelakunya jelas telah bertindak melawan hukum. Tetapi, cara
penindakannya jangan lantas pelakunya dikeroyok atau malah dibakar
hidup-hidup.
Mengiaskan kondomisasi ibarat usaha
menghapus perbuatan korupsi dengan cara meniadakan lembaga penindak
korupsi seperti KPK misalnya. Juga tidak bisa dihapus begitu saja
dengan cara si koruptor mengembalikan hasil korupsinya kepada
negara. Perbuatan korupsi tetap harus diganjar dengan hukuman.
Jangan alpa, jurus jitu yang harus dilakukan adalah dengan pembenahan
sampai ke akar-akarnya, yaitu sistem korup dan budaya korupsi
melalui penegakan hukum.
Demikian halnya dengan ikhtiar
mengurangi penyebaran HIV/AIDS dan aborsi. Akarnya adalah budaya
permisif. Budaya seperti ini bisa dimaknai pula sebagai hilangnya
karakter dan jati diri bangsa, sehingga mudah melakukan peniruan membabi
buta, termasuk dalam soal liberalisme seks. Sebaiknya yang perlu
terus dikampanyekan adalah mencerdaskan masyarakat tentang bahaya
seks bebas sembari tak kenal lelah senantiasa menguatkan dan
meningkatkan pendidikan akhlak anak bangsa, mulai institusi keluarga
hingga lembaga-lembaga yang peduli dan berwenang.
*) Ketua Umum PB NU
Dikutip dari
Kolom OPINI koran Jawa Pos, Senin 9 Juli 2012
No comments:
Post a Comment